Jangan ditanya gimana perasaan seorang keturunan Betawi asli ketika melihat ondel-ondel bertebaran di jalanan. Kesenian adiluhung yang dulu sempat berjaya, bahkan menjadi ikon Kota Jakarta Raya dan lebih nge-hits daripada Patung Selamat Datang atau banjir ibu kota, kini tak ubahnya seperti pengamen jalanan.
Saya bukannya sedang merendahkan profesi para pengamen. Tapi, mengarak ondel-ondel itu bukan sekadar mengarak pawai. Bukan pula sekadar joget goyang-goyang, apalagi sampai jejingkrakan di pinggir jalan raya.
Kamu tahu apa arti ondel-ondel bagi masyarakat Betawi? Ondel-ondel bukan sekadar boneka untuk ditonton dan ditertawakan. Boneka tersebut dipercaya sebagai jelmaan para leluhur. Penolak bala yang menjaga keselamatan warga kampung.
Ondel-ondel dibuat berpasangan laki-laki dan perempuan. Wajah boneka laki-laki dicat berwarna merah. Melambangkan seorang penjaga kampung yang berani, galak, dan kuat. Kumis hitam melintir panjang dengan mata yang terkesan merah menandakan bahwa ia siap berkelahi sampai mati menjaga wilayahnya.
Sedangkan wajah ondel-ondel perempuan selalu dicat berwarna putih. Dengan bulu mata lentik dan rambut yang dipenuhi kembang goyang di atas kepala dan bunga ronce yang menjulur. Tatapan matanya sayu dengan bibir tersenyum. Ini dimaksudkan untuk memberi tahu semua bahwa orang Betawi itu pada dasarnya ramah dan terbuka. Tapi, jangan coba-coba mengganggu kampung mereka dan seisinya. Bisa-bisa keluar beringasnya.
Maka dulu dipercaya adanya tradisi Ngukup sebelum memainkan dan mengarak boneka ondel-ondel. Ngukup adalah sebuah upacara membakar menyan yang asapnya dibalur ke seluruh badan ondel-ondel sambil membaca mantra serta doa. Diiringi sesajen yang disiapkan untuk para arwah.
Upacara ini dimaksudkan untuk meminta izin pada para roh halus penunggu kampung untuk memainkan ondel-ondel. Tujuannya agar mereka melindungi para pemain dan pengarak supaya nggak diganggu, nggak ditumpangin ataupun ketempelan makhluk gaib yang jahat dan jahil. Kesurupan bahasa bekennya.
Tahun 1966, Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta merombak tampilan wajah ondel-ondel demi menghilangkan kesan seram dan angker agar bisa dijadikan ikon kota Jakarta. Meski standar ukuran boneka tetap berdiameter 80cm dengan tinggi 2.5m, wajah boneka (terutama yang laki-laki) diubah agar nggak lagi terlihat marah dan galak. Biarpun kumis tetap panjang melintang, tapi tatapan matanya ramah dan jauh dari kesan beringasan. Untung nggak ditambahin jenggotan. Kalau iya, mungkin ondel-ondel sekarang bisa kena dipanggil kadrun. Hehehe.
Perlahan tradisi Ngukup pun menghilang. Perkembangan zaman dan kepercayaan komunal membuat ondel-ondel tak lagi dipandang sebagai kesenian klasik yang sakral. Ondel-ondel bertransformasi menjadi kesenian sejuta umat yang atraksinya bisa kita temui di acara-acara pertunjukan kesenian, peresmian gedung, penyambutan tamu, tempat hiburan, pernikahan, sunatan, dan acara-acara suku Betawi lainnya.
Sayangnya, hampir satu dekade ini ondel-ondel rasanya mulai dilupakan. Masalah klasik seperti minimnya penerus dan peminat masih menjadi penyebab utama yang membuat kesenian tradisional ini mangkrak.
Maka, bisa kita saksikan ondel-ondel yang dulu berjaya mengisi ruang-ruang pertunjukan dan perhelatan warga, kini bertebaran di jalan-jalan. Mengisi ruang pertunjukan jalanan dengan musik rekaman dari audio bersuara nyaring dan sember yang memekakkan telinga. Menari asal-asalan sambil menengadahkan wadah pengumpul recehan ke para pemakai jalan.
Kehadiran mereka yang dulu menghibur dan berjiwa magis, kini malah hanya dijadikan bahan tertawaan, bahkan banyak mendapat hujatan. Dari mulai mengganggu ketertiban, membahayakan pemakai jalan, hingga merusak kenyamanan.
Ondel-ondel yang harusnya diperagakan oleh seniman terlatih agar dapat menari anggun dan aman, kini dibawa serampangan ke pinggiran jalan oleh anak-anak tanggung yang terlihat nggak paham dengan kesenian ini. Sepertinya asal ada boneka, musik rekaman, dan wadah meminta uang, maka siapa pun boleh mengenakan boneka tersebut dan mengayunkannya atas nama menyambung hidup mencari makan.
Memang nggak bisa disalahkan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sedangkan lapangan kerja semakin sulit didapat membuat orang berpegangan kepada apa saja yang membuat mereka bisa bertahan. Begitu mungkin yang dirasakan para pengrajin dan pemilik boneka ondel-ondel.
Melihat boneka menganggur dan rusak dimakan usia tanpa menghasilkan sesuatu yang berfaedah pasti menimbulkan rasa galau. Sepinya perhelatan dan ruang pertunjukan yang tak lagi memakai jasa ondel-ondel sebagai penghibur, membuat mereka sudi menyewakan bonekanya kepada para musisi jalanan. Setidaknya, mereka masih ada pemasukan harian untuk membeli makanan dan bayar iuran.
Begitu pun dengan para peraga ondel-ondel dan pemain musik pengiring. Minimnya keahlian lain dan jenjang pendidikan yang sedari dulu biasa dikesampingkan oleh orang Betawi dan keturunannya, membuat mereka ikut turun ke jalan. Tak peduli lagi dengan estetika dan kesakralan atraksi. Yang terpenting gimana caranya bisa menghasilkan uang.
Hal ini membuat orang lain yang biasa hidup dari jalanan pun menangkap peluang untuk ikut meramaikan atraksi ondel-ondel jalanan meski tanpa pengalaman. Maka, ramailah kita saksikan ondel-ondel bertebaran di jalanan Jakarta yang tak lagi membuat hati riang saat menyaksikan, tapi malah melahirkan omelan dan keluhan.
Saya melihatnya dengan rasa gamang dan sedih. Ondel-ondel terpaksa mengais recehan di jalanan karena keadaan yang semakin nggak memihak. Ke mana para keturunan Betawi? Tidakkah mereka juga merasa miris melihat fenomena ini? Ke mana pemerintah yang dulu dengan gagah mendaulat kesenian ini sebagai ikon kota? Apakah hanya sekadar penamaan belaka tanpa usaha merawat budaya? Tidakkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melihat hal ini sebagai sesuatu yang perlu diselamatkan?
Keberadaan ondel-ondel di jalanan Jakarta mencari recehan bukan saja berpotensi merusak nilai kesenian, tetapi juga membahayakan keselamatan orang-orang. Tubuh tambunnya bisa secara tak sengaja menyenggol apa saja dan mengganggu para pemakai jalan yang bisa menyebabkan kecelakaan.
Apalagi kalau ada yang kadung merasa sebal dan iseng mendorong badan ondel-ondel. Sedikit masalah keseimbangan akan membuat boneka besar itu jatuh dan membuat cedera.
Maka saya pikir dibutuhkan langkah konkret untuk mengembalikan ondel-ondel ke ruang-ruang pertunjukan. Perlu ada usaha untuk merangkul para pengrajin dan peraga atraksi ondel-ondel agar bisa terus berkreasi dan tak patah arang mewariskan kesenian ini kepada anak cucu mereka.
Mungkin bisa dimulai dengan kembali mengundang mereka di acara-acara yang diselenggarakan Pemda dan para pejabatnya. Menyelipkan mereka di antara pengisi acara yang menyemarakkan hajatan kota. Jadi, nggak cuma ramai dangdutan sama kampanye terselubung saja.
Ondel-ondel sudah mengiringi Jakarta dari mulai bernama Batavia. Akankah kita rela melihat anak cucu kita memandang kesenian ini hanya sekadar boneka besar pembuat onar yang berisik di jalanan? Atau kita biarkan saja ia terlupakan dan punah tergilas zaman?
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA 8 Karakter Orang Betawi yang Perlu Dipelajari Kalau Tinggal di Jakarta dan tulisan Aisha Rara lainnya.