Dulu waktu saya masih SMA, Pantai Parangtritis Jogja memang jadi destinasi utama. Tidak hanya wisatawan, tapi juga para barisan patah hati. Menangis meratapi ditinggal rabi di atas pasir lembab. Sembari menahan dingin angin kencang yang menyeret ombak. Kalau sekarang, ringroad sudah mengambil alih peran perkara patah hati. Lalu bagaimana dengan kemasyhuran pantai selatan ini?
Ternyata meredupnya kultur ambyar di pantai ini juga diikuti pudarnya kemasyhuran. Pantai Parangtritis yang dulu viral kini jadi pantai yang biasa saja. Paling hanya didatangi sebagai syarat wisatawan sudah pernah ke Jogja. Selebihnya biasa saja. Namun kenapa? Bagaimana bisa pantai yang pernah jadi destinasi utama kini menjadi terkesan biasa?
Dulu memang indah dan sakral
Sebelum biasa saja, Parangtritis digadang sebagai kesempurnaan Jogja, di mana daerah istimewa ini diapit oleh dua keindahan yang bertolak belakang. Gunung Merapi yang perkasa di utara, dan Pantai Parangtritis di selatan. Sebuah kesempurnaan yang akhirnya diromantisasi sebagai sumbu filosofis.
Keindahan pantai satu ini memang erat dengan perkara filosofis. Kerajaan Laut Selatan adalah kuncinya. Selain itu, berbagai kegiatan budaya yang sakral juga diselenggarakan di Parangtritis (dan Parangkusumo, sebelah pantai ini). Bahkan untuk membubui keindahan yang mistis dan filosofis ini, muncul berbagai legenda. Salah satunya legenda pakaian hijau yang terkenal sampai sekarang.
Bukti kalau Parangtritis Jogja pernah berjaya adalah deretan losmen dan penginapan di sekitarnya. Jalur menuju pantai ini juga mudah dan nyaman. Bahkan jalan belasan kilometer menuju pantai ini juga bernama Parangtritis. Terbukti Parangtritis sudah matang secara infrastruktur pelengkap. Namun keindahan filosofis berbalut kesakralan Parangtritis inilah yang kini meredup. Tapi kenapa?
Baca halaman selanjutnya