“Suara jelek, buta nada, tapi kok pede banget nyumbang lagu, ya?” begitu celetukan seorang kawan sinoman saat menyaksikan pria paruh baya saat nyumbang lagu di acara hajatan tempo hari. Suara yang keluar dari pria berkumis tipis itu memang benar-benar mengganggu telinga. Tak ayal, para perewang dan tamu undangan pun kompak meneriaki bapak-bapak tersebut dengan semangat caci-maki.
Pesta hajatan di kampung tentu nggak akan pernah lengkap tanpa hiburan organ tunggal. Meski terlihat sepele, hiburan satu ini berpengaruh besar terhadap kesuksesan acara hajatan, baik pesta pernikahan maupun khitanan. Semakin kondang biduan yang diundang, perewang semakin gerak cepat dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Di Gunungkidul sendiri, tempat saya tumbuh dan berkembang, biasanya organ tunggal dimulai pada pukul 13.00 hingga 20.00. Sang biduan atau sinden nantinya akan mengawali dengan uyon-uyon atau tembang Jawa klasik, lalu disusul lagu-lagu campursari, dan terakhir dangdutan. Tentu saja, lagu-lagu dangdut menjadi lagu andalan yang ditunggu-tunggu sobat sinoman.
Sama seperti daerah lainnya, di kampung saya juga ada kebiasaan nyumbang lagu saat pesta hajatan. Baik perewang maupun tamu undangan, memiliki hak yang sama untuk menyumbangkan suaranya. Biasanya, sang MC akan membuka sesi ini dengan cara mempersilakan atau menunjuk langsung orang yang mempunyai gelagat ingin bernyanyi.
Namun, kebiasaan nyumbang lagu ini bukan tanpa risiko. Jika suara sang penyumbang lagu kayak tokek sange, bersiaplah disoraki dan diteriaki oleh para perewang maupun tamu undangan. Maka dari itu, persiapan mental juga sangat dibutuhkan sebelum nyanyi lagu kesukaan. Jadi, buat kamu yang ingin nyumbang lagu, pastikan nggak melakukan sejumlah contoh tindakan konyol seperti di bawah ini.
#1 Nggak tahu situasi dan kondisi
Beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti rewang di rumah tetangga, ada tamu undangan yang mencoba ingin menyumbangkan suara emasnya. Sayang seribu sayang, bapak-bapak berkumis tipis itu gagal memberi hiburan kepada para tamu undangan dan justru mendapat celaan. Ya, bapak ini harus menerima rapor merah dari penonton lantaran membawakan uyon-uyon atau musik Jawa klasik, padahal waktu menunjukkan pukul 17.00.
Jadi gini, ada semacam aturan nggak tertulis di kampung saya bahwa jam empat sore ke atas itu wayahe lagu-lagu dangdut. Sederhananya, orang bebas menyanyikan lagu apa saja yang penting genre dangdut. Maka dari itu, penyumbang lagu dilarang keras menyanyikan lagu di luar genre dangdut.
Nasib sial menghampiri bapak tersebut. Bukannya mendapatkan tepuk tangan meriah dari tamu undangan, bapak itu terpaksa harus mendengar teriakan-teriakan nggak mengenakan hati dari para sinoman yang tampak kelelahan membawa baki.
#2 Pengin tampil doang, tapi minim persiapan
Selain nggak tahu situasi dan kondisi, orang yang kurang persiapan saat nyumbang lagu di hajatan juga berpotensi dihajar massa. Orang-orang model kayak gini biasanya cuma nggaya tok, tapi saat nyanyi suaranya nggrak-nggrek dan tiba-tiba lupa lirik. Pola nyanyi seperti ini hanya nambah-nambahi beban para pengiring musik dan tentu ngrusaki pasaran grup organ tunggal.
Saya sendiri cukup sering melihat orang dengan tipe pengin nampang doang, tapi suara pas-pasan. Orang seperti ini memang diakui punya sikap pede yang tinggi, sehingga di atas panggung tampak sekali wajahnya yang glelang-gleleng dan ndengagak. Sayangnya, mereka acapkali nggak menyadari kalau suaranya jelek dan memang jelek.
Memiliki suara mirip terompet tukang siomay tentu bukan suatu kesalahan, itu sudah jadi nasib hidup yang mesti kita terima. Tapi, mbok ya kalau niat mau nyumbang lagu di pesta hajatan itu setidaknya dari rumah sudah persiapan. Minimal hafal lagunya lah, nggak dikit-dikit buka hape cari lirik di chordtela. Ya, kecuali kalau dari awal memang pengen diteriaki sampah dan menambah musuh, sumangga…
#3 Berlagak seniman
Setiap orang tentu memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan diri dan bernyanyi di depan umum. Selain bisa ngobati stres akibat cicilan yang tak kunjung usai, nyumbang lagu di hajatan juga bisa menghibur tamu undangan yang datang ke pesta hajatan. Namun, sebelum nyumbang lagu, alangkah baiknya mengukur kemampuan dan kapasitas yang dimiliki.
Nggak sedikit orang yang punya kemampuan minim tapi sudah merasa seniman banget dan sok tahu tentang dunia musik. Biasanya, orang model kayak gini suka ngatur-ngatur tempo nada. Bahkan ada juga yang menyalahkan para pengiring musik saat suaranya nggak sinkron sama nada-nada. Padahal ya karena buta nada dan suaranya memang jelek.
Selain mengganggu pemandangan, penyumbang lagu yang berlagak seniman ini juga merepotkan para pengiring musik. Terlebih saat pengiring musik belum siap dengan lagu yang ingin dibawakan, tapi si penyumbang maksa untuk tetap menyanyikan lagu tersebut. Kalau suaranya bagus sih nggak masalah, ha wong kayak kambing keselek knalpot Satria FU ngono kok ya ngadi-ngadi to, Pak.
Yah, begitulah sejumlah kelakuan sebagian perewang atau tamu undangan kalau nyumbang lagu di acara hajatan, tak terkecuali bapak saya sendiri. Buta nada, suka nggak bisa baca situasi, tapi kok pede-nya luar biasa kalau disuruh nyanyi. Mbok wis, Pak, mending turu wae, anakmu i lho, isin tenan… gething aku.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Baik di Balik Kerasnya Volume Musik Hajatan.