Di tengah dinginnya Kota Batu, ada satu pasar yang terasa “hangat” di hati saya. Namanya Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu.
Kalau orang Batu disuruh membahas soal pasar, pasti yang pertama terlintas adalah Pasar Induk Kota Batu. Pasar Induk Kota Batu memang sedang jadi pembicaraan akhir-akhir ini. Beberapa bulan lalu, pasar ini baru saja resmi berubah wajah dari pasar tradisional yang bisa dibilang agak kotor, menjadi pasar modern yang lebih rapi dan tentu saja lebih bersih, meskipun urusan parkir lagi-lagi jadi masalah.
Akan tetapi sebagai orang Batu, saya nggak akan membahas soal pasar induk yang baru ini. Sudah banyak yang bahas. Saya juga tidak banyak punya kenangan di sana, meskipun saya cukup sering mengantar ibu pergi ke pasar induk. Saya lebih tertarik membahas satu pasar di Kota Batu, sebuah pasar kecil yang punya tempat sendiri di hati saya. Pasar itu adalah Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu atau yang kerap disebut dengan Pasar Cilik saja.
“Kenapa Pasar Cilik Pesanggrahan? Kamu kan bukan orang Pesanggrahan?”
Jadi begini ceritanya. Dulu, ketika saya masih duduk di kelas 3 sampai awal kelas 5 SD, saya dan orang tua saya lebih sering tinggal di rumah kakek nenek (orang tua ibu). Rumah kakek nenek saya terletak di Desa Pesanggrahan, Kota Batu, tepatnya di depan Balai Kota Among Tani (dulu Balai Kota Among Tani belum ada). Kami tinggal di sana untuk menjaga kakek saya yang waktu itu sedang sakit.
Satu tahun lebih saya tinggal di rumah itu, sebuah rumah loji (peninggalan Belanda) yang jadi rumah dinas kakek yang merupakan pensiunan tentara. Sepanjang saya tinggal di rumah kakek saya, satu hal yang nyaris selalu saya lakukan tiap pekan adalah ikut ibu atau nenek berbelanja ke pasar. Tujuannya sudah pasti Pasar Cilik yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Kami selalu jalan kaki ke sana.
Daftar Isi
Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu memang cilik seperti namanya
Seperti namanya, Pasar Cilik ini memang kecil. Pasar ini hanya mengambil sepertiga bagian barat Jalan Sajid yang ada di Desa Pesanggrahan. Pasarnya kecil, jalanannya juga kecil: hanya muat dua mobil berpapasan. Meskipun kecil, pasar ini sudah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga warga Desa Pesanggrahan, termasuk kebutuhan keluarga saya.
Hari Minggu pagi sudah pasti menjadi hari wajib pergi ke pasar. Dan saya selalu ikut ibu, nenek, atau tante saya (adik ibu) pergi belanja ke Pasar Cilik. Sebagai anak kecil, saya tentu tidak punya tujuan pasti pergi ke pasar. Saya hanya ikut-ikut orang tua. Syukur-syukur kalau pulang membawa kudapan atau mainan, meskipun jarang sekali saya dibelikan mainan.
Hal yang paling saya ingat dari memori tentang Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu ini adalah jamu dan kue pancong. Iya, dua hal itu wajib hukumnya untuk dibeli ketika pergi ke Pasar Cilik.
Tentang jamu, saya ingat betul bagaimana senangnya saya ketika membeli jamu. Penjual jamu di sana adalah seorang ibu-ibu (saya lupa namanya siapa) dengan gendongan jamu yang khas itu, yang mangkal di depan penjual tempe langganan keluarga saya.
Sebagai anak kecil, tentu saja jamu favorit saya adalah beras kencur. Tapi saya belinya bukan diminum di tempat. Saya selalu minta di bungkus plastik, lalu plastiknya ditarik, dibentuk sedemikian rupa hingga seakan mempunyai tangan dan kaki. Kalian tahu, kan, maksud saya? Itu sudah membuat saya senang, dan saya bisa minum jamu itu sembari berjalan pulang.
Soal kue pancong juga sama. Di ujung timur Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu, ada penjual kue pancong yang sudah jadi langganan keluarga saya. Kalau hari-hari biasa, penjual kue pancong ini biasanya keliling di sekitar Desa Pesanggrahan. Kalau hari Minggu, penjual kue pancong sudah pasti akan mangkal di Pasar Cilik dan tak pernah luput dari sasaran saya dan keluarga.
Kue pancong panas dengan taburan gula di atasnya adalah kudapan terbaik. Meminjam kata Cing Abdel, kue pancong di Pasar Cilik itu no debat!
Harus berpisah
Setelah sekitar satu setengah tahun tinggal di rumah kakek-nenek saya, qodarullah kakek saya wafat karena sakit. Wafatnya kakek membuat nenek terpaksa pindah rumah.
Beberapa bulan setelah kakek wafat, nenek dan keluarga tante saya pindah dari rumah dinas di Desa Pesanggrahan ke rumah pribadi yang memang sudah disiapkan sebelumnya di Desa Temas, Kota Batu. Saya dan orang tua saya pun kembali ke rumah saya di Desa Tulungrejo. Kami “berpisah” meninggalkan Desa Pesanggrahan.
Pergi dari Desa Pesanggrahan berarti kami juga harus berpisah dengan Pasar Cilik. Setelah pindah, saya tidak pernah lagi pergi ke Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu. Semua kenangan, tentang jamu, kue pancong, serta hiruk pikuknya sudah saya tinggalkan. Sudah tidak ada lagi jamu beras kencur dalam plastik, dan sudah tidak ada lagi kue pancong panas dengan taburan gula di Minggu pagi.
Mengorek kenangan di Pasar Cilik
Beberapa bulan lalu, di suatu siang, saya sedang mengantar ibu untuk kontrol kesehatan di Rumah Sakit Dr. Etty Asharto, yang hanya berjarak 100 meter. Sembari menunggu ibu, saya menyempatkan untuk jalan-jalan sejenak ke Pasar Cilik, sekadar untuk mengingat lagi memori masa kecil saya yang ada di sana.
Karena saya datang siang, pasarnya jelas sudah sepi. Tapi ternyata Pasar Cilik Pesanggrahan Kota Batu itu tidak banyak berubah. Pasarnya masih cilik, tentu saja. Ruas sebelah utara masih didominasi stan penjual yang dibangun dari kayu dan terlihat lebih bagus. Sementara ruas sebelah selatan masih didominasi beberapa ruko yang di depannya ada beberapa lapak penjual.
Saya tidak menemukan ibu-ibu penjual jamu dan penjual kue pancong. Mungkin jualan mereka sudah habis karena hari sudah siang. Atau mungkin mereka sudah tidak berjualan lagi. Entahlah.
Itulah sisa kenangan saya di Pasar Cilik Pesanggrahan, sebuah jantung dan penghidupan bagi masyarakat Desa Pesanggrahan Kota Batu, yang mana keluarga saya pernah bergantung kepada pasar ini. Pasar ini memang cilik, sesuai namanya, tapi saya bisa merasakan kehangatan di sana. Apa lagi jika memutar ingatan saya bertahun-tahun lalu ketika hari Minggu pagi pergi ke pasar ini.
Mungkin nanti, kalau sempat, saya akan kembali ke pasar ini di Minggu pagi. Saya akan mengajak ibu, berbelanja sedikit, dan tentu saja membeli jamu beras kencur dan kue pancong, kalau masih ada.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Orang Batu Nggak Suka Disamakan dengan Orang Malang. Keduanya Memang Serupa, tapi Tak Sama!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.