Sejumlah wilayah di Indonesia saat ini sedang dilanda berbagai bencana alam, salah satunya banjir. Faktor penyebab banjir ini tentu bukan hanya karena curah hujan yang meningkat, tapi juga daerah resapan air yang berkurang jumlahnya.
Ratanya hutan karena berbagai alasan juga turut menyumbang terjadinya banjir. Bahkan, berdasarkan data BNPB, beberapa daerah di Pulau Kalimantan seperti Kota Banjar Baru, Kabupaten Balangan, dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah juga mengalami banjir. Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia karena keberadaan hutannya yang luas pun tidak bisa menghindar dari bencana langganan ini. Tapi, tenang saja, kali ini saya tidak akan membicarakan lebih jauh mengenai analisis penyebab datangnya banjir, kok.
Saya tinggal dan tumbuh di salah satu kota yang letaknya di pesisir utara Pulau Jawa. Kota yang terkenal akan batiknya hingga mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai salah satu kota kreatif dunia atau biasa disebut World’s City of Batik. Betul, Pekalongan.
Kota kecil ini selalu “dikunjungi” banjir setiap tahun. Kami tak heran, karena memang letak kota kami yang berdekatan dengan pantai. Penelitian dari Badan Geologi pun menyebutkan bahwa Kota Pekalongan berpotensi tenggelam sekitar tahun 2036 dikarenakan penurunan muka tanah sebesar 6 cm per tahun. Hal ini menjadi alasan mengapa warga Pekalongan harus mulai mengasah kemampuan berenangnya. Eh.
Rumah saya berada di pemukiman perumahan. Warga di perumahan ini memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dari warga perumahan lain yang kita tahu. Biasanya dihuni sebagian besar oleh orang kantoran, khususnya PNS, yang berangkat pagi pulang sore sehingga jarang sekali ada interaksi antartetangga. Paling-paling, bertemu tetangga sekadar berpapasan ketika pulang kantor atau saat perjalanan berangkat ke musala. Begitulah kehidupan sosial di perumahan, tidak seseru dan seasyik lingkungan perkampungan yang warganya lebih get in touch.
Di awal 2021 ini, perumahan kami tergenang banjir. Biasanya, banjir tidak sampai memasuki jalan utama perumahan, tetapi tahun ini memang berbeda. Saya semakin yakin dengan prediksi Badan Geologi dan mulai mencari-cari kursus renang.
Ketinggian banjir di perumahan kami mencapai lutut orang dewasa (dengan rata-rata tinggi badan orang dewasa 165 cm, ya), cukup tinggi bagi wilayah yang baru merasakan “nikmatnya” banjir. Beruntungnya, rumah saya berada di ujung perumahan, sehingga air tidak berani menyentuh tempat-tempat “PW” saya di rumah.
“Debut” pengalaman banjir tahun ini membuat warga perumahan menjadi panik dan tidak siap. Kami belum antisipasi dengan menyelamatkan apa-apa. Mungkin bagi wilayah lain yang biasanya digenangi banjir, warganya telah lebih dulu menyimpan barang-barang ke tempat yang aman atau bahasa kerennya usung-usung. Dari informasi yang saya terima, beberapa tetangga bahkan ada yang sampai mengungsi. Bedanya, mereka mengungsi di hotel.
Saya tidak kaget karena hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar ketika warga perumahan yang notabene memiliki ekonomi yang stabil dapat dengan mudah dan tanpa pikir panjang memesan kamar hotel untuk dihuni selama beberapa hari. Toh, sekarang banyak hotel yang sedang jor-joran memberikan diskon kepada tamunya dengan tujuan untuk meningkatkan income setelah berbulan-bulan terdampak pandemi Covid-19. Menurut saya, ini menjadi pilihan terbaik ketika kita tidak ingin bersinggungan langsung dengan genangan air yang bisa mengakibatkan berbagai penyakit kulit dan penyakit lainnya.
Di sisi lain, perangkat perumahan seperti Pak RW dan Pak RT dibantu para menterinya (dibaca: warga lainnya) mengambil langkah yang tepat guna menangani banjir. Pasukan ibu-ibu dikerahkan untuk membuat dapur umum dan memasak makanan yang nantinya akan dibagikan ke setiap penduduk. Sementara bapak-bapak saling bahu-membahu melancarkan saluran air yang tersumbat oleh berbagai hal seperti sampah plastik, pasir sisa bangunan, dan kenangan. Bahkan, kami juga menggunakan alat penyedot air untuk mengalirkannya ke kali yang berada di depan perumahan.
Biasanya, saat bapak-bapak sedang beristirahat di tengah-tengah pekerjaannya yang super dadakan ini, ibu-ibu datang membagikan nasi bungkus hasil karya tangannya. Nasi bungkusnya memang sederhana, tetapi kebersamaan yang membuatnya menjadi mewah dan istimewa.
Selain bapak-bapak dan ibu-ibu, anak muda seumuran saya juga turut membantu menangani banjir, lho. Jangan dikira kami ini hanya pandai ke coffee shop dan mendengarkan lagu-lagu indie karya Fiersa Besari ataupun Mas Kunto Aji. Kami juga peka, kok, dengan keadaan sekitar, ya meskipun hanya ditugaskan sebagai penjaga portal perumahan, yang kerjanya cuma buka tutup bila ada kendaraan yang ingin lewat.
Pemandangan berkumpulnya para warga seperti ini menjadi sesuatu yang kontras daripada biasanya. Bahkan, akibat banjir dan saya yang selalu berkutat dengan laptop dan tugas kuliah, jadi tahu bahwa banyak hal yang saya nggak tahu dari perkembangan perumahan saya.
Dari pengalaman banjir perdana ini, saya jadi tahu ternyata banyak wajah baru yang menempati perumahan, hewan peliharaan tetangga saya yang kabur, dan anak-anak yang dulu saya lihat masih kecil, sekarang suaranya sudah ”ngebass”.
Saya jadi kepikiran, kalau pengalaman banjir pertama membuat warga menjadi guyub rukun, gimana dengan yang kedua, ketiga, dan seterusnya? Eh. Nggak, ding. Semoga nggak ada lagi pengalaman banjir di tahun mendatang. Semoga kita bisa semakin bijak terhadap alam dan ia bisa segera membaik. Amiiin.
BACA JUGA ‘Before The Flood’, Film Perubahan Iklim yang Wajib Ditonton Politisi Indonesia dan tulisan Bintang Jihad Mahardhika lainnya.