Bagi banyak orang, berkendara di Jogja memang seru, apalagi naik motor. Syahdu dan jarang terdengar klakson. Namun, ketika saya membaca artikel di Terminal Mojok baru-baru ini mengenai permasalahan mata elang (matel) alias debt collector di Jogja, rasa nyaman berkendara jadi sirna. Tulisan tersebut membawa ingatan saya pada kejadian serupa saat tinggal di Jogja 2 tahun lalu. Saya sendiri yang mengalaminya, jadi incaran matel setiap lewat Seturan dan sekitarnya.
Matel sering mangkal di area yang banyak mahasiswa atau pendatang, contohnya di Seturan itu atau di dekat UGM saya pernah lihat. Mereka justru bukan menyasar warlok, tapi orang-orang luar Jogja yang punya motor. Tugas mereka menagih konsumen leasing kendaraan (khususnya motor) yang belum bayar cicilan atau bahkan kena kredit macet. Seharusnya dengan SOP yang berlaku, tapi seringnya memaksa bahkan sampai terjadi keributan.
Nah, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, saya sempat menjadi incaran komplotan debt collector di Jogja. Entah kenapa, padahal motor yang saya gunakan saat itu sudah lunas dan tidak ada tunggakan apa pun. Bukan hanya sekali, saya diberhentikan berkali-kali. Perasaan cemas dan waswas selalu menghantui kehidupan saya di Jogja. Kok gini amat ya?
Data penagihan salah tapi selalu jadi sasaran debt collector
Saya lupa kapan tepatnya Mio mungil ini jadi data para debt collector seram. Pertama saya dicegat sewaktu melintas di Jalan Seturan dekat Kampus UPN. Kalau yang paham daerah itu, mereka suka ngetem di sana. Kira-kira ada lebih dari 3 orang sambil mencocokkan data di handphone. Ketika melirik plat saya, mereka langsung mengejar. Saya masih belum sadar kalau jadi incaran, masih tenang saja ngegas motor.
Akhirnya, saya diberhentikan di pinggir jalan raya. Meski ramai, sepertinya masyarakat ini sudah biasa lihat orang dicegat matel. “Ini motor Lexi ya?” seorang lelaki bertanya dengan agak kasar. Saya belum bisa mencerna maksud si mas ini apa ya. Oh, saya baru paham, mereka ini mengira motor saya mereknya Yamaha Lexi. Saya menjelaskan tentang motor ini dengan gemetar.
Dua orang ini tetap tidak mau tahu dan meminta diperlihatkan STNK untuk bukti. Jelas-jelas si merah ini Yamaha Mio M3, kenapa kekeuh Yamaha Lexi? Setelah orang ini membaca STNK, malah bingung sendiri sambil menjelaskan ke temannya bahwa data yang mereka pegang salah. “Maaf ya kak ini datanya salah. Kirain mereknya Lexi, soalnya belum bayar tunggakan” tukasnya sambil pasang muka malu tapi tetap sok garang.
Hari-hari berikutnya saya dihadang lagi saat melintasi Jalan Affandi Gejayan. Oknumnya beda tapi masih membawa data yang sama, Yamaha Lexi menunggak cicilan. Saya tunjukkan lagi STNK plus no mesin di dalam jok motor. “Tolong dong infokan ke atasannya, data ini dihapus karena salah. Kemarin juga begini. Bikin orang takut aja!” protes saya hampir mau nangis. Dan kamu tahu, saya sudah 4 kali dihadang debt collector seperti ini. Data ngawur dan saya tetap diincar.
Dikejar sampai ke dalam gang sempit
Ternyata, pengejaran ini bukan hanya di pinggir jalan raya saja. Pernah pada siang hari yang terik, saya diuber gerombolan matel sampai ke gang kecil daerah Seturan. Rasanya seperti sedang berada di film action, tapi saya yang jadi maling. Walaupun kerap kali mengalami insiden ini, saya tetap deg-degan dan ketakutan menghadapi mereka.
Saat di dalam gang, dengan data yang sama (masih salah), mereka ngeyel kalau saya nunggak bayar. Dengan keberanian dan amarah yang memuncak, saya berargumen bahwa motor ini sudah lunas dan bebas utang piutang. Seperti biasa, mereka bingung dan minta maaf lagi karena salah sasaran. Entahlah, siapa yang menyediakan informasi ini sampai saya terus-terusan jadi mangsa.
Untungnya hari masih terang, bakalan lebih horor lagi dicegat debt collector saat malam tiba. Orang sekitar pun nggak peduli jika ada seseorang yang disamperin matel, atau mungkin mereka juga takut dan ingin cari aman.
Trauma lewat daerah SCBD Jogja, sarangnya debt collector
Akibat dari kejadian ini, saya jadi trauma lewat daerah SCBD karena para kolektor ini sering stand by di sana. Bahkan, di dekat UGM dan Jalan Solo pun sudah ada. Setiap lewat Seturan sekitarnya, saya langsung ketakutan dan putar balik jika ada matel. Pernah suatu ketika saya bablas aja, eh nggak dicegat. Sepertinya data motor saya sudah dihapus. Akhirnya, saya bisa bernapas lega.
Meskipun begitu, terkadang saya tetap waspada, siapa tahu kesialan menimpa saya lagi. Saking takutnya, saya rela berputar jauh lewat ringroad demi menghindari orang-orang ini. Bagi kamu yang merasa kendaraanmu bermasalah, mending hindari wilayah SCBD siang hari daripada kamu diuber kayak saya.
Eh, tapi nggak hanya ruas jalan di SCBD saja, kamu lebih baik mewaspadai di semua daerah ramai Jogja. Gerombolan ini sepertinya sudah menyebar.
Harus berani melawan, jangan sampai kendaraan jadi korban
Dalam situasi seperti ini, wajar saja jika panik dan ketakutan, saya pun merasakannya. Namun, tidak ada salahnya jika kita bertindak lebih tegas bila tidak salah dan jangan sampai pasrah pada debt collector. Banyak juga kasus salah sasaran di Jogja, rekan saya pun sempat mengalami. Hal ini membuatnya trauma untuk keluar sekadar beli makan. I feel you, my friend.
Sebagai pemilik motor yang sah, kamu punya hak untuk melawan. Jangan takut karena mereka pun akan mundur jika kamu sedikit galak untuk membela diri. Saya menerapkan trik ini. Tidak peduli matel ini laki-laki berlagak seram semua, saya benar kok. Walaupun ada debat tipis, mereka kalah dan melengos pergi.
Untuk menguatkan, kamu boleh perlihatkan bukti bahwa kendaraanmu memang tidak ada tunggakan dan kredit macet. Hal ini dilakukan kalau si matel sudah ngeyel tingkat tinggi.
Boleh menagih asalkan caranya manusiawi
Tidak masalah buat saya soal penagihan ini asal caranya manusiawi dan tidak mengintimidasi. Selain itu, penting adanya pedoman resmi dari leasing terkait akan proses ini. Ya memang sudah sewajarnya konsumen membayar kewajiban sesuai ketentuan. Apabila debitur sudah sangat terlambat bayar dan sulit ditemui, biasanya menggunakan pihak eksternal untuk menagih. Ya kelompok matel inilah maksudnya.
Berdasarkan pengalaman, saya merasa tidak nyaman dengan proses pengalihan seperti ini. Sebaiknya pihak leasing memberikan arahan yang jelas mengenai tata cara menagih yang berperikemanusiaan. Tidak sampai kejar-kejaran dengan pemilik kendaraan atau bahkan mengancam. Alih-alih angsuran dibayarkan, debt collector dan konsumen malah gontok-gontokkan. Kok malah jadi kayak tawuran ya?
Saya harap sih permasalahan matel di Jogja ini bisa segera diselesaikan. Jangan sampai membuat Jogja semakin tidak nyaman untuk ditinggali. Masa harus memakan korban dan viral dulu baru dibereskan?
Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















