Waktu awal kuliah, cukup banyak teman dari daerah asal yang menanyakan kampus UIN tempat saya menuntut ilmu. Kira-kira begini:
“Kamu kuliah di mana, Rief?”
“Di UIN.”
“UIN mana? Jakarta atau Bandung?”
“Walisongo.” Saya mulai menjawab dengan perasaan janggal.
“Itu di Jakarta atau Bandung?”
“UIN Walisongo itu di Semarang, bukan Jakarta atau Bandung, cuk!” Kali ini saya menjawab dengan nada agak tinggi.
Sejak percakapan tersebut, saya makin sadar bahwa masyarakat, pada umumnya, lebih sering mengucapkan nama kampus + asal kotanya ketimbang menyebutkan nama resmi. Misalnya, UIN Sunan Kalijaga, lebih akrab disebut UIN Jogja.
Nggak ada yang salah dengan kebiasaan itu. Sampai kemudian saya membaca sebuah daftar kampus UIN terbaik di Indonesia dari sebuah media ternama. Media tersebut menggunakan pola penyebutan kampus + nama kota, bukan nama resminya.
Temuan itu membuat saya jadi penasaran dan terjadilah sebuah riset keci. Dan, inilah hasilnya.
Lebih mudah diucapkan
Lebih mudah menyebut UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri atau UIN Purwokerto? Ya begitulah gambarannya. Lebih mudah mengucapkan nama kota ketimbang nama resmi yang “menggandeng” nama tokoh.
Lebih populer nama kotanya
Kira-kira lebih populer UIN Datokarama atau Kota Palu? Nah, makanya….
Kebiasaan
Betul, alasannya sangat klasik: sudah menjadi kebiasaan. Mungkin, kebiasaan ini dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kampus. Nah, karena dirasa lebih mudah untuk diucapkan (dan mungkin ditulis), kebiasaan itu menjadi semacam “budaya”, yaitu budaya penyebutan nama kampus UIN.
Nggak tau tokoh yang dijadikan nama uin
Ada akronim yang cukup unik dan populer di lingkungan civitas akademika. Kurang lebih begini: Jas Hijau. Kepanjangannya: Jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama. Sayangnya, akronim tersebut hanya menjadi sebatas akronim saja.
Faktanya, masih banyak yang nggak tahu jasa ulama di Indonesia. Ya gimana mau tahu kalau dari nama saja banyak yang nggak kenal. Misalnya, Syekh Muhammad Jamil Jambek. Ada yang tahu beliau siapa? Tanpa membuka Google atau Wikipedia, pasti nggak ada yang tahu. Beliau adalah salah satu ulama termasyhur di tanah Minangkabau.
Jumlah kampus terlalu banyak
Mengutip Detik, saat ini, ada 29 kampus UIN di Indonesia. Itu jumlah terbaru setelah ada lima kampus IAIN yang berubah jadi UIN. Detik menulis seperti ini:
- Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar
- Universitas Islam Negeri Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi
- Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan
- Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan
- Universitas Islam Negeri Salatiga.
Perhatikan nomor lima. Iya, pakai nama kota, bukan nama ulama. Nama sebelumnya yang dipakai adalah IAIN Salatiga. Mungkin, untuk menyingkat waktu dan memudahkan penyebutan, dipailah nama UIN Salatiga. Mungkin lho ya….
Intinya, sekarang, kampusnya jadi banyak. Dan, pastinya, jadi sulit untuk dihapalkan.
Nama terlalu panjang
Coba baca ini: UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary dan UIN Sultan Aji Muhammad Idris. Itu nama resmi dan bagi beberapa orang, terlalu panjang untuk disebutkan. Apalagi kalau dibandingkan dengan kampus lain seperti Universitas Indonesia, Universitas Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, hal di atas baik adanya. Nggak ada salahnya cara pengucapakan itu. Saya hanya memaparkan beberapa temuan saja terkait penyebutan nama kampus + kota yang kini lebih akrab di telinga kita.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rekomendasi Tempat Nongkrong di Kampus buat Maba UIN Jogja