Warga Jogja dan sekitarnya bisa menikmati patung raksasa KAWS Holiday mulai 19-31 Agustus 2023 di Candi Prambanan.
Orang Jogja itu demen bermain simbol. Bahkan hal sekecil apa pun bisa menjadi simbol penuh nilai filosofis. Misalnya, sayur lodeh yang jadi simbol keselamatan ketika pagebluk. Atau klitih yang jadi simbol kreativitas remaja.
Lalu apa simbol bagi orang Jogja sendiri? Mungkin yang terlintas adalah Kraton, Taman Siswa, atau simbol budaya dan pendidikan lain. Tapi kini rakyat Jogja punya simbol baru yang menggambarkan diri dan hidup mereka, yaitu patung raksasa KAWS Holiday yang sedang rebahan di pelataran Candi Prambanan.
“Tapi, patung itu kan buatan orang Amerika! Nggak cocok dengan budaya adiluhung orang Jogja!” Tenang, jangan denial dahulu. Meskipun patung ini produk modern karya seniman mancanegara, KAWS Holiday lebih cocok jadi simbolnya orang Jogja hari ini.
Daftar Isi
Apa itu KAWS Holiday?
Meskipun viral, mungkin Anda belum tahu soal KAWS Holiday. Sebenarnya KAWS adalah nama panggung dari Brian Donnelly. Brian adalah seorang seniman multitalenta, dari musik sampai seni instalasi. Nah, KAWS Holiday adalah tajuk dari tur dunia pameran seni instalasinya yang terbaru. Dalam tur ke indonesia ini, KAWS menampilkan ikon raksasa berwarna pink itu.
KAWS Holiday sudah digelar di beberapa negara Asia dan Australia. Di setiap kota, warna patung KAWS Holiday yang ditampilkan punya warna berbeda. Kebetulan patung KAWS Holiday yang diboyong ke Candi Prambanan berwarna pink, yaitu karakter “ACCOMPLICE” yang pertama kali muncul sebagai figur vinyl pada 2002. Ukurannya yang besar dan warnanya yang menyala cukup mencolok ketika dipajang di depan Candi Prambanan.
Tidak jelas kenapa pelataran Candi Prambanan yang dipilih sebagai lokasi pameran. Mungkin karena pelataran candi ini yang mampu menampung patung sepanjang 45 meter dan masih terlihat lapang. Wajar, karena patung KAWS Holiday sendiri tidak bermuatan makna tertentu. Hanya sebuah karya instalasi yang dinilai dari keindahannya.
Tapi saya yakin, Mas Brian tidak kepikiran kalau patungnya ini menyimpan nilai lebih. Di mana patung yang diciptakannya ternyata tepat sebagai simbol rakyat Jogja. Setiap bagian dari patung ini ternyata bisa menggambarkan kahanan kawula daerah istimewa.
Warna pink penuh keraguan
Simbol pertama muncul dari warna pink alias merah muda. Kenapa KAWS Holiday yang diboyong ke Jogja berwarna pink? Padahal yang dibawa ke Hong Kong berwarna abu-abu.
Ternyata ada makna mendalam dari warna pink. Warna yang merah, tapi tidak benar-benar merah.
Dalam tingkatan sabuk PSHT, warna pink atau jambon mengandung arti warna keragu-raguan. Karena warna pink ini belum seutuhnya merah yang artinya berani. Kenapa saya harus nyinggung PSHT dalam memaknai patung KAWS Holiday? Lho, bukankah belum lama PSHT darmawisata ke Jogja dengan penuh ingar bingar? Tidak ada salahnya meminjam filosofi dari mantan turis Jogja ini, kan?
Memang keragu-raguan ini yang menggambarkan situasi warga Jogja. Ragu kalau daerahnya beneran istimewa.
Mau istimewa, kok karut-marut tidak karuan. Pengin indah, tapi sampah tidak terurus. Pengin berhati nyaman, tapi tiap malam jadi simulasi GTA. Mau merasa terayomi, tapi UMR saja menjerit. Mau demokrasi, tapi kok penetapan. Dan keragu-raguan lain yang kini mewarnai hati kita dengan warna pink.
Apa artinya ketika seseorang menutup wajah dengan tangannya? Antara dia tidak mau melihat sesuatu, atau tidak mau dilihat orang. Nah, patung KAWS Holiday juga demikian.
Raksasa pink “ACCOMPLICE” ini tidur rebahan sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Mungkin karena kepanasan dijemur di pelataran Candi Prambanan. Tapi sekali lagi saya ingatkan, ini gambaran warga Jogja.
Terjemahan dari accomplice adalah kaki tangan. Bisa juga berarti abdi atau tangan kanan. Ini juga menggambarkan rakyat Jogja. Bukankah rakyat Jogja sering mengaku sebagai abdi dari Kasultanan Yogyakarta? Dengan ikhlas menempatkan diri sebagai kaki tangan monarki, dan melindungi status istimewa dari nyinyiran dan kritik? Bukankah abdi juga selalu narimo ing pandum?
Tapi, kenapa menutup wajah? Kalau ini bisa mengandung dua arti.
Pertama, bisa berarti menolak. Menolak untuk melihat realita yang serba timpang. Menolak melihat kenyataan bahwa warga Jogja susah beli rumah di tanah tumpah darahnya. Atau menolak melihat kenyataan kalau Jogja tidak lebih dari romantisasi murah dan penuh cinta. Bahkan menolak kenyataan bahwa Jogja punya segudang masalah lain.
Kedua, wajah ini juga menjadi cara agar orang lain tidak melihat kenyataan pahit. Dan berakhir dengan membanding-bandingkan keburukannya dengan keburukan orang lain. Sampah dibandingkan dengan Bantargebang. UMR rendah dibandingkan dengan Jawa Tengah. Gentrifikasi dibandingkan dengan Bali. Dan kemacetan dibandingkan dengan Jakarta.
KAWS Holiday merebah kepanasan di tanah warisan budaya
Simbol terakhir KAWS Holiday adalah gestur merebah. Patung ini rebahan tanpa peneduh di pelataran Candi Prambanan. Wajar sih, karena tidak mungkin membangun tenda sarnavil untuk “memayungi” patung puluhan meter ini. Tapi sekali lagi, inilah gambaran rakyat Jogja hari ini.
Warga Jogja memang “rebahan” di atas tanah warisan budaya. Apalagi sekarang sedang gencar sertifikasi Sultan Ground (SG). Makin banyak lahan yang dipasang plakat tanda SG. Terutama tanah kas desa yang akhir-akhir ini sering bermasalah.
Tapi selain dari unsur legal, bukankah orang Jogja gemar mengaku kalau seluruh tanah milik Kraton? Maka mulutnya enteng banget mengusir orang yang berani mengkritik Jogja. Ra seneng minggato mas, Jogja ra butuh kowe!
Perkara tanpa peneduh, ini juga rakyat Jogja banget! Kita sedang menyongsong era di mana generasi muda Jogja kesulitan memiliki tempat tinggal. Harga tanah dan properti terus melambung dan meninggalkan barisan pejuang UMR. Mungkin pada satu momen di masa depan, kawula muda Jogja akan jadi seperti patung raksasa KAWS Holiday. Merebah tanpa peneduh di atas tanah warisan budaya.
****
Mungkin Mas Brian tidak akan menyangka kalau patungnya bisa menggambarkan rakyat Jogja sedalam ini. Maka lebih baik patung raksasa KAWS Holiday ini dibiarkan terus dipajang di Jogja. Kalau perlu dipindahkan ke Alun-alun Utara secara permanen. Sehingga rakyat Jogja bisa terus mengagumi karya yang tanpa sadar menggambarkan diri mereka.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Teror Mistisisme Jawa Bikin Warga Jogja Selalu Narimo Ing Pandum.