Ngobrolin Feminisme di Tengah Gelombang Penolakannya

feminisme

feminisme

Dunia mengenal istilah feminisme sejak kurang lebih 3 abad silam, spirit ini mulai digaungkan pasca pecahnya Revolusi Prancis. Lalu, buat apa sih ada feminisme? Sejak kapan adanya? Masih relevan nggak untuk saat ini?

Istilah feminisme mulai disuarakan oleh seorang filsuf bernama Charles Fourier pada tahun 1808 untuk menggambarkan kedaan di mana sekat antara laki-laki dan perempuan lenyap dari kelas sosial. Namun, jauh sebelum itu seorang perempuan Inggris bernama Mary Wollstonecraft menulis buku berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1792 sebagai respon pasca Revolusi Prancis yang menurutnya dapat menjadi momentum bagi perempuan untuk menyuarakan haknya dalam pengambilan keputusan.

Kalau ditelusur lebih jauh lagi, bahkan beberapa literatur agama seperti hadist juga menceritakan tentang bagaimana berlaku adil pada manusia tanpa mendiskriminasi gender. Masih ingat bagaimana proses pernikahan Nabi Muhammad dan Khadijah? Khadijahlah yang justru menyampaikan terlebih dahulu niatannya untuk menikah dengan Muhammad, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur Arab pra-Islam yang memposisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua sehingga tidak pantas untuk dimuliakan dan bahkan dianggap sebagai aib. Meskipun pada zaman Khadijah melamar Muhammad belum dikenal istilah femininsme.

Terus emang apa pentingnya feminisme? Seperti kebanyakan sudut pandang yang mewarnai era modern—marxisme, sosialisme, dan sebagainya—tujuan paham ini ialah untuk mencapai keadilan yang lebih khusus diinterpretasikan dalam kesetaraan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Meski tujuan akhirnya ialah mewujudkan keadilan, hal ini tak lantas membuat paham ini menjadi sebuah sudut pandang yang seragam.

Feminisme memiliki banyak cabang aliran seperti feminisme liberal, radikal, eco-feminisme, marxis, anarkis, kultural, separatis, dan masih banyak lagi. Maksudnya apa? Ya maksudnya meskipun tujuannya sama-sama menyuarakan keadilan tapi bentuknya bisa beda-beda—kayak feminisme radikal dan separatis misalnya, mereka adalah dua kubu yang berlawanan dalam tubuh paham ini. Feminisme radikal mempunyai argumen utama bahwa laki-laki sebagai sumber masalah sehingga perlu dikerdilkan kemampuannya karena semua ketimpangan di dunia ini salah laki-laki, sebaliknya dengan feminisme separatis yang menganggap bahwa masalah ketimpangan ini tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan laki-laki. Dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing cabang feminisme berusaha untuk melawan ketimpangan gender.

Jadi feminisme ini cuma soal keadilan terhadap perempuan ya? Feminisme memang sebuah gerakan yang terinspirasi dari diskrimanasi terhadap perempuan. Namun bicara feminisme sebenarnya ialah menyoal ketimpangan perspektif terhadap gender—misalnya stereotip bahwa laki-laki pantang menangis atau menunjukkan emosi alamiah yang lain ataupun perempuan yang seringkali digambarkan sebagai makhluk lemah yang perlu berlindung dibalik kekuatan laki-laki. Paham ini berusaha untuk memandang manusia ya seutuhnya manusia, yang bisa menangis, marah, dan lain sebagainya. Juga upaya melawan stereotip bahwa kegiatan tertentu terkait dengan gender tertentu seperti perempuan mengurus anak, masak, beres-beres rumah atau laki-laki yang harus benerin genteng, ngecat rumah, cari nafkah. Kenapa perlu dilawan? Karena semua skill tersebut dapat dimiliki oleh siapapun, tanpa memandang jenis kelamin. Paham ini berusaha membuka pemahaman bahwa manusia memiliki nature—kondisi alamiah—dan nurture—struktur sosial. Yang disebut nature seperti perempuan haid, melahirkan karena memang tubuh perempuan settingannya demikian sedangkan nurture seperti merawat anak, beberes rumah dan lain-lain sebenarnya bisa berbagi peran dengan pasangannya.

Masihkah feminisme relevan? Selagi perempuan masih tersubordinasi, selagi laki-laki masih dianggap makhluk kelas satu sehingga tidak boleh menangis dan menunjukkan kelemahan, selagi masih sering diolok “perempuan kok …” “laki-laki kok …” feminisme masih relevan. Suatu saat jika manusia sudah mampu memposisikan manusia laiknya manusia tanpa ketimpangan gender, tugas feminisme berakhir.

Soal yang menolak paham ini dan memperlawankan dengan agama? Saya menyarankan admin dan jajaran stakeholdernya untuk mencari tahu dulu sebenarnya apa yang kalian tolak dan di mana standing position kalian—apa yang kalian perjuangkan. Karena sependek pembacaan saya terhadap akun @indonesiatanpafeminis dan sejenisnya, saya tidak menemukan arah perlawanan mereka bermuara ke mana, bahkan masih rancu pendefinisian antara kesetaraan dan kesamaan, menganggap bahwa upaya menyetarakan ialah menyamakan. Jika yang sesungguhnya dicari ialah sama-sama keadilan, mungkin yang teman-teman antifeminis tolak sebenarnya hanya istilah “feminisme” yang terdengar kebarat-baratan dan kurang Islami ini. Yhaaa~

Exit mobile version