Saya beruntung (bukan bermaksud sombong), tumbuh di keluarga kelas menengah. Kesempatan mengonsumsi makanan di restoran cepat saji seperti KFC, CFC, McD, Texas Chicken, hingga A&W bisa saya rasakan. Biasanya saya makan bersama kedua orang tua atau beberapa anggota keluarga lain sepulang sekolah atau pada momen tertentu. Dan kami hampir selalu memesan dada ayam goreng dalam kesempatan tersebut.
Sewaktu kecil, saya diajari kedua orang tua untuk memesan dada ayam tiap kali ke restoran ayam cepat saji atau rumah makan lainnya. Alasannya karena bagian ayam satu ini memiliki kuantitas daging yang lebih banyak ketimbang bagian lain seperti paha dan sayap. Apalagi harganya tak jauh beda.
“Kalau bisa dapat bagian ayam yang dagingnya banyak dengan harga sama, ngapain pilih yang dagingnya sedikit?” begitulah doktrin yang tersemat di kepala saya.
Saya meyakini hal tersebut sampai ketika beranjak dewasa saya menyadari kalau banyak orang yang nggak menyukai dada ayam. Hampir semua teman dan rekan kerja saya menghindari bagian ayam satu ini. Mereka lebih suka menyantap bagian lain ayam seperti paha bawah, paha atas, atau bahkan sayap.
Dada ayam memang alot, tapi…
Tentu saya nggak tinggal diam melihat fenomena ini. Saya pun sempat menanyakan alasan kepada teman-teman saya kenapa mereka nggak menyukai dada ayam. Hampir semua menjawab nggak suka karena dianggap nggak memiliki rasa dan dagingnya alot. Tentu saja saya geleng-geleng mendengar jawaban mereka.
Saya kasih tahu ya, Ade Rai saja berkali-kali mengatakan kalau bagian tubuh ayam yang paling worth it untuk dimakan ya dada. Dibandingkan paha atau sayap, kadar lemak dada ayam lebih sedikit. Sudah gitu kalorinya juga lebih lebih kecil ketimbang paha dan sayap, sementara proteinnya lebih banyak.
Kalau kalian mengatakan saya lebih memilih bagian ayam satu ini karena saya anak gym yang meniru pola makan Ade Rai, kalian salah. Soalnya sejak masih kecil saya memang sudah memilih bagian ayam satu ini alih-alih paha atau sayap. Jadi ketika Ade Rai mengatakan dada ayam lebih worth it, hal itu memperkuat rasa cinta saya terhadap dada ayam.
Jujur saja, dada ayam itu ibarat Manchester United era Sir Alex Ferguson. Solid, efisien, dan siap menaklukkan siapa pun. Sementara paha dan sayap lebih mirip Manchester United versi Ruben Amorim yang sering bikin geleng-geleng. Atau, dada ayam itu ibarat motor hemat bahan bakar, sedangkan paha dan sayap itu seperti motor boros bahan bakar. Kenapa kalian nggak mempertimbangkan ini, sih? Heran!
Tobat, deh
Coba perhatikan baik-baik, harga paha, dada, dan sayap di restoran ayam cepat saji atau restoran keluarga seringnya sama, kan? Kalaupun ada selisih harga, paling beberapa ribu nggak sampai puluhan ribu. Kalau begitu, logis kan memilih bagian dada yang dagingnya paling banyak?
Kalau beli mentahan di supermarket atau pasar, dada fillet juga sering lebih murah dan lebih mudah diolah buat stok meal prep harian. Bukan cuma buat anak gym, tapi buat mereka yang lagi promil atau busui. Win-win solution banget, kan?
Serius deh, dada ayam itu underrated. Nilai gizinya tinggi, harganya bersahabat, porsinya melimpah. Kalau kalian selama ini nggak suka cuma karena “keras” atau “hambar”, mungkin masalahnya bukan di dadanya, tapi di cara masaknya.
Sebagai penutup, saya cuma mau bilang, buat kalian yang nggak suka bagian ayam satu ini, segeralah bertobat sebelum pintu tobat ditutup. Kalau kalian tetap ngotot tim paha dan sayap, ya silakan. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti di akhirat ternyata dada ayam yang dapat prioritas masuk surga duluan.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Menelusuri Paket Nasi Dada Ayam Paling Enak di Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















