Beberapa saat lalu, ketika berselancar di dunia per-Twitter-an, saya disuguhkan beberapa cuitan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) periode sebelumnya yakni Ibu Susi Pudjiastuti. Ibu kita yang nyentrik ini memang cukup aktif di media sosial berlogo burung emprit ini. Usut punya usut, isi cuitannya ternyata berisi satire mengenai kebijakan menteri KKP saat ini, yaitu Pak Edhy Prabowo.
Ibu Susi begitu mengkritik keras kebijakan menteri KKP mengenai rencana untuk mengekspor benih lobster. Menurutnya, kebijakan tersebut hanya perilaku tamak yang akan menimbulkan kerusakan ekosistem dan menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Belakangan kita tahu bahwa Pak Menteri baru–baru ini telah menghapuskan kebijakan terkait larangan penjualan benih lobster yang sebelumnya ditetapkan oleh Bu Susi. Bahkan dengan harapan akan mengekspor ke luar negeri. Dan salah satu negara yang menjadi destinasi ekspor benih lobster ini adalah Vietnam. Dalam penuturannya, ketika mengirim tim ke Vietnam, harga benih lobster di sana mencapai 130 ribuan/benih. Wow syekali bukan? Patutlah bila Pak Menteri ingin sekali kebijakan ini segera teralisasi, tentunya demi kedaulatan anggaran bangsa dan negara tercinta kita ini.
Berbicara tentang kebijakan ini, saya pribadi punya beberapa pandangan yang berbeda dengan Ibu Susi dan para pendukungnya. Menurut saya, Ibu Susi dan pendukungnya perlu melihat kebijakan ini dari sudut pandangan yang lebih pragmatis. Iya pragmatislah, hidup ini kalau tidak pragmatis bisa–bisa sering dibodohi, ya kan?
Pertama, bagi saya sendiri, kebijakan ini merupakan gebrakan dari Pak Menteri. Sekarang kan lagi musim tuh, gebrakan–gebrakan menghebohkan oleh menteri-menteri kita. Contohnya seperti Pak Menteri BUMN, Erick Thohir yang lagi bersih–bersih direksi dan komisaris BUMN. Ada juga Mas Kemendikbud, Nadiem Markarim, melalui penghapusan Ujian Nasional. Atau Pak Menteri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata, Wishnutama, yang mencanangkan akan menjadikan Mandalika sebagai sirkuit Moto GP terbaik yang pernah ada.
Tentunya melihat hal itu, supaya tidak insecure nih ya, Pak Menteri KKP juga tidak mau kalah dong. Agar bisa dilihat sebagai menteri yang memiliki progres, yah tentu saja harus membuat gebrakan melalui kebijakan. Dan gebrakan itu adalah mengenai penghapusan larangan jual beli benih lobster dan rencana untuk mengekspor benih lobster ini. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang baik, kita perlu memahami keinginan beliau.
Di sisi lain, patut kita apresiasi juga loh, dengan gebrakan di awal kepemimpinannya. Itu artinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menunjukkan sebuah progres. Persoalan progres itu nantinya mengarah pada kemajuan atau kemunduran, bisa dipikirkan belakangan. Yang penting gebrakan yang progresif saja dulu.
Kedua, Pak Menteri ini melalui kebijakannya juga telah melakukan hal yang sesuai dengan amanat Presiden Jokowi yaitu meningkatkan ekspor negara kita. Melihat keuangan negara kita yang cukup berdarah–darah ditandai dengan defisit neraca perdagangan karena beban utang dan impor yang besar, kebijakan ekspor benih lobster ini tentu tidak bertantangan dengan apa yang diamanatkan, bukan?
Kebijakan ini juga sekaligus menjawab berbagai kritik para ahli ekonomi yang mengatakan menteri–menteri kita ini terlalu sering impor, bahkan sampai beras pun impor. Nah di tangan Pak Menteri KKP kita ini, seharusnya kita bersyukur, akhirnya ada juga menteri yang mengusahakan kebijakan yang berporos pada ekspor. Meskipun yah, harus mengesampingkan masalah keberlanjutan ekosistem. Sekarang yang penting ekspor dulu. Bukankah setiap kebijakan dan keputusan punya konsekuensi?
Ketiga, alasan selanjutnya mengapa kebijakan ini perlu kita maklumi adalah fakta bahwa benih lobster itu kalau di alam bebas kemungkinan kesempatan hidupnya hanya 1%. Daripada mati sia–sia di laut tanpa nilai ekonomis yang bisa diraih, yah mending ditangkap dan dijual aja toh ya, lebih untung.
Dengan kondisi harga yang mencapai 130 ribuan/ benih, tentu ini merupakan keuntungan bagi negara kita. Meskipun yah, kalau lobster dibiarkan besar keuntungannya bisa mencapai 4 sampai 5 juta/ekor. Tapi kan itu tadi, kemungkinan kesempatan hidupnya hanya 1% di alam bebas. Ingat, daripada mati sia–sia dan negara nggak dapat nilai ekonomisnya, apa salahnya? Walaupun kita semua tahu, sesungguhnya yang bernyawa itu pasti mati!
Keempat, sebab lidah kita ini kan memang agak asing sama yang namanya lobster. Selain karena harganya mahal, kadang kalau dimakan pun nanti jadi gatal–gatal. Mengingat lidah kita yang akrabnya sama tahu, tempe, mentok–mentoknya sama iwak pindang. Ya udahlah, kita iyain aja kebijakan ini. Daripada lobsternya mubazir, kan? Biar sekalian di masa depan anak cucu kita nggak usah ribut–ribut lagi masalah lobster ini. Lah iya kan, wong lobsternya udah punah, apanya yang mau diributkan?
Bila melihat kebijakan ini, saya jadi teringat dengan teman saya yang punya keramba (tempat penakaran ikan, kepiting, dan lain-lain) di Flores sana. Dulu waktu SD saat menjelang sore, dan laut sedang kondisi pasang surut, saya bersama dengan teman saya itu dan beberapa teman lainnya pergi mencari ikan, kepiting, maupun udang yang ada di laut. Ya seperti si Bolang begitulah.
Ketika mendapat tangkapan beberapa ekor lobster, teman saya dengan lambe lamisnya itu langsung melakukan sebuah propaganda. Dia bilang, “Ini baiknya ditaruh di keramba sa saja e teman. Soalnya kalau tidak biasa makan ini tu nanti ko pu badan merah–merah semua. Jadi biar taruh dia di keramba supaya jadi hewan hias saja, nanti pas pulang sekolah kalian boleh kasih makan dia, oke? Sekalian nanti sa aja kalian makan di sa pu rumah, sa pu mama potong ayam, jadi kita makan enak.”
Kemudian dengan kepolosan kami yang tidak tau menahu soal ilmu perlobsteran, langsung mengiyakan tawarannya itu. Dan selang beberapa hari kemudian, lobster itu pun lenyap seperti avatar, hilang begitu saja. Saat ditanya, dengan enaknya teman saya bilang, “Aih lobsternya mati, jadi sa pu bapa kasih makan babi.”
Belakangan saya pun akhirnya tahu, ternyata lobster itu dijual olehnya. Dan kami cuma disogok menggunakan daging ayam. Memang brilian sekali teman saya itu.
Mengacu pada cerita itu, saya berpikiran positif bahwa mungkin Pak Menteri tidak ingin kita semua badannya gatal–gatal atau merah–merah karena makan lobster. Dan pada Intinya saya menganggap kebijakan Pak Menteri KKP ini begitu brilian, briliaaan gedebush-nya. Sehingga patut kita apresiasi gebrakannya. CMIWW~
BACA JUGA Susi Pudjiastuti, Terima Kasih atau tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.