Peluru Dibalas Tahi: Ketika Kekerasan Dibalas Kelembutan

Peluru Dibalas Tahi: Ketika Kekerasan Dibalas Kelembutan

Aksi mahasiswa ternyata belum usai. Setelah demonstrasi besar pada bulan September lalu yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, demonstrasi kembali terjadi pada 28 Oktober di beberapa kota. Demonstrasi mahasiswa di Sulawesi Tenggara paling menarik perhatian masyarakat. Sebab dalam aksinya, mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sultra Bersatu (Formasub) melempari polisi dengan kotoran atau tahi sapi. Aksi ini jelas mengundang komentar masyarakat. Ada yang menganggap wajar, ada juga yang mengutuk aksi tersebut.

Maman Suherman, jurnalis dan penulis, menjadi salah satu pihak yang mengutuk aksi pelemparan tahi tersebut. Kang Maman (panggilan akrabnya) menuliskan sebuah ungkapan kecewa dan tidak percaya terhadap apa yang dilakukan mahasiswa terhadap polisi. “Sungguh, saya masih berusaha untuk tidak percaya, bahwa yang kalian lemparkan kepada sesama saudara kita, adalah tahi. Bayangkan, jika itu dilakukan terhadap dirimu, saudaramu, orang tuamu atau anak-anakmu,” ungkap Kang Maman dalam akun Twitter-nya.

Kang Maman juga mengunggah foto anggota kepolisian yang badan dan seragamnya “ternodai” oleh kotoran. Banyak yang sepakat dengan Kang Maman, tapi nggak sedikit juga yang menyanggah pendapat Kang Maman tersebut. Oh iya, demonstrasi mahasiswa tersebut berfokus untuk mendesak Kapolda Sultra mempercepat pengusutan kasus kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randy dan Yusuf.

Oke, kita coba mundur ke kasus kematian dua mahasiswa tersebut dalam demonstrasi sebelumnya. Keduanya tewas tertembak (atau ditembak?) oleh aparat kepolisian yang mengamankan jalannya demonstrasi pada September lalu. Meskipun ada beberapa versi tentang kematian kedua mahasiswa ini, yang jelas pelaku “pembunuhan” ini hampir bisa dipastikan dari pihak aparat.

Setelah kasus ini, mahasiswa menuntut pengusutan tuntas terhadap kematian kedua mahasiswa ini. Hasilnya, hanya tindakan berupa sanksi disiplin untuk enam polisi, yaitu AKP Diki Kurniawan, Bripka Muhammad Arifuddin, Bripka Muhammad Iqbal, Brigadir Abdul Malik, Briptu Hendrawan, dan Bripda Fatur Rochim Saputro.

Sanksi ini karena mereka membawa senjata api (yang mana sudah dilarang oleh Kapolri) dalam mengamankan demonstrasi mahasiswa 26 September 2019 di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Sanksi disiplin juga sekadar teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan pendidikan selama satu tahun, dan penempatan di tempat khusus selama 21 hari.

Ini jelas mengecewakan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Sanksi disiplin di atas jelas nggak menyelesaikan kasus kematian Randy dan Yusuf. Selain sanksi disiplin yang terlalu ringan, pihak kepolisian juga jelas belum mengungkap siapa dalang atas kematian kedua mahasiswa tersebut. Oleh karena itu, mahasiswa di Sultra mengadakan aksi lagi pada 28 Oktober yang diwarnai oleh pelemparan tahi ke arah polisi oleh mahasiswa.

Oke, katakanlah pelemparan tahi oleh mahasiswa ke polisi itu nggak manusiawi atau nggak beradab. Tapi, apakah penembakan oleh aparat bersenjata api ke arah mahasiswa yang nggak bersenjata, bisa dibilang lebih beradab? Ayolah, jangan seakan-akan air mata dan kesedihan polisi yang dilempar tahi itu lebih patut diberikan empati, daripada air mata dan kesedihan keluarga dan kawan-kawan kedua mahasiswa yang mati.

Polisi hanya dilempar tahi, yang akan hilang bau dan nodanya setelah mandi dan baju dicuci. Sementara mahasiswa yang tertembak, mungkin noda darah di baju akan hilang setelah dicuci. Tapi setelah dimandikan tubuhnya, apakah mereka akan kembali? Saya nggak tahu apa yang ada di pikiran orang-orang yang mencibir keras pelemparan tahi pada polisi, yang mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan biadab dan tidak berperasaan. Udah gitu, pakai pengandaian jika itu terjadi pada keluargamu, bla bla bla.

Coba kalau dibalik. Jika yang ditembak hingga mati itu saudaramu atau keluargamu, bagaimana perasaanya? Nodanya mungkin hilang, tapi nyawanya jelas tak kembali. Orang-orang seperti itu jelas kehilangan nalar manusiawinya. Membela mati-matian aparat bersenjata dan “agak diam” ketika mahasiswa mati ditembak aparat. Mungkin selama ini mereka hidup dalam kemewahan, keamanan terjamin, dan tanpa keraguan terhadap apa yang terjadi.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip Jason Ranti dalam unggahan di Instagram-nya. Dia mengatakan, “Aku nggak mau lempar batu ke mereka. Aku maunya lempar tahi aja. Batu itu keras. Tahi itu lembut. Kekerasan harus dilawan dengan kelembutan. Mungkin kelembutan tahi malah bisa menyentuh hati nurani.”

BACA JUGA Polisi Dilempar Tahi Masih Bisa Mandi, Mahasiswa Ditembak Mati Mustahil Hidup Lagi atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version