Belum lama ini pemerintah merealisasikan rencananya untuk menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi kelompok kaya raya melalui peresmian UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Orang kaya raya atau high wealth individual (HWI) yang dimaksud di sini adalah mereka yang penghasilan di atas lima miliar rupiah per tahun.
Tarif baru yang ditetapkan sebesar 35 persen, naik lima persen dari tingkatan tarif sebelumnya yang sebesar 30 persen untuk pendapatan di atas 500 juta per tahun. Dengan kenaikan ini, diharapkan orang kaya akan lebih berkontribusi dalam penerimaan negara dari pajak dibandingkan sebelumnya yang hanya sebesar 1,42 persen dari wajib pajak pribadi.
Meskipun saya tidak terdampak oleh peraturan baru tersebut, namun saya agak pesimis dengan tingkat keberhasilannya. Saya pesimis aturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik karena bukan orang Indonesia namanya kalau tidak bisa mengakali aturan. Baik secara legal maupun ilegal.
Ingat kasus Gayus Tambunan? Ia tidak mengambil uang pajak kita yang telah disetorkan ke kas negara, namun “menolong” orang-orang yang berusaha menghemat pengeluaran pajaknya. Pertolongan yang diberikan dengan mengatur agar pajak penghasilan yang perlu dibayarkan jauh lebih kecil, tentu saja dengan imbalan sejumlah uang.
Alih-alih menaikkan tarif pajak penghasilan bagi golongan kaya raya, ada baiknya jika pemerintah mempertimbangkan hal lain untuk menggenjot pendapatannya dari sektor pajak. Salah satu solusi yang hendak saya ajukan adalah pajak warisan.
Ya, Anda tidak salah baca: pajak warisan. Maafkan saya karena telah lancang menulis tentang ini. Bahkan saat ini, saya dapat merasakan gelombang kemarahan dari Anda sekalian yang membaca tulisan ini. Berani-beraninya saya mengajukan sesuatu yang mengerikan seperti itu. Ini adalah pajak yang dikenakan pada orang yang hendak “mencairkan” atau balik nama harta warisan dari orang tuanya.
Berbeda dengan pajak penghasilan yang perhitungannya bisa diakali dengan mudah, mengelak dari pajak warisan tidak semudah itu. Semua orang, tidak peduli dia kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, single maupun double, lebih sulit menghindari penerapan pajak jenis ini.
Jika seseorang ingin menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia, ia harus membayar sejumlah uang pada negara. Besarnya bervariasi, tergantung berapa persentase yang ditetapkan oleh pemerintah nantinya.
Jepang adalah negara yang paling sadis dalam mengumpulkan pajak jenis ini. Seperti pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia, pajak warisan di Jepang juga bersifat progresif. Makin besar warisan yang Anda terima, makin besar pajak yang dikenakan.
Tarif pajak warisan di Jepang dimulai dari sepuluh persen untuk warisan kurang dari sepuluh juta yen (Rp1,2 Miliar) sampai 55 persen untuk harta lebih dari 600 juta yen (Rp77,8 Miliar). Ini artinya anak dari pasangan kaya raya di Jepang akan kehilangan lebih dari separuh warisannya karena pajak.
Terkesan sadis karena mengurangi harta warisan yang diberikan dari orang tua ke anaknya. Namun, pada kenyataannya pajak warisan adalah salah satu alat untuk memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan pajak ini, sulit untuk menjadi orang yang kaya turun-temurun. Pajak yang dipungut akan digunakan dalam pembangunan negara yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk lebih banyak orang. Memang hal ini jadi agak terkesan sosialis.
Selain Jepang, Korea dan Perancis juga memiliki pajak warisan dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 50 persen dan 45 persen. Bahkan negara kapitalis sejati seperti Amerika Serikat mengenakan pajak jenis ini sebesar 40 persen. Nyatanya fasilitas publik dan tingkat kesejahteraan mereka tetap lebih baik dibandingkan negara kita yang tidak mengenakan pajak jenis ini.
Indonesia sendiri mengenakan pajak pada harta warisan yang belum dibagi. Namun, tidak seperti pajak warisan yang telah saya sebutkan di atas, pajak yang berlaku di Indonesia ini ditetapkan pada penghasilan yang timbul dari harta warisan tersebut. Misalnya harta warisan tersebut berupa bangunan yang disewakan, maka pajak dihitung pada pendapatan yang diperoleh dari uang sewa bangunan tersebut. Jadi bukan dihitung dari nilai total bangunan seperti pada kasus pajak warisan.
Nantinya, jika harta tersebut telah dibagikan kepada yang berhak menerimanya, otomatis pajak ini hilang karena akan diperhitungkan pada pajak penghasilan tiap-tiap penerima harta tersebut.
Secara pribadi saya setuju jika pemerintah berencana untuk menetapkan pajak jenis ini. Asal uang pajaknya dikelola dengan baik, proyek-proyek tidak mangkrak dan bermanfaat bagi orang banyak.
Demi bangsa dan negara, saya ikhlas, saya sungguh ikhlas. Terlebih karena orang tua saya sejak jauh-jauh hari sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan warisan sepeser pun pada anak-anaknya.
Hehehe.
Sumber Gambar: Pixabay