Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Hiburan Musik

Nggak Ada Masalah Musisi Terjun ke Dunia Politik, asalkan…

Iqbal AR oleh Iqbal AR
4 Maret 2023
A A
Bisakah Kita Menikmati Musik Tanpa Peduli Pilihan Politik sang Musisi? (Pixabay.com)

Bisakah Kita Menikmati Musik Tanpa Peduli Pilihan Politik sang Musisi? (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Musik dan politik itu memang merupakan dua hal yang berbeda. Tapi, perbedaan keduanya masih berada dalam satu rahim yang sama, yaitu rahim seni. Jika musik adalah seni merangkai bebunyian, nada, dan kata-kata, politik merupakan seni mengajak orang untuk berada satu barisan dalam memperjuangkan sesuatu. Meski berbeda, musik dan politik tetaplah sebuah seni.

Musik dan politik juga kerap berjalan beriringan. Dalam panggung musik kerap terdapat pesan-pesan atau praktik-praktik politik. Entah itu politik praktis, maupun politik ideologis. Dan itu tidak ada masalah. Sudah biasa. Sebaliknya, dalam panggung-panggung politik juga kerap terdapat musik. Contoh paling sederhana adalah adanya pentas dangdut di sebuah gelaran kampanye partai politik.

Kedekatan antara musik dan politik membuat kita kerap menjumpai fenomena yang mungkin sudah biasa di kalangan masyarakat. Fenomena tersebut adalah musisi yang terjun ke dunia politik, khususnya politik praktis. Fenomena ini sudah banyak contohnya. Ada Giring ex Nidji, Ahmad Dhani, Anang Hermansyah, Krisdayanti, hingga Pasha Ungu.

Dan tidak hanya di Indonesia saja. Di luar negeri juga banyak musisi yang terjun ke dunia politik praktis. Sebut saja nama Krist Novoselic, bassist Nirvana, yang sempat jadi calon gubernur Washington. Selain Novoselic, ada yang lebih cult lagi. Jello Biafra, vokalis band punk-rock Dead Kennedys. Jello Biafra sempat menyalonkan diri menjadi walikota San Francisco pada 1979, dan sempat menjadi salah kandidat Presiden Amerika dari Partai Hijau New York.

Musisi terjun ke politik adalah hal yang wajar

Ini adalah fenomena yang wajar. Di era demokrasi yang dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, membuat siapapun boleh maju dan terjun ke dunia politik, termasuk musisi. Entah musisi tersebut mau terjun lewat partai kanan atau partai kiri, bebas saja. Toh tidak ada yang salah juga dengan musisi yang terjun ke dunia politik, apapun latar belakang ideologi atau genre musisi tersebut. Pertanyaannya kan tinggal pantas atau tidaknya musisi tersebut terjun ke dunia politik sesuai aturan-aturan yang berlaku.

Namun, perdebatan lain akan muncul terkait musisi yang terjun ke ranah politik praktis. Bagaimana jika ada seorang musisi, musisi punk misalnya, yang menyuarakan ideologi-ideologi perlawanan dan progresif, menentang kekuasaan oligarki dan negara lewat lirik-lirik yang diciptakannya, malah terjun ke dunia politik praktis? Apakah itu bisa dibenarkan dan bisa jadi masalah?

Ideologi yang diusung oleh musisi

Jawabannya sederhana: Itu bisa dibenarkan dan tidak ada masalah dengan hal tersebut. Toh Jello Biafra sudah melakukannya jauh sebelum kita-kita ini tahu banyak soal musik dan politik. Namun, titik beratnya akan berada pada poin, apakah trek politik yang diambil musisi tersebut sudah sesuai dan sama dengan apa-apa yang selama ini diperjuangkan melalui musik yang dia buat dan dia mainkan?

Jello Biafra memang terjun ke politik praktis. Namun setidaknya apa yang disuarakan Jello Biafra di musik (melalui lirik-liriknya), masih sangat beririsan dengan apa yang dia perjuangkan di politik. Masih sama progresifnya. Jello Biafra juga tidak menjadi hipokrit. Jello Biafra setidaknya masih berada di trek yang sama dengan trek yang dia ambil di dunia musik dengan Dead Kennedys.

Baca Juga:

Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven

5 Istilah di Jurusan Ilmu Politik yang Kerap Disalahpahami. Sepele sih, tapi Bikin Emosi

Inilah yang akhirnya menjadi soal, sebab ada banyak hipokritis yang menjalar dalam fenomena musisi yang terjun ke dalam dunia politik praktis. Sudah banyak sekali contoh yang seperti ini. Saya akan coba beri contoh studi kasus mengenai hipoktiris yang terjadi. Anggap saja ini contoh fiktif, ya.

Misalnya begini. Ada seorang musisi (anggap saja dia musisi punk) yang memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Ketika jadi musisi, dia kerap menyarakan perlawanan terhadap sistem, terhadap negara, dan terhadap kekuasaan oligarki. Lirik-liriknya keras, tanpa tedeng aling-aling menyuarakan pemberontakan, atau bahkan menyuratkan paham-paham ideologi perlawanan terhadap kekuasaan dan negara.

Ternyata, tanpa diketahui banyak orang, musisi tersebut adalah bagian dari sistem atau negara (dengan bergabung ke dalam partai politik). Tidak hanya itu, dia bahkan merupakan bagian dari kekuasaan oligarki, bagian dari mereka yang memegang kekuasaan. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan apa-apa yang selama ini disuarakan melalui musik dan liriknya yang sangat progresif. Ketika jadi musisi dia dengan lantang menentang kekuasaan negara, eh dia malah jadi bagian dari kekuasaan negara yang dia tentang. Gimana coba?

“I can fix them”

Usang sekali jika masih menggunakan alibi “mengubah dari dalam.” Alibi yang sudah sangat tidak relevan. Orde Baru sudah runtuh 25 tahun lalu, dan Budiman Sudjatmiko sudah menjadi bagian dari kekuasaan. “Mengubah dari dalam” itu sudah jauh dari kata relevan.

Atau jangan-jangan dia malah ingin menghancurkan sistem dari dalam? Jika iya, ini langkah yang cukup berani (maaf, saya menahan ketawa ketika menulis kalimat ini). Tinggal seberapa kuat dia bertahan di sana hingga mampu menghancurkan sistem dari dalam. Toh belum ada yang berhasil, kan?

Tapi ya balik lagi, bahwa tidak ada yang salah dari seorang musisi (termasuk musisi yang sangat progresif dan lantang menyuarakan perlawanan) untuk masuk ke dunia politik praktis. Semua orang boleh masuk politik, musisi boleh masuk ke dunia politik, bahkan jika mengharuskannya untuk menjadi seorang hipokrit. Toh uang dari main musik tentu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan uang dari politik praktis. Realistis aja, sih.

Tugas kita sebagai kawula-kawula yang tidak punya kendali kekuasaan, ya tinggal mentertawakan saja. Tidak perlu marah-marah, tidak perlu kecewa. Harus diakui, fenomena ini adalah fenomena yang komikal, fenomena yang menggelikan. Anggap ini sebagai hiburan saja. Menerca dan mencela mereka hanya akan membuat tenaga kita habis. Ingat, masih ada listrik, air, dan pay later yang harus kita bayar. Masih ada keluarga dan anabul yang harus kita beri makan dan bahagiakan. Pacar… wis, bubar.

Sekali lagi, tidak ada yang salah

Karya memang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari penciptanya. Lirik lagu juga tidak bisa dipisahkan dari penulisnya, terlebih jika ada paham atau ideologi yang dibawa. Karya (dalam hal ini lirik lagu) bisa jadi cerminan pemahaman dan ideologi penciptanya atau penulisnya. Itulah susahnya menjadi seorang pencipta karya atau penulis lagu (musisi). Konsistensi atas apa yang kita ciptakan atau apa yang kita tulis, itulah yang sebenarnya menjadi tantangan, yang mana musisi sekelas Slank gagal dalam hal konsistensi itu.

Untung saja band seperti Rage Against The Machine masih konsisten dengan apa yang mereka suarakan selama 32 tahun. Tapi kalau suatu saat Zack de la Rocha atau Tom Morello masuk ke politik dan gabung ke partai sayap kanan yang konservatif (amit-amit jabang bayi), ya biarkan saja. Tidak ada yang salah. Toh pada akhirnya yang hipokrit mereka, yang tidak konsisten mereka, yang bodoh juga mereka.

Maka dari itu, sekali lagi saya tekankan, bahwa tidak ada yang salah dari seorang musisi yang terjun ke dunia politik praktis, bahkan jika itu berarti mengkhianati perjuangan yang selama ini disuarakan. Tidak ada salahnya juga untuk menjadi hipokrit, toh bukannya politik terlalu dekat dengan kemunafikan?

Kita akhirnya juga tahu bahwa kapasitas dan “harganya” memang hanya segitu. Selama kita tidak dirugikan secara langsung, ya biarkan saja. Anggap saja itu hiburan, anggap saja itu sirkus komedi. Kita tertawakan saja, sambil kalau bisa kita sesekali menyentilnya. 

Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Wajar Kalau Kita Jadi Nggak Suka Slank karena Kedekatan Mereka dengan Penguasa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 4 Maret 2023 oleh

Tags: hipokritisMusikmusisiPolitikpolitisi
Iqbal AR

Iqbal AR

Penulis lepas lulusan Sastra Indonesia UM. Menulis apa saja, dan masih tinggal di Kota Batu.

ArtikelTerkait

Nonton Rurouni Kenshin Saat Anak-anak dan Dewasa Itu Beda Sensasinya terminal mojok.co

Nonton Rurouni Kenshin Saat Anak-anak dan Dewasa Itu Beda Sensasinya

22 Januari 2022
Rekomendasi Album Folk yang Bukan Cuma Bahas Kopi, Gunung, dan Senja

Rekomendasi Album Folk yang Bukan Cuma Bahas Kopi, Gunung, dan Senja

15 Februari 2020
royalti lagu moshpit rock pop punk mojok

Moshpit Selalu Dirindukan Meski Membuat Lebam

7 Desember 2020
4 Hal Kecil tapi Memalukan yang Harus Dihindari Mahasiswa Jurusan HI

4 Hal Kecil tapi Memalukan yang Harus Dihindari Mahasiswa Jurusan HI

5 Mei 2025
4 Lagu Indonesia yang Bagus, tapi Video Klipnya Nggak Bangettt terminal mojok

4 Lagu Indonesia yang Bagus, tapi Video Klipnya Nggak Banget

15 Agustus 2021
Menganalisis 'Ndasku Mumet Ndasmu Piye?' Lagu yang Cocok buat Sarana Self Healing terminal mojok.co

Menganalisis ‘Ndasku Mumet Ndasmu Piye?’ Lagu yang Cocok buat Sarana Self Healing

30 Oktober 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

18 Desember 2025
Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

18 Desember 2025
3 Alasan Berkendara di Jalanan Jombang Itu Menyebalkan

3 Alasan Berkendara di Jalanan Jombang Itu Menyebalkan

14 Desember 2025
Isuzu Panther, Mobil Paling Kuat di Indonesia, Contoh Nyata Otot Kawang Tulang Vibranium

Isuzu Panther, Raja Diesel yang Masih Dicari Sampai Sekarang

19 Desember 2025
Bali, Surga Liburan yang Nggak Ideal bagi Sebagian Orang

Pengalaman Motoran Banyuwangi-Bali: Melatih Kesabaran dan Mental Melintasi Jalur yang Tiada Ujung  

19 Desember 2025
Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik
  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.