Menjadi orang Bantul yang kuliah di Sleman itu bukan cuma soal menempuh jarak. Pengalaman ini juga tentang nasib.
Antara sabar menghadapi kemacetan, sabar menghadapi cuaca yang tidak menentu, dan menghadapi chat dosen yang tiba-tiba bilang “Kuliah hari ini online ya!” Padahal, saya udah separuh jalan, rambut sudah lepek, dan bensin sudah habis separuh. Rasanya ingin marah tapi dalam hati “Ya udahlah,” yang akhirnya cuma bisa putar balik.
Pertanyaan abadi untuk anak Bantul yang kuliah di Sleman
Terkadang saya berpikir bahwa kesabaran mahasiswa Bantul ada di tingkat yang maksimal. Hanya kami yang benar-benar tahu rasanya harus bangun tiga jam lebih awal sebelum kelas.
Sebagai orang Bantul, tepatnya di Pundong, dan kuliah di Sleman, tidak heran ketika teman-teman yang ngekos bertanya, “Kenapa PP? Rumahmu jauh banget, mending ngekos.”
Pertanyaan itu sering saya dengar sampai hampir semester akhir. Bagi mereka, ngekos adalah pilihan paling praktis, efisien, dan hemat. Tapi bagi saya, pulang setelah kuliah terdapat rasa yang tidak bisa dijelaskan. Saya bisa tidur di kasur sendiri dan menikmati makanan yang sudah siap di rumah, tanpa perlu memikirkan, “Makan apa ya hari ini?”
Keinginan vs realita
Meskipun begitu, terkadang muncul sedikit keinginan untuk ngekos. Khususnya ketika rasanya sedang capek-capeknya menghadapi jam kelas yang sangat pagi. Apalagi ketika sibuk mengikuti kepanitiaan maupun organisasi yang membuat saya tinggal lebih lama di kampus sampai malam.
Lewat keluh kesah itu, saya pernah menyampaikan niat untuk ngekos kepada teman sesama orang Bantul. Tapi bukannya mendukung, dia malah tertawa sambil berkata, “Halah, ngapain ngekos. Lama-lama juga terbiasa. Lagi pula cuma beda berapa menit sampai di Sleman.”
Saya hanya bisa menghela napas panjang. Mungkin memang benar, sebagai orang Bantul, jarak bukan masalah besar dan seperti kata orang tua saya, “Enak di rumah Nak. Hemat pengeluaran bulanan dan bisa kumpul terus. Lagian cuma di Sleman.”
Akhirnya saya sadar. Jadi mahasiswa PP bukan cuma tentang perjuangan di jalan, tapi juga tentang bertahan di antara dua dunia antara realita dan kasur empuk di rumah.
Lebih capek jauh dari rumah
Lucunya, saya pernah mendengar kata-kata “Orang Bantul kalau ke Sleman rasanya dekat, tapi orang Sleman ke Bantul rasanya jauh banget.”
Tapi, kalau dipikir, memang realita yang saya temui ya seperti itu. Ketika saya bilang rumah saya Bantul, mereka langsung mengatakan kalau itu jauh sekali dan saya selalu membantah dengan mengatakan “Halah cuma satu jam.”
Entah kenapa, jarak satu jam itu terasa ringan di sisi Bantul, tapi berat di sisi Sleman. Mungkin karena kami sudah terbiasa berdamai dengan waktu dan bensin. Terlebih hidup kami bergantung di kabupaten Sleman.
Pada akhirnya, setiap orang punya pertimbangan masing-masing, ada yang memilih ngekos, ada juga yang tetap PP seperti saya. Bagi saya, perjalanan bolak-balik itu bukan hanya soal lelah, tapi ada kepuasan tersendiri ketika bisa pulang, melepas penat di ruang yang sudah dikenal sejak kecil.
Walaupun harus bangun lebih pagi dan pulang lebih malam, setidaknya saya tahu ke mana harus kembali setiap hari, yaitu ke rumah yang selalu menanti. Lalu, jika suatu hari ada yang bertanya lagi, “Nggak capek PP tiap hari?” saya akan menjawab dengan santai, “Capek sih, tapi lebih capek kalau jauh dari rumah.”
Penulis: Bernadetha Natasya Mega Pramana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bantul Bukan untuk Kaum Mendang-Mending, Pikir Ulang kalau Mau Tinggal di Sini!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
