Cerita ini terjadi ketika saya masih kecanduan main game di warnet. Main PB, Dota, PW, dan lain sebagainya. Ya, namanya juga candu, jadi ada suatu ketika saya pasti tidur di sana. Tidurnya nggak di kasur, tentu saja, tapi di kursi. Tiba-tiba ketiduran aja pas lagi main, sampai iler menetes ke keyboard. Kalau diingat-ingat, jijik juga.
Tapi tulisan ini bukan bercerita soal itu. Aduh, untuk nyeritain ini saja bulu kuduk saya merinding.
Jadi, warnet dekat simpang gerbang kampus saya itu memang bagus banget. Keyboardnya, layarnya, resolusi gambarnya, kursinya, mousenya. Aduh pokoknya sempurna deh. Nyaman banget untuk main game apa aja.
Nah, karena kenyamanan itu, saya jadi sering main di sana. Dari pagi sampai malam. Saking enaknya main di sana, nilai kuliah semester 4 saya hancur lebur. Ya, bodo amat lah. Masih ada 10 semester lagi, pikir saya waktu itu yang, tolong, jangan ditiru.
Karena sudah sering main di sana, saya jadi dekat sama abang operatornya. Nama abang itu Rendi. Dia pendiam, jarang memulai pembicaraan, tapi sekali ngomong lama banget. Rambutnya juga panjang, wajah pucet, bawah matanya item, ya emang gaya-gaya gamer. Saya suka kaget kalau mau ke WC dan abang itu tiba-tiba nongol dari kamarnya. Macam genderuwo.
Karena sudah kebiasaan dan kenal dekat sama abangnya, saya berencana tidur di sana selama seminggu. Salah satu alasannya juga karena waktu itu saya baru diputusin pacar yang lebih memilih dia daripada aku. Jadi butuh semacam pengalihan. Kisah itu juga horor sih, tapi nanti di kesempatan lain aja saya ceritakan.
Karena menghabiskan waktu di warnet, saya jadi banyak ngobrol sama Bang Rendi. Ketika itu baru jam 3 pagi, warnet mulai sepi nggak kayak biasa, hanya ada saya dan Bang Rendi. Karena udah bosen main, saya mendekat ke mejanya Bang Rendi, terus mulai ngobrol ke sana-kemari.
Awalnya seputar item-item di dalam game ini dan itu, kemudian seputar turnamen Dota 2, terus lanjut ke masalah pribadi, terus ke kehidupan alam semesta, terus sampai deh ke cerita mistis. Itu di hari pertama saya tidur di sana. Ketika pembicaraan sudah sampai di cerita mistis, dia langsung bilang gini.
“Mata batin Abang sudah terbuka sejak kecil, jadi Abang bisa melihat sosok tidak kasat mata.”
Awalnya saya menganggap dia cuma bercanda. Saya pun tertawa dan dia juga tertawa. Tapi saya merasa ada yang aneh dari tawanya dan sorot matanya: begitu misterius.
“Serius, Bang?” tanya saya memastikan.
“Serius. Ngapain bohong? Kalau masalah-masalah seperti ini dijadikan bahan becandaan, nanti bisa kualat loh.”
Tiba-tiba bulu kuduk saya merinding. Saya merasa ada angin dingin yang diembuskan ke bagian belakang leher saya. Padahal waktu itu punggung saya tersandar ke dinding. Kalau angin dari AC nggak mungkin.
“Kerasa, kan?” katanya.
Saya heran, maksud kerasanya itu apa. Tapi angin dingin itu sekali lagi terasa di kuduk saya.
“Kerasa apa, Bang?” tanya saya. Ketika itu jantung saya mulai berdegup kencang.
“Angin dingin itu. Hahaha…. Santai saja, dia tidak mengganggu, kok.”
Aduh, gila! Saya lagsung refleks geser kursi ke dekat Bang Rendi. Nggak diganggu bagaimana, itu si setan udah embusin udara ke kuduk saya. Sialan. Yang bikin kesal itu, Bang Rendi malah ketawa. Kenceng lagi. Saya tiba-tiba jadi merasa sendiri. Bang Rendi dan si setan seperti bekerja sama bercandain saya.
“Bang, jangan bercanda, Bang. Saya orangnya penakut.” Saya memohon agar Bang Rendi mengusir itu setan dari punggung saya.
“Nggak apa-apa, kok, dia lagi haus saja itu. Ini sudah jamnya untuk minum susu. Kasihan dia, jadi hantu karena korban kebakaran. Jadi tenggorokannya kering terus.”
Susu? Kok macam kucing atau anjing peliharaan saja. Di saat itu, suasana sudah mulai tidak jelas. Saya sudah parnoan saja melihat sana-sini. Udara menjadi sesak dan berat.
Yang makin bikin takutnya lagi, Bang Rendi tiba-tiba beranjak ke dapur. Saya memohon agar Bang Rendi tidak pergi, tapi dia malah tertawa lagi. Dasar operator sialan. Dia bilang, “Tidak apa-apa, santai saja.” Malahan dia ngajak saya ikut ke belakang untuk membuat susu. “Kasihan, setannya udah kehausan,” katanya.
Ingin rasanya saya pulang malam itu juga, tapi untuk beranjak saja saya takut. Perasaan saya sudah tidak menentu. Biasanya saya santai saja pulang jam berapa pun, tapi kalau kondisi sudah begini, ya, serbatakut lah. Ditambah lagi kosan saja itu jauh ke dalam. Hilang akal saya dibuatnya, mau balik takut, mau diam di meja operator takut, mau ikut Bang Rendi apalagi.
Akhirnya saya coba kuatkan diri. Saya bilang ke Bang Rendi kalau saya di meja operator saja. Untuk meramaikan suasana, saya hidupkan musik DJ Desa di YouTube. Kemudian sebentar-sebentar saya beranjak, pergi ke pintu warnet, kemudian ke meja operator, ke pintu lagi, balik lagi ke meja. Seperti itu terus sampai Bang Rendi datang membawa segelas susu.
Ketika Bang Rendi itu datang, saya sedang di pintu warnet. Melihat saya, dia tertawa. “Jangan takut, rileks saja,” katanya. Di sana saya sudah menyangka kalau Bang Rendi ini sepertinya seorang psikopat. Saya sedang kesusahan seperti itu dia malah tertawa.
Kemudian dia panggil saya ke meja operator. Segelas susu itu diletakkannya di meja. “Lihat, ini,” katanya. Saya menolak melihatnya. “Tenang saja!” Ditariknya lengan saya agar bisa melihat lebih dekat. Saya mencoba mengalihkan pandangan agar tidak melihatnya, sebab saya takut kalau-kalau ada jump scare. Entah itu susunya tiba-tiba meledak atau terjatuh.
Tapi begitulah, setakut-takutnya orang, di dalam hatinya yang paling dalam juga ada rasa penasaran. Perlahan saya lihat segelas susu itu. Ketika saya perhatikan, susu di dalam gelas itu surut begitu saja, seperti ada orang yang meminumnya menggunakan pipet. Dan bagian yang paling mengerikannya adalah di atas gelas itu saya melihat sepasang mata merah yang menatap ke arah saya.
Ketika itu tubuh saya terasa seperti disengat listrik, saya mencoba berlari ke luar, tapi pegangan tangan Bang Rendi begitu kuat. Coba saja kalian bayangkan kalau orang takut, tenaganya akan bertambah. Tapi malam itu saya tidak bisa. Bang Rendi malah tertawa dan terus mengencangkan genggamannya.
Dalam memberontak itu, saya melihat wajah Bang Rendi. Ekspresinya serperti iblis di kerak neraka. Melihatnya seperti itu saya tambah tenaga agar bisa berlari, tapi tetap tidak bisa. Ya, Tuhan!
BACA JUGA #MALAMJUMAT Pengalaman Super Seram Berjumpa Makhluk Tak Kasat Mata di ATM dan tulisan Muhaimin Nurrizqy lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.