Sebagai rekruter dan HRD, rasanya sudah biasa bagi saya, berbagi cerita sekaligus pengalaman dengan para rekruter di perusahaan lainnya. Baik secara langsung maupun berbalas pesan singkat. Hal yang kami ceritakan, nggak jauh dari proses perekrutan sampai suka-duka dalam menemukan kandidat yang sesuai kebutuhan.
Teranyar, seorang rekan sesama rekruter curhat mengenai betapa menyebalkannya ketika melakukan open recruitment atau proses seleksi karyawan, padahal sudah jelas ada kandidat titipan dari salah satu atasan yang secara otomatis akan bergabung di tempat ia bekerja.
Nggak perlu pura-pura kaget, kawan. Sebagian di antara kalian mungkin sudah mengetahui dan menyadari hal ini. Realitasnya, hal ini sudah menjadi rahasia umum dalam proses perekrutan karyawan di sebagian kecil perusahaan. Namun, perlu diketahui juga, bahwa yang mangkel bukan hanya kalian, para pelamar, tapi juga rekruter dan HRD yang bertugas melakukan proses seleksi. FYI, hal ini dirasa sangat-sangat menyebalkan. Tak terkecuali apa yang dialami oleh rekan saya.
Biar dapat gambaran persoalannya—kenapa hal ini juga sama menyebalkannya bagi rekruter—biar saya jabarkan di mana sebetulnya sesuatu yang membikin mangkel.
Proses recruitment itu panjang dan melelahkan
Pertama, pada dasarnya, proses perekrutan itu akan mengorbankan waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Biaya perekrutan dari screening kandidat melalui job portal, serangkaian alat tes, sampai deal-deal-an perkara gaji sekaligus benefit.
Konteksnya, kalau iklan lowongan kerja untuk suatu posisi sudah kadung ditayangkan di job portal, sudah pasti akan mengurangi cost/kredit untuk satu pemasangan iklan lowongan tersebut.
Kemudian dilanjut screening CV, lanjut interview, sampai psikotes. Semua sudah dilakukan. Sudah siap interview lanjutan dengan user. Atau bahkan sudah ada kandidat yang terpilih dan siap melaju ke tahap akhir. Ealah, tahu-tahu HRD dikabari, “Kandidat itu pending dulu, ya. Ada si A, nih. Kandidat bawaan Pak/Bu Bos divisi itu.”
Nah, siap-siap repot, deh. Perlu diketahui, sebagian Pak/Bu Bos memang menyerahkan segala proses sesuai prosedur perusahaan jika memberi referensi kandidat. Namun, FYI, sebagian lainnya tidak. Bahkan, cenderung memaksa. Mau sesuai atau nggak dengan kualifikasi, pokoknya harus-wajib diterima. Dengan embel-embel si kandidat bisa learning by doing. Parahnya sampai menjual kesedihan, “Kasihan dia, Bapak/Ibu rumah tangga. Butuh kerjaan.”
Hey, Bapak/Ibu Bos yang suka maksa masukin kandidat secara otomatis tanpa seleksi sesuai prosedur. Tolong, lah. Kalau konsepnya begitu, semua pengangguran di mata HRD ya sama. Kasihan juga. Sama-sama butuh kerjaan.
The Power of Orang Dalam yang bikin kacau
Kedua, realitasnya, terkadang HRD nggak berkutik. Selain masih butuh pemasukan, juga seringkali diingatkan oleh atasan sendiri, “Sudah, proses aja kandidat si Pak/Bu itu yang perintahnya nggak bisa dibantah.” Miris.
Meski sebagian lainnya bertahan dan tetap menjalankan proses sesuai prosedur dengan landasan: lagi butuh kandidat yang punya kemampuan sesuai kebutuhan perusahaan.
Ketiga, jika sudah kadung menginformasikan kepada kandidat yang mengikuti end to end proses dan tinggal tanda tangan kontrak, kemudian kandidat tersebut tersalip oleh kandidat titipan orang dalam. Ini betul-betul repot. HRD bakal merasa nggak enak dan ketar-ketir. Apalagi jika info seleksi tahap akhir sudah disampaikan kepada kandidat terpilih. Mau nggak mau, mesti dilakukan diskusi internal. Lagi-lagi, ada waktu, tenaga, dan pikiran ekstra yang dikorbankan.
Padahal, kalau mengikuti prosedur, saat mendapat kandidat sesuai kebutuhan, hanya sekali jalan saja.
Tidak bisa tidak. Dalam menyikapi persoalan yang diceritakan oleh rekan saya, barangkali antara HRD dan kandidat akan sama-sama sepakat. Bahwa, jika sudah ada kandidat kuat dari orang dalam, proses rekrutmen baiknya tidak perlu dilakukan lagi. Nggak perlu posting iklan lowongan kerja di job portal-screening CV-interview-psikotes-interview user, sampai menjalani tahap akhir. Mau cari kandidat cadangan atau hanya sekadar branding perusahaan? Eh.
Siapa tahu, keluh-kesah ini, bisa sampai kepada pemangku kebijakan di perusahaan. Sehingga, proses perekrutan dengan kasus serupa, bisa dipikir masak-masak lebih dulu. Biar nggak buang-buang budget perusahaan untuk hal yang nggak perlu. Di sisi lain, alih-alih mau branding dengan tetap melakukan proses walaupun sudah ada kandidat kuat dari orang dalam, yang ada malah sebaliknya. Branding perusahaan tercoreng hanya karena memaksakan proses yang menyebalkan.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengakuan Orang Dalam pada Seleksi CPNS 2021 atas Dugaan Manipulasi Nilai