Membaca tulisan Mas Aditya Yudistira tentang nasi uduk beberapa hari lalu, memantik saya untuk menulis kuliner Betawi lainnya. Kuliner yang akan saya maksud masih saudaranya nasi uduk juga yakni nasi ulam. Saat saya cari di Terminal Mojok sepertinya belum ada yang mengulasnya.
Baiklah, it is my time to shine bright mama lemon.
Meski kuliner asli Betawi, namun eksistensi nasi ulam kalah populer tinimbang nasi uduk, bahkan nasi kebuli. Misalnya saja saat ini sedang semarak acara memperingati Maulid Nabi di Jakarta. Rata-rata penyelenggara maulid besar di Jakarta menyediakan menu nasi kebuli jika masih keturunan Arab Yaman.
Begitu pula orang Betawi sendiri. Mereka lebih umum menyediakan nasi kebuli dan nasi uduk kepada para jama’ah maulid. Saya pribadi menduga kuliner ini memang sajian sepinggan yang biasa disantap saat sarapan pagi hari, bukan untuk sajian makan siang atau makan malam seperti nasi uduk atau nasi kebuli.
Kata “ulam”, menurut buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa dan Cerita (2016), berasal dari racikan semacam serundeng dari kelapa parut yang disebut “ulam” oleh masyarakat Betawi. Saat diaduk dengan nasi putih panas, cita rasa gurih dan agak pedas dari ulam akan larut dan menyatu. Bumbu utamanya memang kelapa parut dan ebi yang disangrai, serta bawang putih. Untuk melengkapi kelezatannya, bisa diberi tambahan topping daun kemangi, bawang goreng, kacang tanah tabur. Sambal terasi, sambal tumis, atau sambal kacang akan membuat nasi ulam menjadi paripurna kenikmatannya saat disantap.
Masih dari sumber yang sama, sesungguhnya ada dua versi, yakni kering dan basah. Kalau versi kering hanya terdiri dari nasi, ulam, mentimun, kemangi, sambal kacang, dan emping goreng kriuk. Meskipun demikian gurihnya tetap melekat. Ada pula nasi ulam kering yang disajikan dengan topping kacang hijau mentah yang direndam semalaman sebagai ulam. Lauk tambahannya sangat khas seperti semur, telur balado, empal goreng, dendeng, tempe goreng, dan perkedel.
Sedangkan versi yang basah bisa ditemui di “Misjaya”, yang bertempat di Jalan Kemenangan III, kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat yang berdiri sejak 1964. Konon resepnya warisan dari keturunan Tionghoa. Tak heran ada yang mengatakan kuliner ini merupakan sajian Betawi peranakan Tionghoa. Nasi ulam versi basah disajikan dengan siraman semur tahu-kentang. Toppingnya adalah bihun goreng, telur dadar, cumi asin goreng dan taburan kacang tanah serta daun kemangi tentunya.
Saat ini, kuliner ini sudah agak susah ditemukan, beda dengan nasi kebuli atau nasi uduk. Bahkan nasi uduk selalu jadi pilihan saat membeli pecel lele misalnya. Kita akan ditawari pilihan nasi putih biasa atau nasi uduk. Bisa dikatakan nasib kuliner ini hampir terlupakan dari acara hajatan di Jakarta yang menjadi asal muasalnya. Padahal harganya tak semahal nasi kebuli, umumnya rata-rata Rp10.000. Kecuali nambah porsi atau nambah topping, wqwqwq.
Beberapa tempat lain yang (masih) menjual nasi ulam selain Misjaya adalah Kedai Nasi Ulam Ibu Sur masih di Jakarta Barat, tepatnya di Tj. Duren Utara, Grogol Petamburan. Menu asli nasi ulam seperti bihun goreng, semur tahu, serundeng, dan emping adalah topping khas yang ditemukan di sini. Tapi, jangan kuatir jika butuh tambahan lauk lain, tersedia pula telur dadar dan dendeng sapi.
Jika masih penasaran, kalian bisa mencoba kuliner ini di wilayah Jakarta Barat. Coba ke Palm City, Rukan Taman Surya 5, Blok GG-4 Nomor 28, Jalan Taman Surya 5, Pegadungan, kalian akan menemukan kedai Nasi Ulam Taman Surya dengan kelezatan tak kalah dibanding Nasi Ulam Ibu Sur.
Tempat lainnya yang populer adalah kedai Ibu Yoyo, bergeser ke Jakarta Selatan. Tepatnya di Jalan Karet Pedurenan, Gang Dogol, Setiabudi, Karet Kuningan. Semur tahu adalah kelengkapan wajib di kedai ini.
Sebenarnya jika kita menyusuri gang-gang di Jakarta ada saja sih yang menjual nasi ulam. Kuliner ini sebenarnya nggak susah untuk dibuat, dibandingkan dengan nasi kebuli. Cuman, untuk yang bertahan, ya nggak banyak.
Demikianlah sedikit ulasan saya tentang kuliner ini. Barangkali Saudara para pembaca ada yang merekomendasikan kedai kuliner ini di daerah masing-masing, tulis saja ya di bagian komentar artikel ini. Ya, siapa tahu saya mampir. Gasss~
Sumber gambar: Wikimedia Commons karya Gunawan Kartapranata.