Setahun lalu, ketika sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Brebes, saya dan teman-teman memiliki program pembuatan Ecobrick. Sekedar informasi awal, ecobrick adalah botol plastik bekas yang berisi sampah non-biological. Botol plastik ini nantinya dapat menggantikan fungsi dari balok bangunan. Adanya Ecobrick juga merupakan sebuah usaha ramah lingkungan untuk mengatasi masalah sampah plastik yang lambat laun makin meyebalkan.
Karena tertarik dengan kegiatan ini, kami segera menonton tutorialnya di Youtube dan membaca beberapa artikel terkait Ecobrick. Setelah dirasa cukup paham, kami mulai menyusun rencana. Awalnya, target program ecobrick ini amat ndakik-ndakik: membuat sebuah kursi. Kemudian kami akan memperlihatkan hasil dan cara membuatnya kepada warga.
Tapi, apa semulus itu proses pembuatannya?. Tentu saja tidaaak. Jalan kami dipenuhi alur yang berkelok. Pertama-tama kami mencari sampah-sampah plastik yang berserakan di setiap sisi jalan. Kami menerobos gaharnya panas matahari, menyisiri rerumputan, sampai merogoh tong sampah. Semua itu, semata-mata demi mengumpulkan ratusan sampah plastik.
Belum cukup sampai di situ, kami juga merancang strategi lain. Kami meminta kepada anak-anak untuk membawakan sampah plastik yang teronggok sendu di rumah mereka.
Setelah semuanya terkumpul, kami beranjak ke langkah kedua: Mencuci sampah. Namun, mulai dari sini yang menggawangi program Ecobrick cuma saya dan seorang teman bernama Pras. Hal itu disebabkan ada beberapa kegiatan lain yang nggak kalah penting.
Pada sore-sore senggang, saya dan Pras memulai langkah kedua. Rencananya, kami akan mencuci sampah-sampah tersebut sampai harum dan kinclong lebih dari pakaian dan muka sendiri. Kami membersihkannya dengan tekun dan khusyuk. Cuitan-cuitan burung ditambah udara yang sepoi-sepoi membumbui ketenangan sore itu. Syahdu tho?.
Selanjutnya kami mulai melangkah lebih jauh. Langkah ketiga adalah memasukkan sampah yang telah dicuci ke dalam botol plastik. Di sini kami menggunakan botol teh pucuk harum 500 ml. Selain itu, kami juga menggunakan sebatang kayu yang ujungnya lancip untuk memudahkan proses.
Pada tahap ini, sampah plastik yang udah dicuci kami potong kecil-kecil. Kemudian hasilnya kami masukkan ke dalam botol. Nah, sebatang kayu tadi fungsinya untuk menekan-nekan sampah plastik yang tadi udah dimasukkan ke dalam botol. Memasukkannya harus merata. Tak boleh ada rongga sedikitpun agar nanti tingkat kekerasannya tinggi.
Mudah? Nggak juga. Nyatanya tahap ini amat belibet. Dikarenakan keamatiran kami, menekan-nekan sampah plastik agar merata dan memenuhi rongga amat membunuh waktu. Apalagi jumlah orang yang sedikit membuat semuanya jadi tambah runyam.
Masalah lain adalah jumlah sampah plastik yang kami kumpulkan ternyata cuma cukup untuk membuat dua botol. Padahal kami membutuhkan banyak botol untuk membuat sebuah kursi. Semangat menggebu-gebu di awal karam seketika.
Di sela-sela proses, saya akhirnya nyeletuk begini, “Pras, ini hasilnya nggak akan sesuai dengan rencana awal deh kayaknya”. Saya mengatakan hal itu berdasarkan analisis terkait estimasi waktu, jumlah sampah, dan tentu saja rasa malas.
Pras setuju. Kami pun akhirnya menyederhanakan tujuan menjadi: cuma memperkenalkan Ecobrick dengan seenggaknya 9 botol. Kemudian 9 botol tersebut direkatkan menjadi modul persegi dengan lem silicon.
Maka, nggak pakai babibu saya dan Pras langsung kembali mengarungi bahtera guna mencari sampah plastik. Setelah semuanya terkumpul kami, dengan muka kucel kayak ruwesan tiket parkir mal, memulai kembali langkah-langkah belibet yang tadi sudah diceritakan. Kami memilah dan mencuci sampah-sampah yang sedari tadi sudah berteriak meminta segera dikinclongkan.
Dan di sini lah masalah kembali menghampiri. Singkat cerita, besoknya kami tak bisa menemukan kantong plastik berisi sampah-sampah plastik yang telah dibersihkan. Kami cari di setiap sudut posko juga nihil. Ya ampun, sampah-sampah yang telah kami kumpulkan dengan darah dan air mata hilang tanpa bekas.
Saya dan Pras panik, tentu saja. Lah gimana? selain capek, mencari dan mengumpulkan sampah kembali amat memakan waktu. Atas dasar hal itu, kami tetap berusaha mencari sembari berharap kantong sampah plastik itu ketemu.
Namun, usaha memang tak selalu beriringan dengan hasil. Meskipun mencari kemana-mana, kantong sampah plastik itu tak juga menampakkan dirinya. Saya dan Pras akhirnya mencoba peruntungan terakhir: bertanya kepada nenek pemilik posko.
Dan setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan sang nenek, kami menemukan jawaban atas semua persoalan sampah plastik cilaka ini. Tapi jawaban blio membuat kami tersedak karena, jengjengjeng, kantong sampahnya udah dibuang!.
Saya dan Pras langsung lemas. Sampah plastik yang telah kami cuci dan kumpulkan ternyata sudah kembali ke habitat aslinya.
Program pengenalan Ecobrick pun akhirnya cuma menggunakan dua botol yang kerasnya pun masih bisa dipertanyakan. Bah! Semesta memang selalu punya teka teki.
BACA JUGA Cerita Horor Pakdhe Saya yang Diseruduk Siluman Manusia Berkepala Kuda dan tulisan Zaki Annasyath lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.