Orang Jelek Emang Berhak Jatuh Cinta, tapi Harus Tahu Diri Dong

orang jelek cinta pacaran tahu diri Memahami Tweet Jefri Nichol: Ngapain Marah-Marah, kalau Kenyataanya Kita Memang Jelek?

orang jelek cinta pacaran tahu diri Memahami Tweet Jefri Nichol: Ngapain Marah-Marah, kalau Kenyataanya Kita Memang Jelek?

“Gini amat yak jadi orang jelek, mau cari pacar susahnya ampun-ampunan,” gerutu kawan saya kemarin sore, pas kebetulan saya mampir ke rumahnya.

Saya sebenernya di posisi menolak keras standar umum yang mengklasifikasi bahwa ganteng harus begini, jelek itu begitu, mana yang cantik, mana yang burik, dll. Hla kok enak saja kerupawanan seseorang ditentukan oleh standar orang lain yang kita saja nggak pernah ikut menyetujuinya. Nggak terima saya, Nder. Dan yang patut dipertanyakan, emang standar tersebut didapat dari mana? Apakah Tuhan pernah berfirman misalnya dengan menyebut, Tuhan telah menciptakan manusia dari yang jelek sampai yang rupawan.

Dalam kitab suci agama Islam—sebagai agama yang saya pakai buat ngisi kolom KTP—Tuhan hanya menyebut bahwa Dia menciptakan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Artinya, Tuhan aja nggak ngasih standar jelek-rupawan manusia, loh. Yang ada itu keberagaman. Atau boleh dibilang, ganteng atau cantik itu beragam modelnya. Nggak harus mancung dan berkulit putih bersih agar bisa disebut cantik.

Dalam hal ini, kita perlu meniru ibu kita. Seorang ibu yang menimang anaknya sambil menyeru, anakku sing ganteng dewe, tak gintang-gintang. Ibu kita akan sangat pede menyenandungkan kata-kata itu meski jika pakai standar umum, anaknya ini nggak mashook blas buat disebut ganteng. Tapi, toh ibu sudah membangun mindset bahwa dalam versinya sendiri, anaknya itu sudah bak Arjuna, lelananging jagad. Kalau cewek ya udah mirip Dewi Nawangwulan sang bidadari kahyangan.

Jadi nggak usah banyak ngeluh kalau dikatain orang lain jelek. Nggak usah down juga kalau ada yang bilang kita ini pesek, gendut, dan bukan idaman. Udah buang jauh-jauh omongan sampah macam itu. Nurutin kemauan orang lain mah nggak bakal kelar-kelar, Nder. Yang ada kita malah yang harus ribet sendiri. Kalau mau contohnya, coba deh tonton film “Imperfect” (2019). Atau gini aja biar nggak kelamaan, pilih percaya omongan orang lain atau ngikut standar yang sudah dibangun ibu sedari kita kecil? Kalau saya sih jelas milih standar ibu saja, yang tingkat kredibilitasnya udah terverifikasi. Hla gimana, surga aja sama ibu diinjak-injak di bawah telapak kakinya.

Namun bagaimanapun, saya juga harus mengakui kalau konsep di atas pada akhirnya hanya mengambang di dalam batok kepala saya. Sebab kenyataannya, dalam hidup yang kita jalani sekarang ini, standar umum yang dibangun orang lain udah kadung diamini jadi satu produk nilai yang absolut. Sekeras apa pun kita menolak. Yang pendek, item, pesek, pada akhirnya dianggap jelek. Yang tinggi, gagah, mancung, barulah bisa dikatakan kece badai.

Dan sialnya, dalam menjalin asmara pun seseorang juga bakal makai standar ini: nyari pasangan yang mepet-mepet Anjasmara atau Ayu Azhari gitu lah. Dan ini problem yang tengah dialami kawan saya.

Kawan saya emang punya rapor merah kalau itu urusannya sama perbucinan. Nembak cewek berkali-kali, ditolak berkali-kali pula. Kalau pakai standar utopis yang saya paparkan tadi, temen saya boleh pede bilang bahwa dirinya ganteng atau melabeli dirinya sebagai pria idaman kaum hawa. Dan itu akhirnya jadi pembenaran bagi dia buat nyari pasangan yang uwuwu. Tapi masalahnya, dunia nggak bekerja dengan standar itu, Buosss. Alhasil, bagi cewe-cewek cantik yang ditembaknya, kawan saya ini sudahlah dekil, pendek, kriwul, item, eh nggak tahu diri pula.

Hla gimana nggak dibilang nggak tahu diri coba? Cewe-cewek yang ditembak kawan saya ini rata-rata kelas menengah atas jeee. Nggak cuma cantik (secara standar umum), si cewek ada yang dari anaknya dokter dan tentara. Ada juga yang anaknya pengusaha. Dan baru-baru ini, dia abis ditolak sama cewek cantik penghafal Al-Qur’an. Sementara kawan saya ini, mohon maaf sebelumnya, bisa dibilang pas-pasan kayak saya. Pas-pasan muka, dana, dan pas-pasan isi kepala.

Kawan saya bahkan pernah kena damprat sama satu dari cewe-cewek tersebut, “Ngaca dong, ngacaaa!!!” Wqwqwq. Setidaknya nih ya, kalau mau dapetin anaknya dokter dan tentara, minimal kita ini kudu juga jadi perwira. Kalau mau dapetin anaknya pengusaha, harusnya kita punya kriteria yang bisa bikin si orang tua doi mantep betul sama kita. Sayangnya kawan saya kok jauh dari standar-standar tersebut. Bukan hanya karena alasan itu kawan sawa nyampe disuruh ngaca kayak gitu. Masalahnya, kawan saya ini kelewat sableng. Jelas-jelas ditolak, eh dianya malah makin menjadi-jadi dengan memposting foto si cewek di Instagramnya. Mana caption-nya mendayu-dayu lagi. Ya jelas tambah risih, tho, si cewek.

“Apa orang jelek nggak berhak jatuh cinta tho, Cuk?” keluh kawan saya yang terdengar miris, sekaligus bikin gedek-gedek kepala. “Begini. Jatuh cinta itu fitrah manusia. Jadi kamu berhak kok jatuh cinta. Orang jelek juga berhak kok jatuh cinta,” jawab saya. “Yang kurang dari kamu itu satu, TAHU DIRI.”

Jadi orang yang menurut standar umum itu jelek, ada yang mau sama kita aja udah syukur. Jadi nggak usah masang kriteria muluk-muluk, Cuk. Silahkan bikin kriteria cewek atau cewek idaman, tapi itu pun kalau situ mepet-mepet kayak Zayn Malik atau Gigi Hadid. Dan yang paling penting, ciptakan suasana nyaman dan menyenangkan pada orang yang kita kejar.

Hindari hal-hal yang bikin dia illfeel dan risih. Kalau toh kita ditolak karena muka dan dana yang babak belur, paling nggak kita dikenal bukan sebagai sosok yang konyol dan nggak tahu diri. Untuk progres yang lebih jauh, seperti apa kata Agus Mulyadi, cobalah untuk terus meningkatkan kualitas diri, kalau kualitas wajah sudah mentok memang nggak bisa diupayakan.

Dan percayalah, suatu saat, tanpa harus ngejar-ngejar, tanpa harus bikin kriteria yang nggak realistis itu, pasti ada lah satu aja yang nyantol sama kita. Mengampuni ketidakcakepan kita, dan mempertimbangkan apa yang bisa kita lakuin ke dia.

Nyampe sini bisa dipahami?

BACA JUGA Pengalaman Horror Menjelang Nikah: Ketemu ‘Sugar Daddy’ dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version