Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Opini Julia Suryakusuma terhadap Film ‘Tilik’ Berbau Kolonialisme Gaya Baru

Aliurridha oleh Aliurridha
20 September 2020
A A
Opini Julia Suryakusuma terhadap Film ‘Tilik’ Berbau Kolonialisme Gaya Baru feminisme terminal mojok.co

Opini Julia Suryakusuma terhadap Film ‘Tilik’ Berbau Kolonialisme Gaya Baru feminisme terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Ketika membaca sebuah opini di The Jakarta Post berjudul “‘Tilik’, Sexiest Streotipes and Our Colloctive Insanity” yang ditulis Julia Suryakusuma, saya dikejutkan dengan betapa dangkalnya pemikiran seorang yang boleh dikatakan sebagai akademisi dalam memandang masyarakatnya sendiri. Saya berpikir seorang akademisi seharusnya bisa lebih dekat atau lebih adil dalam melihat masyarakat Indonesia, bukannya terjebak pada cara pandang barat terhadap masyarakat timur.

Mungkin jika Julia Suryakusuma adalah orang barat bukan orang Indonesia, atau mungkin hanya berkewarganegaraan Indonesia tapi tidak pernah tinggal di Indonesia, saya akan mahfum dengan apa yang dikatakannya. Saya bisa memaklumi karena ada jarak pengalaman, budaya, serta pengetahuan yang meniscayakan kekeliruan. Tapi, ia jelas bukan orang asing dari negeri nun jauh di atas awan sehingga agak aneh rasanya membaca komentarnya yang ini.

“And why are the women traveling in a truck? Symbolically, does this mean that women are seen as cattle or objects that can be trucked around?”

Membaca komentar tersebut, saya menduga ia tidak benar-benar menonton film ini hingga tidak tahu alasan mengapa emak-emak ini harus naik truk. Padahal jelas-jelas diceritakan dalam film Tilik bahwa mereka terpaksa menggunakan truk karena menghadiri agenda mendadak sehingga tidak kendaraan lain yang bisa disewa. Walaupun pertanyaan itu dimaksudkan sebagai pertanyaan retoris, menyindir sutradara yang dianggapnya sexist, kata keliru pun rasanya tidak cukup untuk mendeskripsikan cara berpikirnya.

Kalau emak-emak di Tilik punya mobil, mereka tidak perlu naik truk secara bergerombol seperti sapi.

Julia juga dalam opininya itu kerap menyindir fokus cerita yang memperlihatkan emak-emak menggibahi seorang wanita lajang dan memberi kesan merendahkan wanita. Ada yang luput dari cara berpikirnya, ia melupakan kelas sosial dari masyarakat ini. Emak-emak ini bukan Julia Suryakusuma, seorang yang beruntung mendapatkan akses terhadap pendidikan sehingga mampu menaikkan kelas sosialnya. Emak-emak ini bukan juga orang yang bisa berbicara feminisme dalam seminar-seminar elit.

Seandainya saja emak-emak itu punya akses terhadap pendidikan yang layak, akses terhadap permodalan, akses terhadap alat produksi, omongan mereka tidak akan seperti yang dinyinyirin saudari Julia. Mungkin mereka akan berbicara pada seminar-seminar mewah yang dihadiri orang-orang dari kelas sosial seperti dirinya, berbicara tentang feminisme, dan mengirim opini ke media sebesar The Jakarta Post.

Orang-orang seperti Julia Suryakusuma terlalu terkungkung pada bingkai hingga tidak mampu melihat konteks sosial. Mirip sekali dengan seseorang yang saya kenal, mendaku diri sebagai feminis, dan mengajak teman-teman perempuan yang dianggapnya telah ditindas oleh budaya patriarki agar berani menentang suaminya.

Baca Juga:

Surat untuk Gus Yahya: Kesetaraan Gender Itu Nggak Cuma Ngurusin “Kapasitas”, Gus

Review Elvis: Menyorot Sisi Kelam Sang King of Rock and Roll

Sayangnya, dia melupakan bahwa ada suatu permasalahan yang kompleks di sana yang tidak bisa dilihat dengan satu bingkai pemikiran saja. Dia meyakinkan jika para perempuan-perempuan itu bisa melakukan segalanya sendiri bahkan jika harus sampai bercerai. Saya bukannya anti terhadap feminisme, tapi saya rasa agak kurang sreg dengan caranya yang terlampau ngawur.

Bayangan dia tentang perempuan seringkali menggunakan pengalamannya sebagai orang yang secara ekonomi mapan, punya akses terhadap alat produksi, dan punya modal pengetahuan untuk bertahan hidup sendiri. Dia tidak sadar bahwa tidak semua perempuan seberuntung dirinya hingga ia terkesan memaksakan cara berpikir yang sudah mapan dari negeri di atas awan kepada negeri yang penuh permasalahan.

Negara-negara tempat ide feminis berkembang secara politik sudah jauh lebih matang dan jauh lebih ramah terhadap perempuan, baik secara sistem maupun perlakuan sosial dari masyarakatnya. Beberapa negara bahkan bisa memberikan jaminan sosial yang cukup kepada para janda dan membebaskannya dari pajak.

Tulisan Julia ini memperlihatkan jelas bahwa ia telah terkungkung dalam bingkai pikir yang terlalu kebarat-baratan, mengamini cara pandang barat terhadap masyarakat timur. Padahal ada sebuah nilai yang sangat Indonesia ditunjukkan dalam film Tilik, bahwa emak-emak memiliki kepedulian yang luar biasa meski mereka tidak satu pemikiran akan sesuatu, mereka bisa mengesampingkan hal itu dan pergi menengok Bu Lurah yang sakit.

Rasa kepedulian emak-emak pada tetangganya mungkin tidak akan kita temukan di negeri-negeri di atas awan yang menjadi rujukan bepikir Julia. Terlepas dari gibah dalam truk, pertentangan Bu Tedjo, Yu Ning, dan Dian, emak-emak ini adalah perempuan mandiri. Mereka inisiatif sendiri tanpa paksaan untuk menjenguk salah satu warganya bahkan tanpa ditemani suami-suami mereka. Bukannya ini nilai lebih yang harusnya bisa diambil oleh seorang feminis seperti Julia Suryakusuma?

Membaca tulisan Julia rasanya saya ingin mengamini apa yang dikatakan Ashis Nandy, seorang akademisi India yang menggeluti teori-teori sosial bahwa kolonialisme gaya baru itu benar nyata adanya. Ia ada dan mengejawantah pada pemikiran yang melihat dari jauh, terlalu jauh, sejauh jarak antara istana megah kepada rumah-rumah kumuh di perkampungan.

BACA JUGA Arteria Dahlan Tak Layak Dapat Gelar Terhormat Bukan Karena Dia Cucu PKI dan tulisan Aliurridha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 21 September 2020 oleh

Tags: FeminismeReview Film
Aliurridha

Aliurridha

Pekerja teks komersial yang sedang berusaha menjadi buruh kebudayaan

ArtikelTerkait

dora

Review Film Dora and the Lost City of Gold dan Bukti Bahwa Dora Berzodiak Leo

23 Agustus 2019
Belajar Memaknai Hidup, Uang, dan Public Relations dari Operator Depot Galon Isi Ulang terminal mojok.co

Shoplifter Sebagai Manifestasi Para Pengutil di Hari Lebaran

6 Juni 2019
bekal untuk suami feminazi sejarah bekal makanan feminisme mojok.co

‘Bekal untuk Suami’ Nggak Akan Diprotes kalau Menghilangkan Kata ‘Suami’

30 Juni 2020
Merayakan Hadirnya Film Aneh dengan Nonton ‘I’m Thinking of Ending Things’ terminal mojok.co

Merayakan Hadirnya Film Aneh dengan Nonton ‘I’m Thinking of Ending Things’

24 September 2020
Film Thailand itu Lebih Menarik dari Film Korea, Ini Alasannya terminal mojok.co

Film Thailand Itu Lebih Menarik dari Film Korea, Ini Alasannya

4 September 2020
sebagus itu

Sebagus Itu…. Memang Sebagus Apa, Sih?

22 Agustus 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

3 Desember 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025
Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka Mojok.co

Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka

1 Desember 2025
Nggak Ada Gunanya Dosen Ngasih Tugas Artikel Akademik dan Wajib Terbit, Cuma Bikin Mahasiswa Stres!

Dosen yang Minta Mahasiswa untuk Kuliah Mandiri Lebih Pemalas dari Mahasiswa Itu Sendiri

5 Desember 2025
Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.