Nasib Anarko: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga pula

Nasib Anarko: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga pula terminal mojok.co

Nasib Anarko: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga pula terminal mojok.co

Dulu saya pernah menonton film Prancis yang berjudul Les Anarchistes. Film bertema drama-politik ini mengisahkan seorang polisi bernama Jean yang ditugaskan oleh instansinya untuk menyusup ke dalam suatu perkumpulan anarkis.

Tugasnya yakni untuk mengawasi dan membuka tabiat para anarkis ini kepada pihak kepolisian. Namun, Jean justru masuk lebih jauh ke dalam lingkaran anarkis yang membuatnya bimbang dan dilema untuk mengkhianati instansinya atau mengkhianati persahabatan dalam circle anarkis tersebut. Apalagi Jean terlanjur mencintai salah satu anarkis bernama Judith.

Namun, sampai di akhir film tidak ada tanda-tanda kemenangan anarkis untuk sebuah upaya pemberontakan terhadap sistem, kapitalisme, dan orang-orang borjuis. Ini sama dengan para anarkis di dunia nyata yang nasibnya sungguh ironis.

Mungkin cita-cita mereka yang sangat ilusif atau memang sistem yang mereka lawan ini begitu kuat sehingga mereka tidak berdaya. Atau malah ideologi mereka sudah terlalu usang dan terpinggirkan?

Hal ini semakin diperparah ketika stigma kekerasan dan kerusuhan selalu dikaitkan dengan anarkisme. Dalam aksi 13/10 yang digelar oleh Aliansi Nasional Anti Komunis dan gabungan ormas yang berujung rusuh di Jakarta, Kapolda menyebut bahwa anak-anak STM yang terlibat dalam aksi demo merupakan massa anarko/anarkis.

Kemudian Aksi Budaya di Yogyakarta juga mengusung tema “menolak kekerasan dan anarkisme” pascakerusuhan demo di Malioboro yang menuntut pembatalan UU Cipta Kerja. Polisi juga menduga bahwa aktor yang memprovokasi sehingga terjadi kerusuhan merupakan sekelompok anarko.

Saya juga melihat video pada demo kemarin di Jakarta yang menuntut hal serupa. Ada satu video yang menunjukkan seseorang yang berbadan tegap, berotot ala orang-orang gym, dan tas selempang ala abang jago, sedang menumpuk road barrier untuk dibakar.

Namun, saya tidak yakin kalau seorang anarkis menghabiskan uangnya untuk sekadar disiplin tubuh demi proses menuju mitos tubuh ideal dengan bergantung pada pusat kebugaran seperti gym. Boro-boro pergi nge-gym, sohibun anarko saja memilih hidup dalam ketidakmapanan, kok.

Dalam setiap kerusuhan demonstrasi, wacana yang ada selalu mengkambing hitamkan kelompok anarko. Mereka sudah susah, ditambah lagi dengan narasi yang diusung media maupun masyarakat yang belum sepenuhnya memahami anarkisme.

Pihak kepolisian menuduh bahwa aksi demo kemarin ditunggangi oleh kelompok anarko. Bahkan SBY pun juga difitnah mendanai aksi demo. Apakah SBY termasuk ke dalam sohibun anarko?

Saya rasa, wacana anarko sendiri selalu dikonstruksikan oleh media sebagai tokoh jahat atau dalang dari segala kekacauan maupun kerusuhan. Sekiranya hal inilah yang menyebabkan pemahaman sebagian besar orang terkait kelompok anarko sebagai tukang gawe rusuh. Ketika orang mendengar kata anarkis, maka mereka memahami bahwa telah terjadi suatu kerusuhan.

Hal ini hampir mirip ketika orde baru membangun wacana anti-komunis melalui media massa, buku, maupun film yang bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan. Padahal mereka hanya ingin menutupi kebiadaban mereka saat membantai setengah juta warga yang tidak bersalah—yang dituduh sebagai simpatisan PKI dan dibunuh tanpa diadili. Kita harus jeli melihat bagaimana wacana dan pengetahuan selalu diproduksi oleh yang berkuasa.

Kita ini seperti hidup di dunia matriks, di mana sistem pengetahuan kita diinstal oleh yang berkuasa. Siapa yang berkuasa? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kuasa untuk mengontrol media. Apalagi media pemerintah.

Sebelumnya kita harus memahami anarko terlebih dulu. Anarko atau anarkisme adalah ideologi yang mengusung prinsip masyarakat tanpa kelas. Anarkisme menekankan pentingnya kesadaran kolektif untuk hidup secara bersama-sama, persaudaraan, dan sukarela—dan yang pasti tanpa kepemimpinan, hierarki, struktur birokrasi, dan pemerintahan.

Mereka juga meniadakan kepemilikan pribadi atas properti. Mereka senantiasa melawan penghisapan kapitalisme, otoritas rezim yang sewenang-wenang, sistem yang menindas serta memperjuangkan pembebasan bagi kaum-kaum yang tertindas.

Anarkisme adalah ideologi penuh cinta, mengedepankan kebebasan dan memegang konsep gotong-royong. Mereka juga mengedepankan musyawarah bersama untuk menyelesaikan suatu masalah.

Tokoh yang pertama kali melabeli dirinya sebagai anarkis adalah Proudhon. Kemudian tokoh yang tidak asing bagi para anarko lainnya adalah Bakunin.

Kalian bisa mencari bukunya di toko buku terdekat. Kalau malas, kalian bisa search namanya di Google. Mencari gambar Anya Geraldine di Google saja mudah, apalagi hanya mencari identitas Proudhon atau Bakunin. Hehehe.

Terlepas dari itu, dalam aksi demonstrasi kemarin, memang sekiranya ada orang-orang yang sengaja menyusup ke dalam barisan demonstran dan memprovokasi sehingga terjadi kerusuhan. Dari kerusuhan itu media selalu membangun wacana bahwa anarkisme sama dengan tindakan kerusuhan.

Kemudian polisi yang menangkap sekelompok pemuda, entah itu pelajar, mahasiswa, pekerja ataupun pengangguran, menudingnya sebagai sohibun anarko. Dari sini dapat dilihat logika yang membangun konsep “musuh bersama”.

Terkadang memang ada orang-orang yang mengusung simbol anarkisme sebagai bentuk perlawanan, tapi belum memahami substansi anarkisme itu sendiri. Nanti jika terjadi kekacauan jatuhnya malah digoreng sama media dan jadi kambing hitam atas aksi kerusuhan yang ada.

Jika saya boleh suuzan, saya akan berpikiran lain. Bisa saja pihak yang berkuasa sengaja mendanai sekelompok orang untuk menyusup ke dalam barisan demonstran dan sengaja melakukan provokasi. Tentunya hal ini bertujuan untuk mengaburkan substansi perjuangan yang akhirnya menyebabkan masyarakat menjadi antipati terhadap para demonstran.

Jika kerusuhan selalu dikaitkan dengan anarkis, apakah kita boleh menyebut bahwa peristiwa reformasi ditunggangi oleh para anarkis? Atau pelajar STM yang sering tawuran itu adalah sekumpulan anarko?

Sudahlah. Para anarkis ini sudah susah. Cita-cita ideologi anarkisme sendiri terlalu ilusif dan sulit untuk diwujudkan di dalam negeri ini. Apalagi mereka selalu dituduh sebagai biang keladi pada setiap kerusuhan. Dasar nasib para sohibun anarko, sudah jatuh tertimpa tangga pula!

BACA JUGA Kalo Kampung Saya Ga Lagi Dilokdon, Pengen Rasanya Lari ke Jalan Ketawa Keras-keras Baca Berita Ini dan tulisan Rizki Muhammad Iqbal lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini

Exit mobile version