Panduan Memilih Pesantren agar Tepat Sasaran dan Calon Santri Kerasan dari Seorang Alumnus Pesantren

Panduan Memilih Pesantren Agar Tepat Sasaran dan Calon Santri Kerasan

Beberapa bulan ini merupakan fase mulai dibukanya pendaftaran tahun ajaran baru bagi calon santri yang berkeinginan masuk pesantren. Seiring dengan itu, beberapa sekolah juga sudah mulai memasuki fase kelulusan siswanya. Entah itu dari jenjang SD, SMP maupun SMA.

Saya sendiri baru saja mendaftarkan adik saya ke sebuah pesantren di daerah saya. Meskipun sebenarnya dia belum melakukan ujian kelulusan kelas 6 SD, tapi mendaftar duluan untuk masuk pesantren beserta sekolah SMP-nya nggak masalah juga.

Toh lebih enak bisa masuk gelombang pertama. Selain biar adik saya nggak kepikiran pendaftaran atau tes masuk sekolah dan fokus ujian kelulusannya ke depannya, keuntungan masuk gelombang pertama juga cenderung karena tarif pendaftaran lebih murah.

Saya sendiri merupakan alumnus pesantren, dan juga pernah menjajaki beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui program ngaji kilatan setiap bulan Ramadan. Jadi, ketika mendaftarkan adik saya ke pesantren, saya nggak asal pilih, melainkan disesuaikan dengan tipikal adik saya, agar tepat sasaran dan tentunya adik saya kerasan.

Bagi kalian yang ingin mendaftarkan diri ke pesantren, atau mungkin mendaftarkan anak maupun sanak keluarga, saya ada sedikit tips untuk memilih pesantren tepat dan juga tentunya agar si calon santri kerasan.

#1 Tentukan terlebih dahulu jenis pesantrennya

Setahu saya ada beberapa jenis pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren salaf. Pesantren ini model pendidikannya hanya pesantren saja tanpa sekolah. Jadi, hanya ngaji atau belajar ilmu agama saja, tanpa sekolah formal.

Salah satunya adalah Ponpes Al-Anwar 1 Rembang, yang pernah dipangku oleh almarhum Mbah Maimun Zubair. Meskipun nggak sekolah formal, jangan khawatir perihal ijazah. Justru beberapa pesantren salaf juga mengeluarkan ijasah yang setara dengan ijazah sekolah formal pada umumnya.

Kedua, pesantren modern. Untuk yang satu ini, model pendidikannya ada dua, yakni sekolah formal dan pesantren itu sendiri. Jadi, ya ngaji agama, ya belajar keilmuan umum juga. Saya sendiri selama enam tahun nyantri di tempat semacam ini, tepatnya di Ponpes Qomaruddin, Bungah, Gresik.

#2 Pilih di dalam atau luar daerah

Sepengetahuan saya, kebanyakan daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa, pasti ada pesantrennya. Setidaknya satu atau dua pesantren. Oleh karena itu, perlu diputuskan terlebih dahulu mau pilih di daerah sendiri, di luar kota, atau bahkan di luar provinsi sekalipun. Menurut saya ini cukup perlu diperhatikan pula sebelum mandaftar.

Perlu dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah calon santri sudah memiliki bibit kemandirian atau belum. Kalau memang sudah, ya sah-sah saja mau ditaruh di daerah mana saja, bahkan jauh sekalipun.

Kalau kurang begitu mandiri, lebih baik cari di daerah sendiri saja agar si calon santri beradaptasi mandiri secara perlahan dan pihak wali santri juga mudah menyambangi ketika ada keperluan. Bukannya memanjakan santri baru, hanya saja jika terlalu dipaksakan, takutnya santri ini akan nggak kerasan di awal-awal adaptasinya.

Nah, kalau santrinya sudah beradaptasi dan telah mandiri, maka boleh-boleh saja menjajaki ke tempat yang lebih jauh untuk memperdalam keilmuan dan pengalaman.

#3 Setiap pesantren biasanya memiliki fokus keilmuan agama

Setiap pesantren yang saya tahu, pasti memiliki fokus keilmuan agama, atau setidaknya memiliki dominasi keilmuan yang diajarkan di pesantrennya. Misal, di tempat saya belajar fokus pada keilmuan Fiqih, ada pula Ponpes Fathul Ulum Kwagean Kediri yang fokus pada Tasawuf. Bahkan ada beberapa yang fokus mencetak santri Tahfidz.

Nah, tinggal sesuaikan saja dengan minat, kenyamanan, maupun kesukaan dari calon santrinya. Hal ini bertujuan agar keterampilan calon santri lebih terlatih dan santri nyaman dengan pembelajaran yang berlangsung di pesantrennya.

#4 Cari info seputar level kedisiplinan pesantren yang dituju

Mungkin ini juga sangat penting diperhatikan. Pasalnya, kebanyakan santri yang nggak kerasan itu dikarenakan ketidakcocokannya dengan model kedisiplikan dari pesantrennya.

Jadi, ada beberapa pesantren yang memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, bahkan ada yang nggak memperbolehkan santri keluar sama sekali. Namun, ada pula yang nggak ketat sedikit pun, bahkan mengandalkan kesadaran dari masing-masing individu.

Bagi calon santri yang berpola pikir mudah berkembang, mudah berpikir dewasa, mudah memahami, mudah menyesuaikan kondisi, meskipun si calon santri ini nakal sekalipun, maka nggak jadi masalah ditaruh di pesantren yang nggak ketat. Pasalnya, kenakalannya akan luntur dengan sendirinya ketika melihat kondisi sekitarnya tanpa ada paksaan.

Nah, sementara untuk calon santri yang sedikit bebal, nakal, susah diatur, dan lain sebagainya, saya sarankan jangan ditaruh di tempat yang sangat disiplin. Iya kalau dia mudah memahami dan dewasa, lah kalau nggak? Bisa jadi si calon santri malah nggak kerasan. Saya sarankan taruhlah calon santri ini di tempat yang level kedisiplinannya tengah-tengah, nggak terlalu ketat, tapi juga nggak terlalu longgar.

Sedangkan untuk yang disiplin dan ketat sekali, mungkin lebih cocok bagi model santri yang berintegritas tinggi, komitmen tinggi dan semacamnya. Pasalnya, santri tersebut akan selalu terpacu dengan iklim di tempat tersebut.

Jadi, buat kalian yang sedang berburu pesantren, coba praktikkan panduan dari saya ini. Semoga berhasil.

BACA JUGA Pengalaman Jadi Santri di Pesantren Salafi yang Anti Pengeras Suara dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version