Lini masa media sosial kita masih dipenuhi perdebatan siapa yang salah terkait kasus siswa SMP tidak bisa baca. Satu kasus mencuat, kasus lain pun bermunculan. Pihak sekolah, orang tua, menteri, kurikulum, silakan pilih pihak mana yang akan kalian dukung. Mau jadi pihak yang memilih untuk nonton saja, juga tak apa-apa.
Tapi tulisan saya bukan tentang keberpihakan. Tulisan saya ini ingin membahas realitas lapangan. Hal-hal nyata yang dihadapi. Saya tidak ingin membahas siapa yang salah ataupun penyebabnya. Realitas ini, bisa kalian jadikan pegangan untuk menentukan pihak mana yang kalian akan dukung.
Ini adalah pengalaman kawan saya dalam mengajari siswa SMP yang masih belum bisa membaca.
Bagi saya, lika liku kawan saya dalam mengatasi anak SMP yang belum bisa membaca ini tergolong unik. Untuk sekadar informasi, kawan saya ini berprofesi sebagai guru SD. Jadi di daerahnya ia memang terkenal terampil mengajarkan calistung kepada anak-anak. Hingga sudah seperti biasa jika terdapat orang tua yang menitipkan anaknya kepada kawan saya.
Sebetulnya hal yang wajar ketika orang tua tersebut ingin agar anaknya dapat membaca. Tapi masalahnya anaknya itu siswa SMP tingkat lanjut dan kebetulan memiliki sifat malas yang begitu akut. Karena kawan saya ini memiliki sifat tidak enakan, akhirnya mau tidak mau ia menerima kesepakatan dengan orang tua tersebut.
Bukannya mendapatkan pujian karena telah berupaya untuk mengajarkan membaca, kawan saya malah mendapatkan pengalaman yang tidak mengenakkan.
Daftar Isi
Selain mengajar, juga harus menyimpan aib rapat-rapat
Dari cerita yang dituturkan oleh kawan saya, setelah orang tua menitipkan anaknya agar bisa membaca, orang tua tersebut berpesan agar menyimpan hal ini supaya tidak diketahui orang lain. Maksudnya orang tua ingin supaya informasi mengenai buta huruf anaknya ini disimpan rapat-rapat supaya tidak menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya. Ya siswa SMP tidak bisa membaca, sudah jelas kek mana nyinyiran orang-orang.
Belum apa-apa, orang tua tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia merupakan tipe orang tua yang menyebalkan. Menurut pengakuan dari kawan saya yang dititipkan anak tersebut, disuruh untuk menutup aib ini begitu menyebalkan. Karena siapa juga yang mau untuk menyebarkan informasi yang bahkan tidak ada manfaatnya itu, begitu kurang lebih kesalnya.
Difitnah menyebarkan aib siswa SMP tersebut
Plot twist-nya, ternyata informasi mengenai siswa SMP yang belum bisa membaca tersebut akhirnya menyebar. Bukan karena kawan saya yang mengumbar-ngumbarkannya, melainkan informasi tersebut tersebar akibat dari ketidaksengajaan. Ketika kawan saya ditanya oleh orang tuanya akan pergi ke mana, secara tidak sengaja kawan saya memberitahukan untuk pergi mengajar membaca anak SMP tadi. Eh, ibunya kawan saya malah menyebarkan informasi ini begitu saja sehingga menjadi bahan omongan ibu-ibu di daerahnya.
Akibat dari ketidaksengajaan tersebut, alhasil kawan saya harus menerima fitnah dari orang tua siswa SMP yang belum bisa baca. Padahal sudah mengeluarkan tenaga untuk bersusah payah mengajari anak remaja membaca, ini malah kena tuduhan yang tidak-tidak.
Niat baik yang tidak berujung baik
Niat baik kawan saya yang ingin membantu orang tua tetangganya supaya anaknya dapat membaca di jenjang SMP, malah berujung tidak baik. Tidak ada bayaran sebagaimana yang telah disepakati di awal. Susah payah membujuk anaknya yang malas untuk belajar membaca tersebut malah tidak dihargai hanya karena orang-orang tahu anaknya belum bisa membaca. Padahal bukan kawan saya juga yang menyebarkan.
Pelajaran berharga dari kisah kawan saya ini, selain ternyata masih banyak siswa SMP yang nyatanya belum bisa membaca, niat baik untuk membantu orang selalu tidak berujung baik. Hingga akhir ini, kawan saya dicap sebagai penyebar fitnah akibat serangan balik dari orang tua siswa SMP tadi. Bukannya dapat hadiah atas imbalan mengajar membaca, yang ada malah nasib buruk yang mengundang masalah. Haduh.
Apa pun kesimpulan kalian, perlu diingat saya tidak sedang membahas siapa yang salah dan siapa yang patutnya bertanggung jawab. Tapi, inilah realitas yang dihadapi para guru di keseharian. Guru kerap harus bertanggung jawab atas apa-apa yang bahkan bukan urusan mereka. Jadi, ya, begitulah.
Penulis: Handri Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Anak Haram itu Bernama Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung)