Pernahkah kalian mendengar cerita kalau orang Jepang itu suka sekali membaca? Meski e-book merajalela, buku dan koran fisik masih saja digandrungi oleh hampir semua kalangan di sana. Eh, ini bukan mitos.
Nyatanya, sewaktu di Jepang, saya sering sekali melihat orang Jepang membaca buku di dalam kereta dan bus, atau saat berdiri menunggu kereta dan bus datang. Di dalam kereta yang empet-empetan saja, mereka masih bisa-bisanya baca buku, lho. Perpustakaan di Jepang, mulai dari perpustakaan sekolah sampai perpustakaan daerah, punya koleksi yang banyak dan kebanyakan tempatnya sangat menarik.
Lantas, benarkah orang Jepang doyan baca buku? Bagaimana kebiasaan itu bisa terbentuk? Bagaimana juga dengan dunia perbukuan di Jepang?
Dibiasakan sejak kecil
Sewaktu anak saya kelas 1 di SD Jepang, saat itulah untuk pertama kalinya dia diajari berhitung dan baca tulis huruf Jepang (hiragana, katakana, dan kanji). Setelah materi tulisan selesai, hampir setiap hari ada PR membaca, namanya kokugo-ondoku. Kokugo-ondoku adalah membaca buku pelajaran bahasa Jepang (kokugo) dengan suara keras, diperdengarkan ke keluarga, lalu keluarga wajib tanda tangan dan mengoreksinya. PR ini terus berlanjut sampai kelas berikutnya. Di kelas tingkat atas, ada juga PR membaca buku di rumah dan melaporkannya. Kalau melihat dorama Jepang, pasti kalian pernah melihat adegan anak SMA yang disuruh berdiri dan membaca buku Jepang dengan suara lantang, kan?
Sewaktu TK, anak saya juga sering meminjam 2-3 buku perpustakaan di TK-nya setiap dua minggu sekali. Meskipun saat itu anak saya belum bisa membaca, dia sangat menikmati cerita gambarnya. Kata anak saya, setiap hari wali kelasnya juga membacakan buku cerita ke murid-murid. Di bulan budaya, bahkan ada pementasan berdasar salah satu cerita buku tersebut. Anak-anak TK ini berlatih untuk menyiapkan adegan dan dialog cerita tersebut agar bisa tampil bagus di depan orang tua yang menontonnya. Jadi, selain membaca, anak juga diajak untuk memahami dan mengambil hikmah dari setiap cerita yang dibacakan.
Buku di mana-mana
Saya sangat menyukai perpustakaan kampus sewaktu studi di Jepang dulu. Tempatnya sangat nyaman, bukunya juga banyak. Ada ruang baca umum, corner untuk majalah dan surat kabar, ruang komputer, ruang multimedia, dll., mirip dengan fasilitas perpustakaan kampus di Indonesia. Fasilitas internet, nge-print gratis, dan AC membuat ruangan sejuk dan nyaman untuk membaca buku. Jurnal juga bisa diakses secara fisik maupun online, meski agak ribet untuk mengurus prosedurnya.
Selama di Jepang, selain perpustakaan kampus, saya pernah mendatangi perpustakaan provinsi dan perpustakaan kota tempat saya tinggal. Kebetulan perpustakaan provinsi terletak di kota saya. Saya juga sempat membuat kartu anggota dan meminjam buku di sana. Syaratnya sangat mudah, cukup bawa kartu identitas, pengunjung boleh meminjam buku sekitar 10 jilid per 2 minggu sampai sebulan, tergantung jenis referensinya.
Pengunjung perpustakaan juga bisa fotokopi di perpustakaan tersebut dengan biaya 10 yen (Rp1.300) per lembar. Yang paling menarik dan saya ingat, untuk mengembalikan buku yang dipinjam dari perpustakaan kota, saya tak perlu repot-repot datang ke perpustakaannya. Saya bisa mengembalikannya dengan memasukkan buku-buku itu ke kotak pos buku di dekat stasiun. Praktis dan sangat membantu.
Selain perpustakaan, di klinik dokter (dokter umum, dokter gigi, dokter THT) yang anak saya kunjungi, dan juga kantor walikota, pasti ada book corner yang menyediakan buku anak bergambar. Buku-buku itu pun terawat dengan baik dan bukan sekadar pajangan, lho. Selain buku, ada juga mainan anak. Selagi menunggu giliran diperiksa dokter atau mengurus urusan kependudukan, anak-anak bisa menggunakan corner itu. Cukup membantu sih biar anak tidak rewel atau merengek minta pulang sebelum keperluan selesai. Adanya corner ini juga membantu agar anak-anak tidak hanya bermain gadget orang tuanya.
Toko dan kafe buku
Sebagai tsundoku, saya suka sekali membeli buku, terutama buku lawas. Di Jepang, toko buku ada di mana-mana. Kalau di Jogja ada toko yang menjual buku lawas dengan harga yang bisa ditawar, di Jepang juga ada toko yang harganya bisa dinego. Di book-off misalnya, kita bisa mencari buku atau komik bekas dengan harga super terjangkau. Saya juga mencari buku kuliah bekas di e-commerce Amazon Japan, lho. Lumayan, bisa menghemat ratusan yen.
Yang jelas, kalau ngomongin buku fisik Jepang, tidak ada satu pun buku bajakan di sana. Kalau soal ini Jepang memang patut diacungi jempol. Bandingkan dengan regulasi di negara kita yang nyatanya masih belum bisa menghalau pembajakan buku sampai hari ini.
Kalau membicarakan koleksi buku baru di Jepang, biasanya penerbit dan penulis akan mengeluarkan buku baru dengan menunggu momen pergantian musim. Saat musim panas misalnya, akan banyak muncul buku atau novel baru bertemakan petualangan, pertemanan, termasuk kisah horor musim panas. Majalah juga akan mengeluarkan review beberapa tempat wisata yang sangat direkomendasikan saat musim panas.
Mungkin yang agak berbeda dengan buku di Indonesia, ukuran buku di Jepang cenderung lebih kecil dan ringan sehingga mudah dibawa ke mana-mana. Saat melihat isi buku tanpa membeli, orang Jepang biasanya membaca dengan berdiri, atau disebut tachiyomi. Selain itu, buku, majalah, dan komik dewasa Jepang sangat beragam dan diletakkan di tempat yang “khusus” agar anak di bawah umur tak bisa mengaksesnya.
Majalah di Jepang pun dibuat semenarik mungkin. Bahkan sering ada bonus merchandise special edition agar orang tertarik untuk membeli majalah. Banyak lho orang Jepang yang tertarik dengan merch dibanding isi majalahnya.
Buku-buku berbahasa asing di sana biasanya cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang sehingga orang Jepang tidak akan ketinggalan buku populer di dunia. Efek negatifnya, orang Jepang jadi manja lantaran sedikit-sedikit diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, tetapi sebenarnya penerjemahan ini memiliki sejarah panjang sejak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Selain toko buku, ada juga kafe yang menyediakan buku untuk dibaca secara gratis. Pengunjung yang datang bisa membeli buku di kafe tersebut. Banyak lho kafe yang merangkap perpustakaan estetik di Jepang yang sangat instagramable buat foto-foto. Semoga saja di Indonesia juga makin banyak kafe semacam ini nantinya, ya.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi