Sebenernya orang-orang di Surabaya ini ramah kepada pejalan kaki. Tapi sayang, trotoar di Kota Pahlawan nggak ramah sama sekali.
“Mas, kene karo aku wae. Wes rapopo,” begitu kata pengendara sepeda motor yang tiba-tiba berhenti di depan saya ketika berjalan kaki pulang ke rumah. Sontak saya merasa kaget sekaligus curiga. Saya pun menolak tawaran tersebut secara halus. Mendengar penolakan dari saya, bapak-bapak itu pun langsung tancap gas pergi.
Sambil memperhatikan motornya menjauh, tebersit dalam pikiran kalau mungkin bapak tadi berniat menolong saya. Bagaimana tidak? Dengan tas ransel besar serta keringat di balik baju yang terlihat jelas akibat teriknya panas matahari ditambah muka yang lusuh, orang yang melihat pasti mengira saya orang susah. Ya nggak salah, sih. Kebetulan waktu itu saya nggak punya ongkos untuk naik ojek dari frontage Ahmad Yani Surabaya ke rumah yang berjarak sekitar 5 kilometer. Tapi ya sudahlah, hitung-hitung biar sehat juga.
Tak lama berselang, kejadian serupa terulang lagi bahkan sampai dua kali. Urutan kejadiannya pun sama. Pengendara motor berhenti di depan saya dan menawarkan tumpangan. Ternyata dugaan saya benar, mereka merasa kasihan dan ingin menolong. Saya tetap menolak kedua tawaran tadi meskipun orang terakhir agak memaksa karena merasa iba.
Saya menghabiskan sisa perjalanan berjalan kaki ke rumah diliputi perasaan senang. Ternyata orang Surabaya sangat baik dan peduli terhadap sesama. Tapi sayangnya, hanya itu hal positif yang bisa diambil dari pengalaman saya menjadi pejalan kaki di kota ini.
Nggak semua trotoar di Surabaya nyaman bagi pejalan kaki
Fasilitas trotoar bagi pejalan kaki di Surabaya belum merata. Di jalan-jalan utama dan ramai kendaraan, memang trotoarnya sudah dibangun dengan cukup nyaman seperti di frontage Ahmad Yani.
Tapi beda cerita ketika sudah belok sedikit masuk ke jalan kecil seperti di Injoko. Padahal jalan ini berbatasan langsung dengan Ahmad Yani, namun hanya aspal yang terlihat. Sama sekali tidak ada trotoar. Pejalan kaki terpaksa berjalan di tanah berpasir dan berbatu. Di beberapa tempat, bahkan pejalan kaki terpaksa harus berjalan di aspal serta berdesakan dengan motor dan mobil.
Trotoar di Surabaya pun sebenarnya nggak semuanya nyaman. Satu waktu saya pernah berjalan kaki tengah malam dari Stasiun Gubeng ke arah Pucang demi mengurangi ongkos ojek sampai rumah. Otomatis saya melewati trotoar depan kantor PDAM Surya Sembada Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Prof DR Moestopo.
Trotoar di sana memang agak lain dari biasanya. Sekilas, trotoar tampak bagus, tapi entah kenapa trotoar yang sempit itu malah ditanami pohon sepanjang jalan yang ukuran pohonnya sendiri memakan lebih dari setengah lebar trotoar. Hanya menyisakan sekitar 30 cm lebar trotoar. Parahnya lagi, beberapa batang pohon tumbuh melintang menutupi akses jalan.
Sungguh kondisi yang sangat nggak ramah bagi pejalan kaki. Apalagi waktu itu saya membawa tas ransel besar dan berat. Bayangkan betapa repotnya saya sampai jalan menunduk bahkan berjongkok hanya untuk melewati trotoar tersebut.
Trotoar jadi tempat parkir dadakan
Sementara itu ketidaknyamanan serupa juga saya temukan pada kedua ruas jalan depan RSUD Dr Soetomo. Trotoarnya memang lebih luas dibanding trotoar di depan kantor PDAM. Sayangnya, banyak becak dan gerobak pedagang terparkir di trotoar yang ada di seberang rumah sakit itu. Belum lagi ditambah dengan beberapa orang yang tertidur pulas di sepanjang trotoar. Sedikit menunjukan sisi lain dari kemegahan Kota Surabaya.
Merasa nggak tega melihat pemandangan tersebut, saya memutuskan menyeberang dan berjalan di trotoar yang berada tepat di depan rumah sakit. Ternyata nggak jauh berbeda kondisinya. Beberapa pohon besar ditanam tepat di tengah trotoar, membuat jalan semakin sempit untuk dilewati. Para pembesuk pasien juga terlihat banyak yang nongkrong di sana. Mereka duduk lesehan di samping penjual minuman. Walaupun ketika saya lewat mereka berinisiatif memberi jalan serta meminta maaf, saya tetap merasa sungkan dan sedikit nggak nyaman.
Intinya, berjalan kaki di Surabaya masih belum nyaman. Trotoar di Kota Pahlawan masih harus ditambah, terutama di jalan-jalan kecil, tak hanya di jalan besar. Pohon-pohon yang ditanam sebagai kanopi agar jalan menjadi sejuk di siang hari juga perlu diperhatikan posisinya. Jangan sampai pohon malah melintang dan membuat trotoar makin sempit.
Nah, saya punya pesan untuk Pemkot Surabaya. Daripada anggaran kalian habis untuk membuat terowongan bawah tanah penghubung Terminal Intermoda Joyoboyo (TIJ) dengan KBS yang panjangnya cuma ratusan meter, lebih baik anggarannya dipakai untuk memperbaiki dan meningkatkan kenyamanan pejalan kaki di setiap penjuru Kota Surabaya.
Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Surabaya memang Cocok Jadi Kota Tujuan Belajar, tapi Pikir-pikir Dulu kalau Mau Kuliah di Sini!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.