Geger kasus korupsi pekerjaan pembangunan Tol Mohammed bin Zayed, atau yang biasa kita singkat tol MBZ ternyata memunculkan kalangan sok kritis padahal nggak tau apa-apa. Hadeh, kalian semua ini tau apa sih soal korupsi?
Saya heran lho, kok bisa hanya baca judul di media digital langsung memutuskan sesuatu? Ini tuh bukan kasus korupsi. Melainkan permainan bisnis. Aksi heroik menyelamatkan negeri dari kerugian. Serta pelestarian budaya!
Daftar Isi
- Tidak ada yang salah dengan mengubah beton menjadi baja dalam pembangunan tol MBZ!
- Ini bukan kasus korupsi, melainkan pelestarian budaya birokrasi!
- Prinsip ekonomi paling dasar
- Ini bukan kasus korupsi, justru pencegahan terlibat kasus korupsi sebelumnya!
- Ini bukan kasus korupsi, melainkan pemberantasan pungli di birokrasi!
- Ujian mengasah logika umat manusia
Tidak ada yang salah dengan mengubah beton menjadi baja dalam pembangunan tol MBZ!
Mengubah beton menjadi baja dalam pembangunan Tol MBZ itu harusnya bukan korupsi. Cuma biar lebih murah dan cepet aja pembangunannya. Dari segi harga, beton memang lebih murah daripada baja. Meskipun demikian, itu hanya berlaku pada segi pengadaan bahan. Sedangkan, biaya yang dibutuhkan untuk membangun dengan menggunakan beton jauh lebih mahal daripada baja.
Jadi ya wajar apabila dalam pembangunan Tol MBZ, baja dipilih untuk menggantikan beton. Hasil akhirnya juga sama-sama baik dan aman. Bahkan Menteri PUPR, Pak Basuki Hadimuljono menilai penggunaan baja dalam pembangunan rangka jalan layang bukanlah hal yang salah. Pasalnya ada beberapa proyek jalan layang yang menggunakan baja dan teruji aman.
Kalau Pak Basuki saja sudah berkata tol dengan konstruksi baja itu aman, ya berarti nggak ada masalah, kan? Kalau cuma beda harga, ya namanya juga bisnis. Nominal di dokumen pengadaan lebih banyak itu ya wajar. Palingan cuma bikin negara rugi 1.5 triliun rupiah aja. Kecil lah itu.
Ini bukan kasus korupsi, melainkan pelestarian budaya birokrasi!
Kasus dugaan korupsi tol MBZ ini telah naik ke tahap penyidikan sejak Senin 13 Maret 2023 lalu. Kejagung menduga ada pihak yang sengaja mengatur pemenang tender proyek. Ini Kejagung mainnya kurang jauh kali ya? Dari dulu, setiap tender proyek pemerintah, bukannya udah ditentukan sejak awal siapa yang bakal megang proyek ya? Tender-tenderan itu sih cuma formalitas aja. Jadi ya wajar kalau ada yang mengatur pemenang tender proyek tol MBZ ini. Hal beginian itu bukan korupsi, melainkan bagian dari birokrasi.
Prinsip ekonomi paling dasar
Permasalahannya bukan sebatas pengaturan pemenang tender. Terindikasi bahwa ada pihak yang sudah mengatur spesifikasi barang sehingga menguntungkan pihak tertentu. Salah satunya pasti adalah mengubah beton menjadi baja. Nah ini juga yang menganggap kasus ini korupsi, pasti nggak ngerti konsep bisnis. Kalau hasilnya sama-sama bagus, kualitasnya sama-sama oke, dan secara kebetulan harganya ada yang lebih murah, ya pasti memilih yang lebih murah, dong?
Urusan beda sama di dokumen, hal seperti itu sudah biasa. Kalau bisnis nggak usah kaku-kaku, lah. Fleksibel aja biar sama-sama enak. Bansos kemarin deh. Misal di data tertulis Indomie, tapi yang diterima warga adalah Selera Rakyat, yaudah nggak masalah. Sama-sama mie instan. Lagian Selera Rakyat lebih enak daripada Indomie, kan?
Kasus baja dan beton juga gini. Hal ini mencakup prinsip ekonomi paling dasar. Mendapat keuntungan sebesar mungkin dengan pengeluaran sekecil mungkin.
Ini bukan kasus korupsi, justru pencegahan terlibat kasus korupsi sebelumnya!
Selain itu, jangan-jangan nggak ada unsur kesengajaan dalam kasus ini. Saat proyek dimulai, awalnya memang ingin menggunakan beton. Apalah daya dunia beton di Indonesia juga sedang gonjang-ganjing. Dirut Waskita terseret kasus penyelewengan penggunaan dana PT Waskita Beton Precast sehingga negara rugi 2.3 triliun Rupiah.
Karena gonjang-ganjing ini, bisa saja ada kekhawatiran jika proyek tol MBZ dilanjutkan pakai beton. Waskita Beton adalah salah satu top of mind dunia beton Indonesia, maka proyek Tol MBZ bisa terseret kasus penyelewengan dana Waskita juga. Karena itulah daripada menggunakan beton, maka pembangunan dilanjutkan dengan baja. Kalau memang skenarionya seperti ini, bukankah proyek Tol MBZ justru mencegah negara dari kerugian yang lebih dalam? Ayolah pikir kasus ini dengan mindset terbuka lebar.
Ini bukan kasus korupsi, melainkan pemberantasan pungli di birokrasi!
Atau jangan-jangan, justru ada salah perhitungan sejak awal. Djoko Dwiyono selaku Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek 2016-2020, yang merupakan salah satu tersangka utama kasus ini, mungkin mengira beton itu lebih murah daripada baja. Sejak awal, sejatinya blio dan tim ingin agar pembangunan tol ini memakan biaya seefisien mungkin. Karena harga beton memang lebih murah daripada baja, maka dipilihlah beton sebagai bahan dari pembuatan tol MBZ ini. Setelah dihitung-hitung, ketemu angka Rp13.530.786.800.000 untuk proyek ini.
Selagi proses pembangunan berlangsung, barulah pada sadar. Harga beton emang murah, tetapi menjadi lebih mahal jika digunakan sebagai bahan pembangunan. Karena itulah mendadak diganti menjadi baja. Kalau kemudian ditanya kenapa nggak mengubah dokumen awal biar negara nggak rugi, ayolah, masa iya pada nggak sadar betapa ribetnya mengurus perubahan data di negeri ini?
Birokrasinya sangat ribet. Belum lagi ada pungli di sana-sini. Mengurus pergantian data di sebuah dokumen proyek senilai triliunan rupiah, bisa saja kena pungli sampai ratusan juta, kan? Karena itu, demi menyelamatkan negara dari kerugian akibat pungli, yaudah nggak usah diganti aja data dokumennya. Biarin tertulis beton meski eksekusi pengerjaannya pakai baja. Nanti baru kalau sudah selesai pengerjaan, laporannya disesuaikan. Selain itu, duit kelebihan karena menggunakan baja alih-alih beton, juga bakal dikembalikan ke negara. Niatnya pasti seperti itu.
Ujian mengasah logika umat manusia
Karena itulah, buat orang-orang yang menganggap ini kasus korupsi, bahkan buat Kejagung sekalipun, seharusnya berpikir lebih jernih lagi. Buka mata dan logika selebar-lebarnya. Jangan sok kritis dan menuduh yang nggak-nggak. Apanya yang negara rugi 1.5 triliun? Kagak. Toh hasilnya sama-sama oke. Ini ibaratnya beli french fries, tapi yang dianter potato chips. Awalnya kaget, tapi enjoy aja karena sama-sama kentang dan renyah.
Atau ibarat 2024 nyoblos Ganjar, tapi yang menang Prabowo. Awalnya kaget. Tapi enjoy aja, soalnya sama-sama kubu Jokowi.
Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jalan Layang MBZ, Mimpi Buruk Pengguna Jalan Tol Jakarta-Jawa Barat