Dikit-dikit ngeluh. Malu lho sama saudara-saudara kita yang ada di Halmahera sana.
Saya sering membaca artikel di Terminal Mojok yang berisikan keluhan. Ada yang mengeluh soal tetangga yang memutar sound keras-keras, Pertamina, Shell, jalan berlubang, sampai urinoir yang nggak punya salah apa-apa. Iya, ada lho yang sambat kalau nggak suka pipis di urinoir karena takut kecipratan air seninya sendiri.
Ya Tuhan, apa orang-orang ini nggak pernah tahu kalau ada saudara kita di luar Pulau Jawa yang bahkan belum memiliki fasilitas MCK yang baik? Jangankan ketemu urinoir, fasilitas MCK layak pun nggak banyak di sana. Lagian situ kan yang punya burung, masa nggak bisa mengatur kecepatan semburannya? Ojok ngalem, Rek! Saya nggak menyalahkan orang mengeluh, tapi mbok ya jangan kebacut.
Sebagai manusia yang nggak sekuat Ultraman, saya pun kadang mengeluh. Bahkan, banyak keluhan tersebut saya tuliskan di Terminal Mojok. Namun beberapa waktu lalu, saat sedang berada di Halmahera, Provinsi Maluku Utara, saya mulai merasa kalau keluhan saya dan orang lain yang tinggal di Jawa—yang kebetulan artikelnya di Terminal Mojok saya baca—terdengar sepele. Saya nggak ngomong kalian lemah. Saya hanya ingin bercerita jika di negara ini masih ada lho saudara kita yang nggak memiliki fasilitas yang kita keluhkan itu.
Daftar Isi
Pom bensin
Saya banyak membaca artikel tentang Pertamina, Shell, hingga Pertashop di Terminal Mojok. Beberapa di antaranya eyel-eyelan soal manakah yang lebih baik. Nggak salah juga, sih, kita yang memiliki banyak pilihan pom bensin memang berhak memilih yang terbaik.
Namun jika kita tinggal di Halmahera, keluhan dan perdebatan mana yang terbaik di antara Pertamina, Shell, atau AKR nggak bisa dilakukan. Sebab, di Halmahera hanya ada Pertamina. Itu pun jumlah pom dan ketersediaan bahan bakarnya terbatas. Di setiap kota kabupaten yang ada di Halmahera jumlah pom bensin tak lebih dari empat. Mana jam operasionalnya suka-suka mereka. Maksud saya, kalau malam kebanyakan sudah tutup.
Boro-boro mengeluhkan pelayanan petugasnya, kita datang ke pom bensin jam 5 sore nggak kehabisan bahan bakar saja sudah harus bersyukur. Hidup di sini kudu pintar memprediksi jarak tempuh dan kapasitas tangki. Kalau apes dan kehabisan bensin, jalannya nggak hanya puluhan meter, tapi bisa puluhan kilometer.
Baca halaman selanjutnya
Jalan berlubang dan nggak rata…
Jalan berlubang dan nggak rata
Saya sering mengeluhkan jalanan di Surabaya nggak rata. Kota sebesar Surabaya yang memiliki APBD 11 triliun per tahun, lha kok jalannya membuat pengendara motor sakit pinggang? Selain saya, ada banyak penulis Terminal Mojok yang mengeluhkan tentang jalan di bagian lain Pulau Jawa yang juga berlubang dan rusak. Ini sebenarnya keluhan yang berfaedah, harapannya pemerintah setempat melakukan perbaikan.
Namun, tinggal di Halmahera beberapa hari saja membuat sambatan saya tentang jalan nggak rata di Surabaya terdengar sepele. Di pulau terbesar di Maluku Utara ini, yang memiliki kekayaan alam luar biasa berupa tambang nikel dan emas, nggak semua jalannya beraspal. Jalan bagus hanya umum kita jumpai pada jalan trans atau lintas kabupaten (Kabupaten Halsel, Halbar, Halteng, Haltim, Halut).
Fyi, jalan rusak terbanyak bukan di Provinsi Lampung, Rek. Lampung itu berada di urutan ke-9. Maluku Utara yang notabene daerah kepulauan (802 pulau) justru memiliki jalan rusak lebih dari 400 kilometer, atau urutan ke-6 paling buruk di Indonesia. Jauh lebih parah dari Provinsi Lampung, kan?
Sebagai contoh, kalau di Pulau Jawa, kontraktor mau membangun tower, kita masih bisa menggunakan Avanza sebagai mobil operasional. Sementara kalau di Halmahera, setidaknya butuh Strada Triton mengingat beberapa ruas jalannya menyerupai lintasan trail.
Belanja di Indomaret atau Alfamaret yang lebih murah?
Keluhan lain yang populer di Terminal Mojok adalah tentang Indomaret dan Alfamart. Ada yang membandingkan harganya, membandingkan pelayanannya, dan ada pula yang merekomendasi produknya. Nah, masalah tersebut juga nggak bisa dikeluhan oleh orang Halmahera secara umum. Apa yang mau mereka bandingkan? Ketemu Indomaret dan Alfamart saja sudah alhamdulillah. Memang ada sih Indomaret, tapi jumlahnya bisa dihitung jari.
Persoalan harga juga begitu. Kalau saya bilang rokok Marlboro Gold Rp41ribu mahal, orang Halmahera tertawa. Di sana, harga rokok Marlboro sejenis bisa Rp43ribu, kalau apes ya mencapai Rp50 ribu. Lebay? Nggak, Gaes, memang bisa semahal itu.
Kebutuhan pokok juga demikian. Kalau kalian nggak percaya, coba cek di kemasan makanan atau minuman, biasanya ada tulisan harga di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa berbeda. Dalam kondisi tertentu, misalnya stok minim, perbedaan harganya bisa sangat jauh dan nggak ngotak.
Nggak memiliki kereta api
Beberapa waktu lalu, ramai tulisan yang membahas tentang kereta api di Madura. Saya nggak masalah dengan perdebatan tersebut. Sebuah pulau memang sebaiknya memiliki transportasi umum yang beragam.
Nah, di Pulau Halmahera (17.780 kilometer persegi) yang memiliki luas daratan lebih besar dari Pulau Madura (5.379 kilometer persegi) ini juga nggak punya kereta api. Wacana soal kereta api di sana pun nggak pernah saya dengar sama sekali. Boro-boro mau bahas rel kereta, jalan aspal saja belum merata.
Belanja online gratis ongkir hampir mustahil
Saya sering kesal karena belakangan ini ongkir di marketplace makin mahal. Agaknya nggak cuma saya yang mengeluhkan ongkir mahal tersebut, sebab di Terminal Mojok ada banyak keluhan serupa. Akan tetapi saat saya berada di Halmahera, keluhan tersebut terasa sepele.
Penduduk di sana jarang membeli barang apalagi makanan online via Shopee, Tokopedia, atau e-commerce lain. Bukan karena mereka miskin, tapi ongkirnya nggak ngotak, Bos. Boro-boro gratis ongkir, dapat ongkir dibawah Rp50 ribu atau nggak lebih mahal dari barang yang dibeli saja sudah bersyukur.
Saya pernah, sering malah, mengirim barang dari Surabaya ke Halmahera Selatan. Paling sering buku karena di sana nggak ada Gramedia, apalagi Mojok Store. Mengirim 4 buku seharga Rp300ribuan, tapi ongkirnya Rp180 ribuan, totalnya hampir Rp500ribu. Nyesek, kan?
Menariknya, meskipun warga sana nggak memiliki banyak pilihan seperti kita yang ada di Pulau Jawa, Maluku Utara didapuk BPS sebagai provinsi dengan penduduk paling bahagia di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut. Saya jadi bingung, mungkin memang penduduk di kepulauan ini memang memiliki kesabaran seluas Samudera Pasifik.
Sebenarnya masih banyak hal lainnya yang ingin saya ceritakan, tapi takut kepanjangan. Intinya, saya nggak menentang orang sambat, saya hanya ingin mengatakan jika apa yang kita keluhkan di Pulau Jawa bisa saja menjadi impian orang lain di luar Pulau Jawa.
Fasilitas publik seperti jalan, rumah sakit, sekolah, atau hal-hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Pulau Jawa memang perlu ditingkatkan, dan itu tugas pemerintah untuk merealisasikannya. Namun, kita pun perlu tahu kalau Indonesia ini nggak hanya Pulau Jawa. Sudah saatnya mereka yang hidup di luar Pulau Jawa memiliki semua fasilitas yang bisa kita miliki di Jawa, tak terkecuali pilihan untuk belanja barang dengan harga yang lebih murah.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Infrastruktur Tidak Merata Bukan Salah Warga Luar Jawa, tapi Salah Negara!