Beberapa waktu lalu saya bersama teman-teman yang masih muda dan penuh ambisi duniawi bertamu ke rumah salah seorang orang kaya yang tajir melintir yang ada di desa kami. Selain banyak uang, aset tanah di mana-mana, rumah kos yang tak pernah sepi penyewa, kendaraan bejibun, ia juga amat pandai berbicara bak motivator yang dengan cukup sederhana membuat kagum para pendengarnya, termasuk kami.
Dalam kesempatan berbincang saat sedang bertamu, ada kata-kata yang membuat saya sempat terhipnotis. Mula-mula ia menarik nafas mendalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Dengan wajah yang seperti penuh penyesalan, ia berujar pelan kepada kami, “Oalah mas, ternyata punya harta segini banyaknya, rasanya biasa saja. Nggak perlu ngoyo-ngoyo dalam bekerja.”
Sekilas ketika mendengar kalimat itu, penuh dengan arti yang mulia. Jika bisa saya artikan, harta benda tidak memberikan kebahagiaan yang berarti bagi manusia. Jadi bekerjalah biasa-biasa saja, nggak perlu ngotot. Seolah ia memberikan gambaran bahwa harta benda yang banyak tidak memberikan nilai signifikan bagi kehidupan manusia.
Ini seperti nasihat yang baik, tapi sejatinya menyesatkan. Kenapa?
Daftar Isi
Paradoks yang malah bikin hidup makin rumit
Nasihat yang baik adalah nasihat yang pas dan sesuai dengan kondisi orang yang dinasihati. Sehingga nasihat itu bisa berjalan beriringan dengan kondisi tanpa memunculkan paradoks yang justru akan menambah kerumitan hidup.
Nabi Muhammad ketika ditanya oleh sahabatnya terkait ibadah apa yang paling utama dalam Islam, jawabannya berbeda-beda. Ada yang dijawab shalat di awal waktu, ada yang berbakti kepada orang tua, ada yang berbuat baik kepada tetangganya, dan lain sebagainya. Kenapa jawabannya berbeda-beda padahal pertanyaannya sama, yaitu apa amal ibadah yang paling utama? Apakah Rasulullah manusia yang mencla-mencle alias tidak konsisten? Tentu saja tidak!
Ah, dikit-dikit mengutip Rasulullah, kita kan tidak sedang meminta nasihat kepada manusia sehebat Rasulullah. Oke, kita sederhanakan jika ternyata mengutip Rasulullah dianggap padanan yang terlalu tinggi (jika tidak ingin dianggap utopis).
Nasihat tak sesuai konteks
Kita turunkan kepada level kiai, sebagai orang yang dianggap sering dimintai nasihat di akar rumput. Ada seorang kepala desa sowan kepada kiai ingin meminta nasihat, apa hal utama yang harus saya kerjakan kiai? Sang kiai menjawab, “Berbuatlah adil terhadap masyarakat dan jangan korupsi.”
Lalu datang lagi seorang bapak-bapak usia 50 tahun datang kepada kiai untuk meminta nasihat. Apa hal utama yang harus saya kerjakan kiai? Sang kiai menjawab, “Perbanyaklah amal baik dan jangan tinggalkan shalat.”
Tak lama berselang, datang lagi seorang pemuda dengan tubuh gegap, bertanya dengan pertanyaan yang sama. Sang kiai menjawab, “Bekerjalah, jangan bermalas-malasan serta berbaktilah kepada orang tuamu.”
Kembali kepada orang kaya yang saya temui di atas. Kenapa nasihat yang ia sampaikan kepada saya dan teman-teman, saya anggap sesat? Karena nasihat yang ia sampaikan tidak sesuai dengan konteks atau kondisi objek yang dinasihati.
Bayangkan saja, jika nasihat itu kami lakukan tentu saja pemuda seperti kami akan leyeh-leyeh dan enggan ngotot dalam bekerja meraih duniawi. Mengalir saja ketika bekerja, jangan banyak inovasi, nikmatilah kehidupan tanpa harus dikejar deadline. Nggak perlu susah-susah memahami algoritma media sosial untuk jualan produkmu, packing-packing barang dagangan diurus pas mood bagus. Padahal tanda utama pemuda adalah beringas dan bekerja bak memiliki tenaga kuda, bukan?
Omongan orang kaya emang kadang… ah sudahlah
Padahal jiwa pemuda seperti yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama dalam lagunya, memiliki semangat berapi-api. Seharusnya nasihat yang tepat adalah nasihat yang mampu memaksimalkan segenap potensi yang dimiliki seorang pemuda. Semisal, bekerjalah dengan segenap jiwa, kerahkan seluruh kreativitas, panca indra, sumber daya untuk meraih kekayaan sebanyak mungkin, mumpung tubuhmu masih kuat dan beringas.
Nasihat bapak orang kaya di atas jamak kita dengar di kehidupan masyarakat kita ketika ada segerombolan pemuda mencoba mengambil inspirasi dari orang tersebut. Berharap bisa menjadi kaya seperti dirinya, eh malah dapat nasihat yang menyesatkan.
Mungkin sekilas nasihat itu terkesan amat heroik karena orang kaya itu bisa menunjukkan sikap tidak cinta duniawi kepada para pemuda. Sikap yang amat sulit dimiliki oleh orang kaya. Tapi malah sebaliknya, ibarat target bidikan, ia seharusnya melempar anak panah ke arah timur malah dilempar ke arah barat, zonk! Dengan tafsir yang sedikit nakal, bapak kaya itu sejatinya ingin bilang, “jangan menjadi kaya, cukup aku saja.” Hahaha… modyar!
Penulis: Septian Pribadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Santai, Kita Semua Bisa Punya Privilege Kok