Setiap kali ada acara konser musik dari musisi luar negeri yang akan datang di Indonesia, pasti warganet ribut sekali dibuatnya. Terutama kaum mendang-mending yang menyoroti kok mau-maunya orang mau membeli tiket mahal untuk sebuah konser musik.
Bukan hanya soal tiket yang mahal, tapi juga soal lokasi konser yang kurang luas atau terlalu jauh. Atau masalah panitia penyelenggara yang dianggap kurang siap, juga soal ngewar atau perang cepat-cepatan mendapatkan tiketnya. Tapi di antara sekian banyak hal yang diributkan oleh berbagai tipe warganet ini, tetap saja yang paling menyebalkan buat saya yaitu kaum mendang-mending yang ikut berkomentar soal konser tersebut.
Contoh terbaru, terkait rencana Justin Bieber yang akan mengadakan konser di Indonesia akhir tahun ini. Kaum mendang-mending langsung menyambar kabar ini. Harga tiket konser Justin Bieber sendiri dijual dalam 8 kelas dengan harga termurah Rp1,5 juta dan termahal Rp8,5 juta, itu belum PPN dan biaya admin.
“Tiket konser mahal banget, mending dipakai buat keperluan lain.” “Daripada capek dan berjubel nonton konser langsung, mending nonton di rumah, bisa sambil tiduran.”
Saya bertanya-tanya, apa sih sebenarnya tujuan mereka berkomentar begitu? Apakah mereka ingin divalidasi sebagai orang yang pilihannya paling benar? Atau mereka sebenarnya iri karena tidak bisa ikut nonton konser secara langsung? Atau jangan-jangan mereka nggak punya musisi idola?
Setiap orang yang pernah nonton konser musik secara langsung, baik itu lokal, nasional, maupun internasional, pasti mengerti kalau sensasinya beda dengan menonton lewat TV atau HP di rumah. Lalu setelah sekali ikut nonton, biasanya ketagihan. Apalagi kalau musisi yang tampil itu musisi idola. Sampai lintas benua pun pasti dicari.
Buat saya, pengalaman nonton konser secara langsung itu tidak tergantikan oleh apapun. Bahkan sampai sekarang ini, 6 tahun berlalu sejak menonton konser musisi idola saya secara langsung, kebahagiaan itu masih terasa. Masih merinding setiap teringat momen berada di antara puluhan ribu orang yang serentak menyanyi bersama.
Dikelilingi cahaya dari gelang konser di tangan yang berkelap-kelip selaras dengan nada lagu yang sedang dimainkan, juga takjub melihat langsung sang idola tidak dari layar persegi terbatas inci. Hidup, bergerak, dan bernyanyi. Nyata di depan mata.
Musik bagi sebagian dari kami adalah seperti teman dekat. Kadang seperti obat. Menemani melewati masa-masa terberat tanpa banyak pertanyaan ataupun nasihat. Datang dan melihat secara langsung penampilan musisi idola kadangkala juga bisa kami anggap sebagai wujud terima kasih atas karya mereka.
Keseruan dimulai sejak saat jadwal konser diumumkan, deg-degan menunggu pra-pesan tiket. Bersiap-siap di depan laptop berpacu dengan waktu, kecepatan jari tangan dan koneksi internet, hingga tertawa sampai hampir menangis layaknya habis memenangkan sebuah pertandingan ketika akhirnya mendapatkan tiket. Hari-hari berikutnya pun dilalui dengan penuh semangat. Bangun pagi semangat, kerja jadi lebih semangat, pulang kerja semangat, apalagi waktu mau submit cuti. Semangat banget.
Ketika akhirnya hari itu datang, untuk sesaat, rasanya saya jadi lupa dengan masalah-masalah hidup. Rasanya seperti diingatkan kalau di dunia ini masih ada hal-hal menyenangkan yang bisa membantu mengisi Kembali daya tenaga yang hampir habis setelah sibuk bekerja. Seperti diingatkan kalau kita dimengerti. Oleh lagu. Oleh ribuan orang yang saat itu datang dan menyanyi bersama. Menangis bersama. Selesai konser musik, tenaga saya habis, tapi hati saya penuh. Itulah sebabnya saya bisa mengerti kenapa para penggemar sampai bela-belain rebutan tiket konser.
Bagi kami para penggemar sejati, menonton konser musik secara langsung bukan cuma sekadar perkara menghamburkan sejumlah uang dan menyia-nyiakan tenaga. Mungkin jika dibuat perumpamaan sederhana, menonton konser itu ibarat puncak ibadah yang paling khusyuk, penuh penyerahan dan kebulatan hati.
Lepas dari berbagai alasan mengapa kami sampai mau bela-belain berjubel nonton konser yang tiketnya dianggap terlalu mahal, mbok ya para kaum mendang-mending ini sadar, duit yang dipakai buat beli tiket ini kan duit kami sendiri, hasil jerih payah kami sendiri. Lalu yang capek-capek nyanyi jejeritan juga kami sendiri. Jadi, nggak perlulah melempar opini seolah yang kami lakukan ini salah. Biasa wae.
Penulis: Indah Purnamasari’
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Surat Cinta buat Mas dan Mbak Penonton Konser yang suka Peluk-pelukan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.