Pada mulanya Plato mendirikan Academia di sekitar Athena pada 387 SM. Tujuannya untuk memberi ruang berpikir bagi cendikiawan untuk berpikir bebas. Lalu pada 859 M, Fatimah al Fihri mendirikan Al Quaraouiyine yang menjadi universitas pemberi gelar tertua di dunia. Kini di abad ke-21, universitas melahirkan akademisi nggatheli macam Natya Shina dan pelaku pelecehan seksual berinisial MKMT.
Saya tidak bermaksud menyebut kualitas pendidikan tinggi melahirkan akademisi nggatheli. Namun, ada kecenderungan pendidikan tinggi makin erat dengan kultur abuse of power. Mungkin dua kasus di atas adalah contoh paling anyar di pembuka tahun 2022 ini. Sebenarnya masih banyak kasus serupa yang terjadi dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.
Kalau Anda tidak paham kasus apa yang terjadi, mari kita mulai dari Natya Shina. Blio adalah selebgram—jika itu bisa digolongkan sebagai pekerjaan—dan juga seorang dance cover. Beberapa waktu lalu, Natya Shina mendapat sebuah DM yang memintanya untuk menjadi joki UAS mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (PIHI). Langsung saja Natya Shina membagikan screenshoot DM tersebut sambil menekankan ia sebagai lulusan terbaik HI Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
Tidak berhenti sampai di situ, Natya Shina mengancam si pengirim DM untuk melaporkan ke jajaran jurusan HI sampai rektor Unpar. Tentu dengan menunjukkan bagaimana dia dekat dengan orang-orang besar Unpar. Dan tak lupa, Natya Shina membagikan screenshoot proses perundungannya.
Sementara itu, kasus MKMT lebih dulu terjadi pada tahun 2021. Bahkan 3 orang korban telah melakukan klarifikasi. MKMT yang seorang demisioner BEM Fakultas dan Universitas UMY ini ternyata sudah melakukan aksi bejat sejak 2018. Pihak rektorat UMY mengambil langkah tepat dengan memecat MKMT dan siap memberi dukungan moral pada korban. Setidaknya, UMY selangkah lebih maju dari kasus Kita Agni di salah satu kampus terbaik Indonesia itu.
Dua kasus ini hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus yang melibatkan abuse of power di dunia akademik. Mungkin lebih banyak kasus yang belum terungkap, entah terpendam selamanya atau menunggu bagai bom waktu.
Saya tidak akan bisa menyalahkan sistem pendidikan, baik sistem mahasiswa terbaik ataupun pimpinan organisasi. Memang nggatheli, tapi pada akhirnya bukan sistem secara utuh yang melahirkan Natya Shina dan MKMT. Kultur abuse of power bukan eksklusif di dalam dunia akademik. Namun, kultur ini nyata di dunia kelompok masyarakat terdidik ini.
Dunia akademik memang kental urusan strata sosial. Dari senioritas antarangkatan, sampai hubungan hierarkis dosen-mahasiswa dan anak organisasi-manusia yang muncul untuk kuliah saja. Makin aktif Anda di kampus, makin besar potensi Anda untuk mempermainkan posisi Anda sebagai privilese, bahkan di luar urusan organisasi.
Misal kasus Natya Shina. Posisi blio sebagai mahasiswa berprestasi dikombinasikan dengan urusan selebgram. Maka muncul normalisasi untuk merundung seseorang dengan memanfaatkan posisi dan koneksi di kampus. Apalagi ketika dikombinasikan dengan predikat selebgram yang jelas-jelas menjadi influence banyak orang. Maka perilaku Natya Shina dianggap normal.
Normalisasi ini menyebabkan dunia akademik ikut melanggengkan nepotisme, bahkan perkara masuk organisasi yang tidak ada profitnya perlu akrab dengan para senior. Saya sih bisa-bisa saja bercerita banyak perkara mental nepotisme ini. Tapi nepotisme memang satu hal kecil dari pola abuse of power ini.
Nepotisme ini juga melahirkan para aktivis cabul. Begitu pula dengan MKMT sebagai demisioner BEM. Posisi sosial sebagai “orang penting” di organisasi diejawantah sebagai alat untuk menguasai tubuh dan seksual seseorang. Relasi kekuasaan dalam organisasi ini dimanfaatkan sebagai cara eksploitasi seksual. Dengan manipulasi “dilindungi senior” sampai pemaksaan agar diterima menjadi cara mereka.
Selama dunia akademik masih memberi ruang untuk bermain hierarki sosial, maka makin banyak manusia seperti Natya Shina dan MKMT. Selama strata sosial akademisi masih menjadi alat bermain kekuasaan, maka pola abuse of power akan tetap langgeng sebagai hal normal. Dan saya yakin, Plato dan Fatimah al Fihri menangis melihat mimpi besar mereka menjadi alat dominasi yang dibenci.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi