Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Pancasila Dalam Hidup Saya

Mazida Fidelia oleh Mazida Fidelia
26 Mei 2019
A A
pancasila dalam hidup saya

pancasila dalam hidup saya

Share on FacebookShare on Twitter

Saya mempunyai Ayah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Salah satu yang saya ingat, Ayah pernah berkata “Sampai mati kamu tidak boleh korupsi, jika ingin korupsi maka ingat kata kata Papa ini!”

Ayah saya selalu mengulang kata-kata ini pada  tahun itu,saat banyak kader partai berlogo biru mulai ditangkap oleh KPK. Mungkin kalimat Ayah saya adalah kalimat basi yang sering diucapkan orangtua pada anaknya, tapi percayalah kalimat ini harus didengar setiap elite politik di negara ini.

Apa yang mendasari saya berkata demikian? Jika kalian melihat realita negara berkembang dengan banyak penduduk ini, maka kalian akan sadar betapa nestapanya nasib uang rakyat yang dimakan segelintir elite politik. Saya pernah bertanya kepada Ayah saya, “Pa, mengapa Papa tidak mau masuk IPDN?”

Hal ini karena dulu semasa muda Ayah saya diterima masuk kedinasan bergengsi itu, lalu Ayah saya menjawab “Papah tidak mau jadi Camat, Nak.” Saya terheran-heran dan berpikir apa yang salah dari pekerjaan seorang Camat—gaji besar, hidup terjamin dan tidak kerja serabutan seperti kondisi ayah saya kala itu.

“Papa takut membiayai keluarga Papa dengan uang haram.” Jawaban ini membuat hati saya terenyuh mendengarnya. Saya paham bagaimana tidak percayanya Ayah saya kepada orang-orang pemerintahan—padahal ibu saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil. Saya pikir sisa-sisa idealisme mahasiswa masih ada pada diri Ayah saya saat itu.

Pada suatu hari saya mendengar perdebatan kecil dari orangtua saya. Beliau berdua membahas tentang ormas Islam di Indonesia yang mulai berani menyerukan negara khilafah yaitu negara yang didirikan berdasarkan hukum-hukum syariat Islam.

Pada saat itu Ibu saya beranggapan bahwa hal ini wajar terjadi karena Indonesia adalah mayoritas muslim dan umat Islam—pasti merasa bahwa mereka memiliki super power yang dapat menggerakan massa untuk menjadikan agama sebagai bungkusan kepentingan pribadi. Dan apa yang dikatakan Ibu saya memang benar terjadi pada saat itu.

Hal saya bingungkan adalah apa yang membuat Ayah saya sangat berapi-api saat membahas isu agama seperti ini. Saya yang pada saat itu merasa bahwa Ayah saya sangat berlebihan dalam menanggapi hal ini. Saya lantas tersentak saat Ayah saya berkata, “Mereka itu pernah memenggal warga desa Papa.”

Baca Juga:

Surat Terbuka buat para Tukang Serobot Antrean: Kalian Nggak Punya Malu Atau Nggak Punya Otak, sih?

Trump Butuh Sosok Ki Amien Rais untuk Bikin Aksi Protesnya Meriah

Ayah saya bercerita tentang pemberontakan DI/TII yang terjadi sekitar tahun 1949-1962 yang tejadi di Jawa Barat yang kebetulan kami sekeluarga berasal dari sana. Ayah saya bercerita bahwa tetangganya digorok oleh segerombolan kelompok itu karena berbeda keyakinan dengan mereka. Rumah-rumah warga dibakar dan kampung Ayah saya diporak-porandakan. Hal itu yang menjadi trauma mendalam bagi Ayah saya. Pada saat itu kalimat yang sangat saya ingat adalah “jangan pernah kamu menjunjung agama diatas kemanusiaan, Nak.”

Pelajaran yang saya dapat dari Ayah saya, saya bawa hingga ke perantauan. Nilai-nilai kebangsaan yang melekat dalam diri saya sangat terusik ketika melihat demo yang puncaknya terjadi pada 22 Mei 2019—yaitu demo menolak kekalahan Prabowo Subianto. Awalnya diserukan sebagai “aksi damai” malah berujung menjadi “aksi anti-damai” yang merusak dan mencederai nilai-nilai Pancasila serta kebangsaan yang dibangun para terdahulu.

Saya ingat betul kata kata Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Hal inilah yang sekarang terealisasikan dengan baik di zaman yang serba modern ini—integrasi bangsa bukan tercecer akibat  penjajahan yang masif oleh bangsa lain melainkan bangsa kita sendiri.

Di dalam hati saya bersedih, “hampir habis dayamu, Pancasila”. Kekuatan Pancasila yang seharusnya menjadi pemersatu bangsa melalui sila ke-3 yang berbunyi Persatuan Indonesia kini menjadi Persatu duaan Indonesia. Hal ini membuat saya miris mengingat nilai-nilai kebangsaan yang dijunjung tinggi Ayah saya hanya menjadi angin lalu yang bahkan mungkin tidak terlintas dalam pikiran para provokator demo yang membuat kerusuhan di negara ini.

Indonesia mungkin akan hancur dalam 10 tahun lagi bila masyarakat hanya mementingkan kepentingan pribadi golongannya dan tidak menyadari betapa pentingnya penerapan Pancasila yang mengandung seluruh unsur bangsa Indonesia. Betapa sedihya para Pahlawan bangsa jika melihat kegaduhan penerusnya  yang sibuk meributkan hal-hal tidak penting—menyebarkan kebencian di media sosial dan menjual agama sebagai kepentingan politik. Apakah penyakit hilang ingatan sekarang menular? Mengapa banyak masyarakat yang lupa bahwa ideologi bangsa kita bangsa Indonesia adalah Pancasila?—yang bila diterapkan akan menjadikan Indonesia bangsa yang menghargai sesamanya.

Saya jadi berpikir—apakah ini yang dirasakan John Lennon saat menulis lagu Imagine? Rasa putus asa akan perdamaian abadi yang mungkin tidak akan pernah terjadi di dunia.

Terakhir diperbarui pada 5 Oktober 2021 oleh

Tags: Aksi 22 MeiBerbangsa dan BernegaraPancasilaPilpres 2019
Mazida Fidelia

Mazida Fidelia

ArtikelTerkait

perdamaian politik

Kebersamaan Keluarga Pak SBY dan Ibu Mega dan Pentingnya Perdamaian Dalam Politik

9 Juni 2019
KPU RI Nggak Salah soal Pilkada, Pemerintah Aja yang Hilang Arah terminal mojok.co

Tenyata Begini Yaa Jadi Petugas Pemilu Edisi 4.0

2 Mei 2019
hewan atau diam

Mau Mengkritik, Tetapi Takut Dianggap Anakan Hewan

28 Mei 2019
Trump Butuh Sosok Ki Amien Rais untuk Bikin Aksi Protesnya Meriah joe biden pemilu amerika republik demokrat terminal mojok.co

Trump Butuh Sosok Ki Amien Rais untuk Bikin Aksi Protesnya Meriah

18 November 2020
definisi pancasilais sejarah hari lahir pancasila 1 juni 1945 mojok.co

Pancasilais dan Tidak Pancasilais Itu Gimana Cara Ngukurnya sih?

11 September 2020
membaca fiksi

Menyadari Fiksi Kenyataan Hidup Melalui Novel Pedro Páramo

25 Mei 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Bali, Surga Liburan yang Nggak Ideal bagi Sebagian Orang

Pengalaman Motoran Banyuwangi-Bali: Melatih Kesabaran dan Mental Melintasi Jalur yang Tiada Ujung  

19 Desember 2025
Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

16 Desember 2025
3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

16 Desember 2025
Isuzu Panther, Mobil Paling Kuat di Indonesia, Contoh Nyata Otot Kawang Tulang Vibranium

Isuzu Panther, Raja Diesel yang Masih Dicari Sampai Sekarang

19 Desember 2025
Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

16 Desember 2025
Rujak Buah Jawa Timur Pakai Tahu Tempe: Nggak Masuk Akal, tapi Enak

Rujak Buah Jawa Timur Pakai Tahu Tempe: Nggak Masuk Akal, tapi Enak

16 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik
  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.