Suatu hari saat saya sedang membahas orang-orang yang tinggal di Lampung bersama teman saya. Teman saya yang berasal dari Sumatera Selatan bilang, “Peribahasa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung nggak related ya sama masyarakat di Lampung.” Sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Lampung saya sangat setuju. Saya lho lahir di Lampung, dari kecil tinggal di Lampung, dan juga ber-KTP Lampung, tapi saya tidak bisa bahasa Lampung. Beda banget sama teman saya yang aslinya suku Jawa dan karena dia tinggal di Baturaja, dia bisa bahasa daerah setempat. Bahkan dari aksen tampak jelas dia Sumatera Selatan banget.
Ketidakmampuan saya dalam berbahasa Lampung sering menjadi bahan debat di antara saya yang keturunan transmigran Jawa dengan teman saya yang asli suku Lampung. Saya pernah dibilang, “Udahlah nggak usah pakai bahasa Jawa, di sini kan di Lampung ya pakai bahasa Lampung.” Tidak hanya teman-teman, dosen di kampus juga menjadi orang yang sensitif ketika saya dan teman-teman ngobrol pakai bahasa Jawa.
Kami bukannya nggak mau pakai bahasa Lampung, tapi kami emang nggak bisa. Lha wong ngomong bahasa Indonesia aja sering keceplosan bahasa Jawa. Lagian, ketidakbisaan kami juga ada alasannya.
#1 Lingkungan berbahasa Jawa
Dulu, saat terjadi transmigrasi dari Jawa ke Lampung, masyarakat yang dipindahkan hidup berkelompok. Satu kampung isinya orang Jawa semua dan hal tersebut terjadi sampai sekarang. Makanya jangan heran jika berkunjung ke Lampung dan mendapati satu kampung masyarakatnya berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa Lampung, atau berbahasa Bali. Di kampung saya lebih dari 90% masyarakatnya merupakan suku Jawa dan dari kecil anak-anak diajari bahasa Jawa oleh orang tuanya. Kami bisa bahasa Indonesia karena tontonan yang ada di televisi atau ketika sudah masuk sekolah. Bahkan di sekolah-sekolah pun kami tetap menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi antarteman. Makanya, jangan heran jika saya tiba-tiba bilang, “Aduh bahasa Indonesianya ini apa ya?”
#2 Orang Lampung jarang menggunakan bahasa Lampung untuk berkomunikasi
Alasan kedua yang membuat bahasa Lampung sulit dipelajari oleh masyarakat transmigran adalah orang Lampung jarang sekali menggunakan bahasa Lampung untuk berkomunikasi sehari-hari. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kota. Teman-teman saya yang suku Lampung banyak yang tidak bisa bahasa Lampung karena dari kecil sudah berbahasa Indonesia. Mungkin ada teman-teman saya yang bisa berbahasa Lampung, namun biasanya digunakan ketika di kampung.
Saya sebenarnya mau banget belajar bahasa ini, tapi karena nggak pernah ada tempat untuk belajar jadi ya nggak bisa sampai sekarang. Padahal belajar bahasa bisa lho hanya dengan mendengarkan orang lain ngomong dengan bahasa tersebut. Sama seperti saya yang sering ngobrol dengan bahasa Jawa (dan sering keceplosan) membuat teman-teman dari suku Sunda, Batak, dan Semendo pada akhirnya bisa bahasa Jawa.
#3 Bahasa Lampung yang beragam
Karena tingginya keinginan saya bisa berbahasa Lampung, saya bilang ke teman saya, “Ajari bahasa Lampung sih, masa aku tinggal di Lampung sampai sekarang nggak bisa bahasa Lampung.” Dan jawaban teman saya adalah, “Susah ngajarin orang lain apalagi yang bukan asli Lampung, sesama Lampung beda daerah aja udah beda bahasanya.”
Jadi, masyarakat suku Lampung secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu Lampung Pepadun dan Lampung Sai Batin. Dari pembagian dua tersebut masih ada pembagian lainnya, seperti Lampung Pubian, Lampung Menggala, Lampung Kota Agung, Lampung Kalianda, dan setiap pembagian ini memiliki bahasa yang berbeda-beda. Satu kata dalam bahasa Lampung Kalianda bisa memiliki arti yang berbeda dalam bahasa Lampung Menggala. Oleh karena itu, teman-teman saya yang asli suku Lampung jarang menggunakan bahasa Lampung untuk berkomunikasi karena mereka memang berasal dari daerah yang berbeda.
#4 Demografi Lampung didominasi orang suku Jawa
Saya nggak heran ketika menemui orang-orang berbahasa Jawa saat berada di Pringsewu karena dari namanya saja sudah Jawa banget. Namun, saya agak tercengang ketika berada di Bandar Lampung dan mendapati orang-orang berbahasa Jawa, mulai dari kantin kampus, rektorat, supermarket, sampai pasar. Saya berpikiran, “Lho, ini kan di ibu kota provinsi, harusnya pakai bahasa Indonesia.”
Setelah saya searching, ternyata 62% dari orang yang tinggal di Lampung merupakan suku Jawa. Sedangkan suku Lampung hanya menempati 25% dan sisanya suku-suku lainnya, seperti Sunda, Bali, Melayu, Bugis, dan Minangkabau. Makanya jangan heran jika bahasa Jawa lebih banyak digunakan karena suku Jawa menjadi mayoritas di Lampung.
Sumber gambar: Pulau Mahitam, Lampung. Wikimedia Commons.
BACA JUGA Surat untuk Teman-teman yang Masih Berpikir kalau Padang Itu Adalah Keseluruhan Provinsi Sumatera Barat dan tulisan Desi Murniati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.