Sebagai orang yang sejak kecil rumahnya di pinggir jalan, saya punya privilese bisa lebih awal menyaksikan kemunculan tiap fenomena terbaru. Entah itu tren motor thailook, awal kemunculan ojek online, motor matic sultan, rombongan konvoi bocil pakai hoodie AHHA KW, hingga tren gowes yang belakangan ekskalasinya signifikan.
Dari situ saya sadar, manusia dan tren bagaikan saudara tak terpisahkan. Ingatlah sendal Homyped yang di masa jayanya berhasil bikin anak-anak ’90-an merengek tiap jelang Lebaran? Begitu juga celana jeans melorot ala Pasha Ungu yang jadi OOTD andalan ABG tahun 2004, plus dompet yang rantainya dicantolin ke pinggang. Itu semua bukti setiap orang pernah diobok-obok tren yang kadang bikin merinding kalau dikenang.
Sejak serbuan teknologi komunikasi beberapa tahun belakangan, perubahan tren nggak lagi melibatkan hal-hal fisik. Tampaknya ini sedang dialami oleh bocah yang bermarkas di tambal ban samping rumah saya. Saya ingat betul tahun lalu bacotan mereka cuma berkutat di dunia Mobile Legends. Sekarang, suara berat khas akil balig mereka justru kedengaran lebih banyak ngebahas top-up diamond buat beli skin FF.
Ingatan saya tiba-tiba kembali ke masa SD, tepatnya di paruh kedua era 2000-an. Jauh sebelum ini semua, kami mengenal sebuah sistem perputaran tren yang lebih ngawur dan sulit ditebak. Kami sepakat menyebut tatanan itu sebagai “musim”. Dari masuk hingga tamat, setidaknya ada enam musim yang pernah saya lalui.
#1 Musim kelereng
Musim kelereng masuk kategori sebagai musim yang cukup rutin hadir tiap tahun. Entah dari siapa awalnya, tiba-tiba secara misterius banyak orang jongkok bikin garis di lapangan sebelum bel masuk jam 7 pagi. Indikator lainnya juga dari bunyi kresek-kresek di kantong celana para siswa pas lagi lari.
Kalau sudah begitu, biasanya saya langsung sadar kalau musim kelereng sudah dimulai.
#2 Musim layangan
Sama halnya dengan kelereng, layangan terpantau cukup sering nangkring dan jadi trending SD saya saat itu. Masuknya musim tersebut ditandai dengan makin eksotisnya kulit siswa, ditambah efek bercak putih jilatan matahari. Bukan cuma itu, obrolan di kelas pun sibuk debatin merek benang gelasan paling mutakhir. Mulai dari cap semut, cap gajah, cap kobra, sampai cap raja setan.
3# Musim bulu tangkis
Musim badminton ini menggema di tahun 2008, tepat ketika Indonesia jadi tuan rumah Thomas & Uber Cup. Kala itu semua orang keranjingan ngebawa raket ke sekolah. Kalau nggak punya, syukur-syukur ada yang minjemin. Di masa itu jugalah saya pertama kalinya nyadar kalau perbedaan kelas sosial itu eksis.
Soalnya ada temen yang bawa Yonex ori, ada yang cuma bawa raket KW biasa. Bahkan ada yang nekat main pakai buku gambar atau potongan kardus Indomie. Anehnya dulu itu nggak ada yang insecure.
#4 Musim Piala Dunia
Meskipun kami selalu main bola waktu jam olahraga, tapi musim Piala Dunia tetap menghadirkan aura berbeda. Perbedaan ini terlihat dari kawan saya yang bahas bola melulu. Beberapa mengklaim kalau mereka begadang nonton pertandingan semalam, padahal saya tahu mereka ketiduran alias ngorok di samping bapaknya.
Piala Dunia 2010 itu juga jadi pembuktian mereka beneran ngerti bola atau cuma ikut-ikutan. Level teratas, mereka yang tahu nama pemain dan biasanya dukung kandidat juara kayak Brasil, Inggris, dll. Ada juga yang baru-baru tahu bola dan milih dukung Afrika Selatan karena tuan rumah. Dasar klasemen dihuni anak cewek yang keykeuh mau dukung Indonesia. “Bela negara dong, kalian gimana sih,” begitu katanya.
5# Musim stik es krim
Tren ini salah satu yang paling absurd sepanjang ingatan saya. Musim tersebut bermula dari masuknya siaran kartun Upin & Ipin di layar kaca Indonesia. Ketika itu ada episode yang menampilkan para pemuda Tadika Mesra itu adu stik es krim. Hmmm… beberapa hari berselang, seantero sekolah sibuk gebrak meja main impit-impitan stik es krim. Butuh beberapa bulan sampai suara berisik itu akhirnya musnah dan menghilang.
6# Musim kartu Naruto
Global TV adalah pihak yang berperan besar di balik terjadinya musim ini. Naruto yang ketika itu nampil tiap sore sampai magrib, sukses membawa gelombang narutoisasi di Indonesia. Dari tas, baju, kotak pensil, sampai sempak semuanya dibikin ada unsur Naruto.
Hal yang sama juga terjadi pada industri abang-abang mainan yang dengan jeli menerbitkan secarik kartu karakter Naruto. Gambarnya lengkap dibubuhi level kekuatan para remaja Konoha jago gelut tersebut. Alhasil, mayoritas siswa di SD ketika itu mesti rela nggak beli bakwan dan tahu goreng cuma buat beli kartu sakti itu.
Ya, begitulah enam musim yang menemani masa SD saya. Saya nggak jemawa menasbihkan masa itu sebagai era paling klasik dan asyik. Karena bisa jadi lebih seru jadi anak-anak jaman sekarang yang bisa mabar sambil sesekali menggarap skenario TikTok cringe pakai slomo. Bisa jadi lho ya….
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA 6 Cara untuk Menghilangkan Hawa Dingin ala Orang Jaman Dulu dan tulisan Imamul Muttaqin lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.