Pantai Parangkusumo adalah gerbang gaib, dan saksi berdirinya sebuah kerajaan agung
Ibu itu tampak biasa saja. Lumrahnya ibu-ibu Jogja yang sederhana dalam balutan daster usang. Tapi, dari bibir yang murah senyum itu, ada suara lantang. Marah mendengar betapa amburadulnya Jogja. Ada getar duka melihat anak-anak muda ditakdirkan melarat di negeri istimewa. Ia adalah Bu Kawit, perempuan tegar warga Pantai Parangkusumo, gerbang gaib Kerajaan Laut Selatan.
Setidaknya ia tetap warga Parangkusumo, sampai benar-benar terusir. Harus tergusur demi wacana kelestarian gumuk pasir dan status Sultan Ground yang mbuh itu.
Pertemuan saya dengan Bu Kawit ini tidak hanya membakar semangat. Tapi mengingatkan saya pada Pantai Parangkusumo, pantai yang dikenal sebagai tempat nenepi dan semedi, pantai yang digadang sebagai pintu masuk menuju istana Ratu Kidul,, kerap dianggap pantai yang kalah moncer dengan Parangtritis. Dan, yang terakhir, pantai yang menyimpan noda hitam penggusuran.
Daftar Isi
Pantai Parangkusumo, pantai keramat bagi Jogja dan Suzanna
Pantai Parangtritis, selain indah, dikenal wisatawan sebagai tempat keramat. Tapi, sebenarnya, anggapan tersebut keliru. Sejatinya, Pantai Parangkusumo lah yang dikeramatkan. Tapi saya maklum, batas antara Pantai Parangtritis dan Parangkusumo tidak nyata. Dua pantai ini tersambung sebagai hamparan pasir hitam vulkanis yang panjang. Tidak ada tebing, batu karang, atau tanda alam lain yang memisahkan dua pantai ini.
Tapi Pantai Parangkusumo punya ciri khas, yaitu situs Cepuri Parangkusumo. Sebuah area terpagar berisi dua bongkah batu keramat. Batu ini konon menjadi tempat Danang Sutowijoyo bertemu dengan Ratu Kidul. Remaja itu kelak menjadi Raja Mataram bergelar Panembahan Senopati. Bisa dibilang, Pantai Parangkusumo menjadi satu dari beberapa tempat penting dalam berdirinya Kerajaan Mataram. Sebuah kerajaan besar yang kelak melahirkan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Sejarah dan legenda inilah yang membuat Pantai Parangkusumo menjadi istimewa dan keramat. Upacara labuhan dilakukan di pantai ini secara rutin. Selain itu, banyak penghayat kepercayaan Kejawen yang nenepi serta semedi di bibir pantai ini. Mereka duduk bersila di pinggir pantai atau di dalam kompleks Cepuri. Bukan menikmati keindahan alam, tapi bersemedi dan berdoa.
Salah satunya adalah Suzanna. Ratu horor Indonesia ini disebut sering mengunjungi Parangkusumo, terutama kompleks Cepuri Parangkusumo untuk berdoa. Hari ini, banyak orang yang ingin jadi “penerus” Suzanna yang mendatangi Pantai Parangkusumo, mencoba melakukan laku spiritual yang sama seperti sang ratu.
Gumuk pasir cantik dan simulasi naik haji
Keunikan Pantai Parangkusumo bukan hanya kesakralannya, tapi juga fenomena alam berupa Gumuk Pasir. Bukit-bukit pasir yang terbentuk alami ini menyimpan keunikan sendiri. Bentangan padang pasir Parangkusumo menjadi cantik dan melebar jauh dari bibir pantai. Padang pasir ini sampai dijuluki Sahara van Java, sebuah julukan norak yang kental dengan budaya rendah diri.
Saya yakin, setidaknya satu dari teman Anda ada yang foto prewedding di gumuk pasir ini. Lumrah, karena hamparan pasir seluas Parangkusumo memang langka di Indonesia. Apalagi jika berfoto dengan konsep Timur Tengah. Meskipun pasir Pantai Parangkusumo berwarna abu kegelapan dan bukan kekuningan seperti di Jazirah Arab. Gapapa, toh murah meriah.
Padang pasir ini tidak hanya jadi tempat foto-foto cantik, tapi juga sering menjadi lokasi Manasik Haji. Banyak sekolah yang mendatangi pantai ini untuk simulasi naik haji. Memperkenalkan para murid tentang tata laksana ibadah haji di tempat yang mirip-mirip di lokasi asli.
Balada penggusuran di Pantai Keramat
Sayang sekali, keindahan dan kesakralan Parangkusumo menyimpan duka. Warga menolak relokasi yang dipandang sewenang-wenang. Mereka pernah memperjuangkan hak Magersari, tapi ditolak. Sedangkan lokasi relokasi ternyata tidak layak dan sering tergenang air. Belum lagi janji-janji pemerintah Jogja yang dipandang bohong belaka.
Bu Kawit jadi satu di antara korban penggusuran. Dan setelah geger penggusuran ini, Bu Kawit tidak lantas bungkam. Bahkan tidak hanya mempermasalahkan penggusuran yang dialami, tapi terbuka terhadap berbagai isu dan masalah sosial di Jogja. Memperluas cakrawala bagaikan hamparan gumuk pasir yang pernah ia cintai dan hidupi.
Pantai Parangkusumo memang tetap indah dan sakral. Namun di antara pasir-pasir berkilau, ada banyak cerita. Kisah berdirinya kerajaan yang agung. Rapalan doa para penghayat dan ratu horor Indonesia. Dan tangis serta serapah para korban penggusuran.
Sumber gambar: Bagus Ilham via Unsplash
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cepuri Parangkusumo, Saksi Cinta Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati