Pertemuan pertama kali dengan dunia buzzer adalah tepat satu tahun yang lalu, akhir Oktober 2019. Di sebuah grup Telegram, ada seseorang yang bergabung dalam grup tersebut. Ia memperkenalkan diri sebagai pengusaha kopi, dan maksud kehadirannya di grup itu adalah untuk mencari orang yang mau mereview aplikasinya.
Awalnya tidak ada yang menanggapi dan menyanggupi tawaran tersebut. Mungkin karena berada di dunia maya, siapa peduli dengan latar belakangmu? Justru malah patut dicurigai, baru masuk kok tiba-tiba udah nawarin.
Lantas ia mengeluarkan kartu saktinya, ia akan membayar satu orang pertama yang mau mereview aplikasinya. Dan saya adalah orang pertama yang menyanggupi tawaran tersebut (hehehe, kelihatan banget kan money oriented-nya).
Ternyata setelah menginstall aplikasi tersebut, saya baru tahu bahwa inti dari aplikasi itu adalah nabung kopi. Ya, konsepnya sih sama seperti nabung emas. Anda bisa beli kopi secara kiloan, lantas setelah batas minimal telah terpenuhi, Anda bisa redeem kopi secara fisik. Kopi yang dimaksud adalah biji kopi yang belum digiling, jadi memang pasarnya untuk reseller.
Setelah sekiranya cukup untuk mengamati aplikasi tersebut, saya pun menuliskan laporan ala-ala SWOT. Apa first impression saya, kekurangan, dan kelebihan aplikasi. Tidak lama setelah file tersebut saya kirimkan, ada notifikasi dana masuk dari OVO sejumlah Rp500 ribu.
Sebuah angka yang menurut saya terlalu tinggi untuk review aplikasi secara asal-asalan yang dilakukan kurang dari setengah jam.
Singkat cerita, ia memperkenalkan diri. Ia merupakan pebisnis kopi dari daerah Sumatera. Ia berbisnis kopi dari hulu hingga hilir, mulai dari menjual kopi yang masih dalam bentuk biji, bubuk kopi ataupun sudah menjadi kopi kekinian.
Ia ingin melebarkan sayap bisnisnya di Jakarta dengan membuat brand kopi kekinian sekaligus launching aplikasi.
Jadi ia membutuhkan team, yang digunakan sebagai pendengung di sosial media. Pada hari itu juga, ia menelepon saya, menawarkan pekerjaan sebagai buzzer. Sebagai seorang yang belum berpengalaman dalam melobi pekerjaan, kebanyakan saya menjawab dengan “nggah-nggih” saja.
Pembahasan terus berlanjut hingga kontrak pekerjaan, saya dikontrak selama enam bulan, dengan uang lelah senilai Rp2 juta per bulan, itu tidak termasuk biaya operasional untuk endorsement atau untuk giveaway.
Cukup was-was saat ia meminta foto KTP sebagai “jaminan”, sangat sulit untuk memercayai orang melalui internet, tapi setelah sekilas melihat rekam jejaknya yang bertebaran di internet, saya pun berani mengirimkan dokumen tersebut.
Resmi lah saya dan empat orang lain menjadi satu tim buzzer saat itu juga. Walaupun bukan buzzer politik, sih. Sebetulnya saya masih awam dan butuh proses belajar bagi saya untuk mengetahui pola marketing yang efektif di Twitter.
Dengan uang operasional, hal pertama kali yang saya beli adalah akun Twitter, tentu saja akun lama yang sudah memiliki ratusan bahkan ribuan followers.
Saya lupa memanage berapa akun pada saat itu, yang pasti jumlahnya puluhan. Mulailah saya menebar jala giveaway kepada para giveaway hunter di Twitter.
Memang, cara yang paling mudah untuk mendapatkan engagement di Twitter adalah dengan memberikan giveaway, selain itu, cara tercepat adalah dengan menunggangi tagar yang sedang trending.
Yang saya herankan adalah, kenapa Twitter tidak lantas meng-update algoritma trending seperti media sosial lainnya? Akibatnya adalah formula untuk trending di Twitter sudah terbaca dengan jelas.
Celah ini yang juga dimanfaatkan oleh para buzzer politik untuk bisa merangkak menuju trending. Tentu dengan sumber daya yang lebih besar dan bisa jadi koneksi yang lebih luas, mudah saja bagi buzzer politik untuk mendapatkan trending di Twitter. Searching saja, anda akan dengan mudah menemukan jasa untuk Trending Topic Twitter.
Jadi, setelah mengetahui seluk beluk dunia per-buzzer-an. Saya jadi ketawa sendiri kalau lihat trending topic ala-ala buzzer politik. Permainannya juga sama, saya kira teknik buzzer-nya itu the next level, ternyata tidak ada bedanya, sama sama pake giveaway.
Kontrak saya berakhir pada bulan April. Saya tidak berhubungan lagi semenjak Telegram saya hilang (karena itu adalah satu-satunya akses komunikasi).
Hingga beberapa hari yang lalu, teman kuliah saya membagikan story Instagram tentang pembukaan kafe kopi kekinian di Bekasi. Saya masih ingat logonya, ingin sekali saya membalas story itu dengan kalimat, “Hei, saya dulu kenal pemilik brand ini loh, saya pernah bekerja dengannya, saya yang membangun citra brand ini.” Tapi, buru-buru saya hapus karena dalam hati saya bilang,“Norak!”
BACA JUGA Mengupas Video Jamet yang Sarat akan Kritik Budaya dan tulisan Achmad Bayu Setyawan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.