Setelah membaca tulisan Mbak Bella Yuninda Putri yang berjudul “Seharusnya Sekolah Bikin Parkir Motor Khusus Siswa, Siswa Berhak Tenang dan Bebas dari Pungutan Parkir Liar!”, saya jadi kepikiran untuk menuliskan hal serupa karena hal tersebut adalah keresahan saya sejak lama.
Jadi begini. Saat kuliah, kampus tempat saya menimba ilmu menyediakan lahan parkir kampus yang diperuntukkan untuk seluruh civitas akademikanya. Mulai dari dosen, tenaga pendidik, mahasiswa, hingga tamu yang punya urusan di kampus. Untuk dosen dan tenaga pendidik, pastinya parkir gratis. Untuk tamu yang punya urusan di kampus, saya pikir masih masuk akal untuk bayar parkir di kampus.
Sayang berjuta sayang, saya dan ribuan mahasiswa di kampus diharuskan untuk membayar biaya parkir. Bagi saya sih, ini hal yang aneh. Biaya kuliah mahal, tapi disuruh bayar parkir oleh kampus sendiri.
Daftar Isi
Nggak semua mahasiswa itu anak sultan!
Alasan pertama yang melatarbelakangi saya untuk menulis tulisan ini adalah, tidak semua mahasiswa adalah anak sultan. Bagi mahasiswa, nominal uang 2.000 Rupiah itu sangat berharga. Sekurang-kurangnya, nominal 2.000 Rupiah bisa digunakan untuk membeli satu keping kopi sachet di warung.
Anggap saja saya berkuliah dari Senin-Jumat, lalu saya tetap ke kampus pada hari Sabtu dan Minggu untuk kegiatan ormawa. Saya bisa mengeluarkan uang sebanyak 14.000 Rupiah hanya untuk parkir! Ini belum ditambah jika saya harus keluar kampus lebih dari satu kali ketika ada acara atau ada urusan penting ke kampus, di mana saya harus kembali bayar biaya parkir kampus.
Dalam satu bulan, sekurang-kurangnya saya bisa menghabiskan nominal sebesar 60.000! Nominal 60.000 bagi saya bukanlah nominal yang sedikit. Saat saya kuliah, nominal segitu bisa saya gunakan untuk 5 kali makan siang atau makan malam di warung makan sekitaran kampus, lho! Nominal tersebut juga bisa saya gunakan untuk sekadar beli pulsa, quota internet, atau nambah-nambah buat bensin.
Saya juga tahu, hampir seluruh kampus di Indonesia pasti mengharuskan mahasiswanya untuk bayar parkir. Baik mahasiswa yang parkir cuma 5 menit, atau mahasiswa yang parkir di kampus selama satu minggu. Tapi kan nggak semua mahasiswa itu anak sultan? Nominal segitu sangat besar bagi saya, bahkan ketika saya menuliskan tulisan ini, di mana saya sudah lulus dari kampus dan sudah bekerja.
Memang kampus nggak bisa menyisihkan anggaran buat parkir?
Saya tahu, kampus tempat saya menimba ilmu menggunakan jasa pihak ketiga untuk pengelolaan parkir kampus. Biayanya tentu saja tidak sedikit. Antara lain untuk menggaji petugas loket parkir, juru parkir yang merapikan kendaraan, hingga biaya operasional seperti pengecatan garis parkir hingga penyediaan cone di area parkir.
Namun, saya pikir, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan supaya mahasiswa harus bayar parkir dong. Setiap tahun, biaya kuliah selalu naik. Nominal kenaikannya juga nggak sedikit. Masa kampus nggak bisa menganggarkan dana tersebut supaya mahasiswa nggak harus bayar uang parkir? Pasalnya, seperti yang sudah saya sebutkan pada poin pertama, nominal uang parkir itu tidaklah sedikit bagi saya yang bukan anak sultan.
Tak menjamin apa-apa
Alasan terakhir yang bikin saya menuliskan tulisan ini adalah, keberadaan pihak ketiga untuk mengelola parkiran kampus tidak menjamin apa-apa. Area parkir kampus tetap sempit sehingga banyak dosen, tenaga pendidik, hingga mahasiswa telat masuk kelas.
Ada juga kasus kehilangan helm ketika saya masih berstatus sebagai mahasiswa. Ada juga kasus di mana kendaraan mengalami kerusakan. Entah karena terserempet kendaraan lain atau ada pihak tak bertanggungjawab yang berniat merusak kendaraan. Hingga kasus kehilangan barang di dalam kendaraan atau kendaraannya yang hilang!
Yang bikin kecewa, pihak pengelola parkir maupun kampus pun tidak memberikan kompensasi apa-apa sama sekali dengan slogan normatif, “Setiap kehilangan/kerusakan bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir”. Padahal, dilansir dari HukumOnline.com, Putusan MA No. 3416/Pdt/1985, majelis hakim berpendapat bahwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang. Oleh karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab pengusaha parkir.
Bicara soal parkir kampus memang nggak akan pernah ada habisnya. Sebab, sejak saya masuk bangku kuliah di tahun 2010 yang lalu, permasalahan ini seolah nggak ada habisnya. Saya mau protes baik secara lisan maupun pakai tulisan kayak gini juga nggak didengar oleh pihak kampus. Yang lain mungkin merasa nominal yang dikeluarkan untuk biaya parkir tergolong murah, atau barangkali mereka juga mengeluhkan hal yang sama, tapi nggak berani protes dan hanya bisa pasrah.
Tuntutan saya sih sederhana: hapuskan biaya parkir kampus. Dah. Kalau parkir aja nggak bisa nyediain, ya… simpulkan sendiri deh.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya