Widih, kemarin rame banget masalah ya babang Ronaldo yang geser botol doang dan menyarankan untuk minum air putih aja. Gara-gara ulahnya, Coca-Cola harus kehilangan nilai pasar sebesar US$4 miliar yang setara Rp58 triliun. Tapi kok bagi saya, kayaknya lebay banget deh kegiatan geser botol doang bisa sampai berpengaruh segitu besarnya.
Berhubung saya dari Fakultas Ekonomi, pasti ada dong rasa penasaran tentang apakah benar botol yang digeser oleh seorang mega bintang sepak bola punya pengaruh sebesar itu? Setelah saya telusuri lagi, ternyata nggak juga. Media sering gitu, lebay banget. Tapi, ya saya mewajarkan sih kalau banyak media yang mengatakan berita bombastis macam itu. Lumayan lah, untuk ningkatin pageview yang jelas, bakal meningkatkan pendapatannya pula.
Coba dah kalau baca berita tuh, jangan hanya yang ada di page satu gugel doang. Baca lebih lanjut, cari datanya lebih banyak lagi, dan tak lupa rasa penasaran yang besar.
Saat dicari lebih lanjut, kegiatan Ronaldo menggeser botol itu hanya salah satu faktor kecil bersama beberapa faktor lain yang akan mempengaruhi keputusan pembelian saham. Masih ada faktor lainnya yang menyebabkan nilai pasar Coca-Cola turun dengan jumlah tersebut.
Menurut salah satu analis yang tulisannya saya baca, harga saham Coca-Cola pada pertengahan Juni itu udah sampai pada puncaknya selama 52 minggu terakhir di level US$56 per lembarnya. Biasanya sih, kalau nilai suatu perusahaan itu udah sampai puncak, saham tersebut bakal rentan mendapatkan koreksi pada nilainya.
Selain faktor tersebut, ada juga faktor fundamental yang merupakan pertimbangan utama investor dalam mengukur nilai saham suatu perusahaan. Faktor fundamental didasarkan pada laporan kinerja keuangan dari perusahaan terkait.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh perusahaan, sepanjang kuartal pertama tahun 2021, pendapatan Coca-Cola memang naik sebesar 4,87 persen secara tahunan menjadi sebesar US$ 9,02 miliar atau setara Rp192 triliun, lebih banyak dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya.
Walaupun pendapatan dari Coca-Cola naik, laba bersih yang didapatkan malah turun sebesar 19,10 persen secara tahunan. Kalau pada tahun sebelumnya laba bersih sebesar Rp40 triliun, laba bersih ini malah turun menjadi “hanya” Rp32 triliun pada kuartal awal tahun ini. Ini bisa juga jadi salah satu faktor turunnya nilai saham Coca-Cola kemarin.
Selain itu, ada juga faktor terakhir yang tak banyak dikabarkan. Yakni faktor kebetulan aja pas Ronaldo geser bola, hampir pada waktu yang sama, saham Coca-Cola emang lagi turun. Seperti analisis dari Sportico, yang menunjukkan saham Coca-Cola mulai diperdagangkan jam 09.30 waktu setempat. Dari mulai diperdagangkannya, saham Coca-Cola langsung turun 0,9 persen. Tapi, bukan gara-gara ulah Ronaldo.
Jumpa pers Ronaldo di Eropa itu mulainya jam 09.45 yang artinya kegiatan pemindahan botol tersebut bukan alasan utama investor menjual atau membeli saham Coca-Cola di bursa. Kabar “panas” di media pada umumnya, seperti mengabarkan bahwa volatilitas dalam perdagangan saham global itu sangat rapuh, sehingga peristiwa minor macam itu bisa bikin perusahaan boncos miliaran dolar.
Lagipula, adalagi analisis menarik yang mengatakan bahwa, “kerugian” yang dialami Coca-Cola itu nggak seberapa kalau dibandingkan dengan nilai pangsa pasarnya. Coca-Cola itu nilai pangsa pasarnya masih sekitar US$237 miliar, bayangin aja, kerugian US$4 miliar nggak bikin raksasa produsen minuman berkarbonasi tersebut jatuh pingsan.
Apalagi nih, Coca-Cola itu kan perusahaannya gede banget. Dengan penurunan nilai sebesar yang disebutkan, saya yakin nilai pasarnya bakal bounce-back dalam waktu singkat. Investor bakal melirik turunnya harga saham Coca-Cola dan akan memborongnya, wong mumpung lagi murah, kok. Untuk perusahaan sebesar dan sekuat Coca-Cola, pastinya investor yang menyerok harga sahamnya yang lagi turun, memiliki tingkat kepercayaan besar terhadap Coca-Cola. Kalau udah jadi rebutan lagi di pasar, ya bakal naik lagi nilai saham Coca-Cola. Begitu.
Memang, isu ini udah dingin sih. Tapi nggak apa-apa, saya memang suka makanan dingin. Soalnya kalau makanan panas, potensinya besar mengubah pisang goreng menjang hihang hoheng lantaran panasnya. Objektivitas dari yang diucapkan jadi berkurang. Dan, kayaknya media yang suka gorengan panas gitu, ya, berita yang ditulis seperti makan pisang goreng panas deh. Nggak baik loh keseringan nguntal makanan panas dan mengabarkannya pada khalayak.
BACA JUGA Memahami Strategi Decoy Effect agar Nggak ‘Tertipu’ untuk Beli Produk dengan Harga Paling Mahal dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.