Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya saya naik bus Cititrans dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bukan buat jalan-jalan, bukan pula karena main-main, tapi karena ada tugas negara. Sebagai anak kereta garis keras, jujur saya agak skeptis. Dalam pikiran saya, naik bus itu identik dengan perjalanan lama, pegal, panas, dan drama berebut kursi.
Pokoknya, kalau ada pilihan kereta, kenapa harus bus?
Tapi, semua salah kaprah itu mulai retak sejak saya benar-benar duduk di kursi Cititrans. Dari awal masuk, saya sudah kaget: kursinya empuk, jarak antarpenumpang lega, dan ada colokan USB yang bikin saya nggak perlu was-was HP mati di tengah jalan. Rasanya bukan kayak naik bus yang saya bayangkan selama ini.
Di perjalanan itulah saya sadar, ternyata saya sudah terlalu lama jadi budak kereta. Saya selalu menganggap transportasi darat non-kereta itu kelas dua. Padahal Cititrans membuktikan sebaliknya. Nyaman, tepat waktu, dan sopirnya nggak ugal-ugalan. Salah kaprah saya soal bus pun ambyar di jalan tol, berganti dengan pikiran baru: “Oh, jadi begini rasanya kalau bus benar-benar mikirin penumpang.”
Pelayanan Cititrans yang bikin tenang
Hal pertama yang bikin saya kaget adalah keramahan petugas Cititrans dari awal check-in sampai naik bus. Mereka nggak cuma sekadar kasih tiket, tapi juga sigap bantu kalau ada penumpang kebingungan. Bahkan, saya yang biasanya suka canggung kalau ditanya ini-itu, malah merasa dilayani seperti tamu istimewa.
Rasanya agak aneh, karena ekspektasi saya naik bus itu ya… pokoknya duduk, jalan, selesai. Tapi di sini, ada sentuhan kecil yang bikin hati adem.
Selain itu, ada satu hal yang paling saya apresiasi: keteraturan. Semua penumpang punya kursi jelas, nggak ada drama saling sikut rebutan tempat. Jadwal keberangkatan juga nggak ngaret-ngaret amat, sesuatu yang buat saya cukup langka di dunia transportasi darat. Sebagai anak kereta yang terbiasa disiplin waktu, pelayanan busCititrans ini berhasil bikin saya merasa “aman”.
Setidaknya saya nggak perlu gelisah menunggu dengan pertanyaan klasik: “Kapan berangkatnya, Mas?”
Dan jangan lupakan kenyamanan sepanjang perjalanan. Sopir Cititrans kelihatan terlatih menjaga ritme, nggak asal ngebut, tapi juga nggak terlalu santai sampai bikin penumpang ketiduran kelamaan di jalan. Ditambah lagi dengan suasana kabin yang bersih dan adem, perjalanan dari Semarang ke Malang benar-benar terasa menyenangkan. Pelayanan yang nyaman ini bikin saya mulai mempertanyakan: “Kenapa baru sekarang saya coba?”
Tepat waktu bukan cuma janji
Salah satu alasan kenapa saya cinta mati sama kereta adalah soal ketepatan waktunya. Kalau jadwal bilang berangkat jam 07.15, ya paling telat 07.17 udah jalan. Nah, saya pikir bus atau travel mana mungkin bisa menyaingi konsistensi itu. Tapi lagi-lagi, Cititrans berhasil bikin saya salah kaprah. Dari pengalaman pertama ini, jadwal keberangkatan mereka ternyata cukup disiplin. Bukan berarti kaku kayak kereta, tapi setidaknya saya nggak merasa ditelantarkan berjam-jam di pool.
Waktu tempuhnya pun ternyata nggak main-main. Dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang saya bayangkan bakal makan waktu lama, justru bisa ditempuh dengan efisien. Sopir bus Cititrans memang bukan tipe yang ngebut-ngebut biar keliatan macho, tapi cara mereka mengatur ritme berkendara bikin perjalanan tetap lancar. Kalau macet pun, rasanya masih bisa diakali dengan kelincahan sopir yang tahu kapan harus gesit, kapan harus sabar.
Yang bikin saya makin kaget, meskipun nggak ngebut ugal-ugalan, saya tetap sampai tepat waktu di Malang. Padahal sebelumnya saya yakin, “Ah, paling molor sejam dua jam.” Ternyata perkiraan saya hancur berantakan. Bahkan, kalau dihitung-hitung, waktu tempuhnya nggak jauh beda dengan kereta.
Bedanya, di Cititrans saya bisa turun lebih dekat dengan tujuan, tanpa drama cari ojek atau taksi tambahan.
Armada nyaman, salah kaprah makin hancur
Jujur, saya dulu selalu menganggap bus itu kursinya keras, jarak kakinya sempit, dan bikin badan pegal seharian. Eh ternyata, Cititrans bikin semua stereotip itu runtuh. Dengan armada bus yang kursinya empuk dan lega, perjalanan panjang terasa lebih manusiawi. Malah, saya sempat mikir, “Ini kalau bawa selimut sama bantal kecil, udah mirip kamar kos saya versi berjalan.” Pun, selimut tersedia di Cititrans.
Selain kursi, detail kecil pun terasa penting. Ada USB port buat ngecas HP, AC yang adem tapi nggak bikin masuk angin, dan kabin yang bersih tanpa bau aneh-aneh. Selain itu, ada aneka makanan dan minuman gratis buat penumpang. Semua fasilitas ini sederhana, tapi efeknya gede banget buat penumpang kayak saya yang gampang cranky kalau perjalanan terlalu lama. Rasanya lebih kayak road trip nyaman bareng teman, bukan naik bus umum yang penuh drama.
Di titik inilah saya sadar, ternyata saya yang selama ini salah besar. Cititrans berhasil membuktikan kalau bus juga bisa nyaman, tepat waktu, dan bebas drama. Sebagai anak kereta, saya akhirnya harus mengakui: ada kalanya Cititrans jadi pilihan yang lebih praktis. Salah kaprah saya pun resmi ambyar—dan jujur, saya nggak nyangka bisa secepat ini jatuh hati sama bus.
Nggak apa-apa naik bus, asal Cititrans
Pada akhirnya, pengalaman pertama naik bus Cititrans ini bikin saya insaf. Saya yang dulu ‘kaku’ jadi anak kereta garis keras, ternyata bisa jatuh cinta sama bus—asal busnya kayak Cititrans. Perjalanan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukan cuma sekadar pindah tempat, tapi juga pindah mindset: bahwa kadang-kadang, kita perlu berhenti keras kepala sama pilihan lama, dan memberi kesempatan pada hal baru yang ternyata lebih nyaman dari dugaan.
Jadi, kalau besok ada lagi tugas negara, jangan kaget kalau saya bakal nyeletuk, “Naik Cititrans aja, lebih aman jiwa dan raga.”
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.














