Universitas Gadjah Mada (UGM) baru saja memulai rutinitas tahunan dalam menyambut mahasiswa baru. Sebelum merasakan dunia perkuliahan yang sebenarnya, para maba UGM ini terlebih dahulu diperkenalkan dengan kehidupan kampus dalam acara Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB).
PPSMB berlangsung selama enam hari penuh. Momen ini bisa ditandai dengan tiba-tiba ada banyak mahasiswa yang pakai almamater UGM di jalan. Euforia PPSMB juga biasanya dipamerkan oleh para maba UGM di media sosial.
Beberapa waktu lalu, sebuah konten heartwarming yang menampilkan percakapan antara seorang pengemudi ojek online dengan maba UGM tersebar. Driver ojol tersebut menceritakan bahwa ia senang bisa mengantar para maba UGM mengikuti kegiatan PPSMB. Maba yang diboncengkan olehnya juga menceritakan bahwa ia merasa bahagia dan bangga bisa diterima sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
Sedikit kisah inspiratif dari wong cilik🥲❤️ ugm_fess pic.twitter.com/Y1pUnIcP3m
— ON ! Kirim Menfess Via Telegram (@UGM_FESS) August 1, 2023
Masa-masa menjadi maba UGM memang waktu yang tepat buat berbangga diri. Nggak ada yang salah kok dengan hal itu. Apalagi setelah jerih payah dan perjuangan berdarah-darah yang sudah mereka lewati untuk bisa masuk Universitas Gadjah Mada.
Kalau dipikir-pikir, kenapa ya banyak orang menginginkan UGM? Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka rela belajar dan ambil les puluhan juta demi bisa mengalahkan ribuan pesaing yang sama-sama pengin diterima UGM. Dalam benak mereka, Universitas Gadjah Mada adalah kampus yang patut diperjuangkan. Hingga akhirnya ketika mereka sudah diterima dan mengikuti kegiatan PPSMB, mereka sangat bangga menyandang gelar maba UGM.
Di antara kampus-kampus lain di Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada adalah kampus yang paling dikenal sekaligus punya peringkat paling baik. Peringkatnya pun hampir selalu menduduki tiga besar secara nasional.
Akan tetapi di luar nama besar yang disandang sekaligus dipikul oleh UGM, apa sih yang membuat kampus ini jadi kemewahan sekaligus kebanggaan bagi mahasiswa barunya? Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya yang dulu juga merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, kira-kira begini alasannya.
Daftar Isi
Maba UGM mendapat banyak kesempatan baru
Dengan berkuliah di Universitas Gadjah Mada, peluang mahasiswa untuk terpapar kesempatan-kesempatan baru jadi lebih besar. Kesempatan-kesempatan ini dalam bentuk akademik dan non-akademik.
Kampus ini sudah bekerja sama dengan kampus-kampus prestisius dari luar negeri. Banyak program studi di Universitas Gadjah Mada yang menawarkan program double degree. Dengan mendaftar satu prodi, kita bisa belajar sekaligus dapat gelar dari dua kampus sekaligus. Sudah dapat UGM, dapat juga kampus elite lain dari luar negeri. Mana bisa nggak bikin iri?
Exposure lain yang paling menjanjikan adalah kesempatan mencetak prestasi lewat prestasi non-akademik. Di UGM, banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) nasional dan internasional yang bisa diikuti oleh mahasiswa secara bebas. UKM-UKM ini juga sudah banyak yang jadi langganan juara dan sistemnya sudah tertata. Dengan ikut UKM mahasiswa nggak sekadar menuh-menuhin curriculum vitae biar kelihatan aktif, melainkan jadi ajang mahasiswa untuk berprestasi secara seimbang antara kegiatan akademik dan non-akademik.
Menjadi maba UGM berarti siap ketularan pengaruh dari para genius
The people that you have around you are your biggest influence.
Mudahnya, lingkunganmu bakal nularin kamu. Terbiasa dengan suatu sistem di suatu tempat akan membuatmu terpengaruh pada kebiasaan di situ.
Universitas Gadjah Mada menjadi kebanggaan karena kampus ini identik sama ahli, pakar, mahasiswa cerdas dan berprestasi, dan lingkungan yang suportif. Diterima menjadi maba UGM adalah sebuah kemewahan karena mahasiswa baru punya peluang dikelilingi oleh orang-orang yang punya pengaruh baik buatnya.
Salah satu pengaruh baik yang paling saya rasakan adalah lingkungan riset UGM yang memuaskan. Penelitian yang melibatkan UGM biasanya nggak sekadar riset dengan hasil acakadul. Beberapa prodi di Universitas Gadjah Mada pun secara serius mempersiapkan mahasiswanya untuk menjalani riset dengan mewajibkan mata kuliah metode penelitian. Di prodi saya, metode penelitian disajikan selama lima semester penuh.
Hasilnya, mahasiswa jadi terbiasa untuk melakukan penelitian yang sesuai kaidah dan standar. Syukur-syukur mahasiswa juga terpengaruh untuk aktif riset seperti dosen-dosennya. Maka dari itu, nggak jarang mahasiswa yang aktif riset dan tukar pikiran dengan dosen bisa menerbitkan hasil penelitian di jurnal Q1. Jurnal Q1 ini merupakan jurnal internasional dengan kualitas tertinggi dalam parameter Scopus. Dan buat saya, pencapaian semacam itu keren banget.
Privilege sebagai alumni UGM
Kemewahan dan kebanggaan yang dicari oleh maba bukan hanya status dan prestise sebagai mahasiswa UGM. Kelak ketika mereka sudah lulus, mereka juga akan menyandang status sebagai alumni UGM. Banyak maba maupun calon maba berkeyakinan bahwa menjadi alumni UGM akan memudahkan salah satu dari sekian banyak problem hidup, salah satunya soal kemudahan mendapat pekerjaan.
Keyakinan ini bener-bener ada dan saya saksikan sendiri. Sewaktu masih jadi anak SMA, guru-guru saya menanamkan prinsip bahwa sebisa mungkin diterima di Universitas Gadjah Mada karena kampus tersebut bakal memudahkan alumninya buat dapat kerja. Alasannya karena alumni UGM banyak menduduki jabatan strategis, tersebar di mana-mana, dan punya basis alumni yang lumayan kuat. Pun katanya dengan jadi alumni UGM, kita bakal difavoritkan kalau jadi pelamar kerja di tempat senior kita.
Saya sih belum membuktikan hipotesis ini. Tapi dari yang saya lihat, portal Alumni UGM adalah yang paling update memberikan informasi lowongan kerja dibandingkan portal alumni dari kampus lain di Yogyakarta.
Nama besar yang disandang oleh UGM menjadikan kampus ini sebagai suatu kemewahan dan kebanggaan bagi para mahasiswa, khususnya bagi para maba. Tapi di samping nama besarnya, tersimpan alasan-alasan lain yang membuat maba menganggap UGM sebagai kampus yang mewah dan membanggakan, sebagaimana tiga alasan di atas.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi