Ada museum menarik di ujung Jalan Malioboro, Yogyakarta. Museum Benteng Vredeburg, namanya. Bangunan yang pertama kali dibuat pada tahun 1760 ini menjadi tempat pertama yang mengawali perjalanan saya ke museum lainnya kala masih berada di Kota Pelajar.
Pergi ke museum sedikit membosankan, I should say. Nggak ada kedai kopi atau minuman boba di setiap ujung koridor. Kalau lapar, nggak ada food court di lantai paling atas yang letaknya di sebelah wahana permainan. Nggak ada KFC—makanan paling enak sedunia. Nggak ada pula salon langganan yang bisa buat tempat istirahat selagi kepala kita dipijet-pijet waktu lagi keramas.
Museum nggak menawarkan bioskop. Sebaliknya, ia menghadirkan diorama dan banyak narasi tertulis soal hal-hal yang terjadi bertahun-tahun lalu. Banyak orang bete duluan mengingat hal ini. Ha gimana; inget-inget soal ujian yang barusan selesai aja bikin kesel, apalagi malah inget-inget hal-hal yang nggak pernah kita alami secara langsung?
Dalam buku Da Vinci Code, nama Museum Louvre disebut. Berbekal nama, saya baru tahu kalau tempat ini ini meraup tujuh juta pengunjung setiap tahunnya, membuat saya menyadari bahwa pergi ke museum memang cukup seksi bagi sebagian orang. Sayangnya, berjuta-juta orang pula di dunia ini agaknya bakal lebih memilih rebahan daripada keluar rumah—apalagi kalau seprainya baru ganti dan selimutnya hangat setengah mati, plus di luar sedang hujan deras. Yah, ngapain juga macet-macetan di jalan kalau kita bisa rebahan di kasur sambil scrolling lini masa media sosial???
Seorang teman berpesan pada saya agar tidak mengatur janjian bertemu di mal. Bosan, katanya. Sontak, saya menyarankan museum sebagai tempat pertemuan kami, menyusul beberapa alasan kenapa nggak ada salahnya kita sesekali mengunjungi tempat ini.
Pertama, jauh lebih menyenangkan menghabiskan uang untuk mengalami sebuah pengalaman daripada mendapatkan sebuah barang baru.
Pendapat ini bukan asumsi belaka, melainkan merupakan simpulan dari studi yang diadakan oleh Harris Interactive. Pengalaman, dalam penelitian ini, disebutkan mampu memunculkan nilai-nilai positif yang memicu kebahagiaan. Selagi kita mengingat-ingat perjalanan ke tempat ini, psikis kita cenderung menghilangkan memori negatif. Pergi ke museum juga dapat memunculkan identitas sosial yang tidak bisa kita dapatkan dari sekadar membeli barang tertentu.
Kedua, museum adalah tempat yang cocok-cocok aja untuk bertemu teman, keluarga, bahkan pacar sekalipun.
Satu hari di tempat ini bisa menjadi satu hari penuh kedekatan ekstra dengan orang-orang di sekelilingmu. Kamu nggak perlu takut bakal kehabisan topik pembicaraan di sana karena kamu akan menemukan banyak hal baru untuk didiskusikan. Dan, nggak, kamu nggak perlu menjadikan waktu-waktu di tempat ini sebagai lombat cepat-cepatan sampai di pintu keluar. Kamu dan partner-mu bisa saling menunggu di sebuah pajangan untuk membaca keterangan tertulis, lalu melempar pendapat satu sama lain atas sebuah tampilan.
Saran: Kamu nggak perlu berlama-lama berada di toko oleh-oleh di akhir museum hanya untuk berujung pada awkward panjang karena kamu berpikir terlalu keras apakah kamu harus membeli sesuatu untuk teman atau kekasihmu.
Udah. Nggak usah. Daripada bingung sendiri, ye kan?
Ketiga, museum nggak bikin kamu merasa sendirian.
Selain karena sebagian dari kita datang ke tempat ini memang dengan partner, museum itu sendiri juaranya membuat pengunjung nggak merasa alone-alone banget. Ada studi lain yang menunjukkan bahwa orang-orang cenderung mengunjungi tempat ini dalam masa-masa sulit. Alasannya? Tentu karena mereka ingin merasa terhubung dengan apa yang mereka hargai, misalnya menghargai almamater sendiri di UNY setelah mengetahui bahwa dulunya ia merupakan bagian dari UGM—seperti informasi yang ditemukan di Vredeburg. Hahaha.
Keempat, museum ada di mana-mana.
Daripada meromantisisasi kenangan yang cuma bikin sakit hati atau ketakutan sama cerita-cerita hantu yang kamu temui di internet, tak ada salahnya kalau kamu membuka mata lebih lebar dan mulai menambahkan keyword museum di pencarian browser-mu. Dari data Asosiasi Museum Indonesia dan Kemendagri, sampai tahun 2016 lalu ada 428 hingga 436 museum di Indonesia, tersebar di banyak pulau dan provinsi. Jumlah ini memang nggak seberapa kalau dibandingkan dengan jumlah pusat perbelanjaan yang mencapai angka 700, sih. Tapi, perlu kamu ingat sesuatu: museum punya hal yang nggak dimiliki mal manapun, yaitu…
…tiket masuk museum yang bisa difoto buat Instagram Story pakai tulisan “kencan edukatif!” di pinggirnya.
Yah, gimana lagi, kadang orang-orang tetap perlu konten di medsos e.
BACA JUGA Museum yang Sepi Pengunjung dan Terlupakan atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.