Apabila diminta memilih transportasi jarak jauh, saya akan memilih kereta. Ya, sedari kecil, saya memang erat dengan perjalanan kereta api. Bapak saya berasal dari Solo, sementara ibu dari Jogja. Makanya, perjalanan KRL Jogja Solo (Kereta Prameks pada saat itu) dari Stasiun Tugu Yogyakarta menjadi pilihan untuk mudik. Baik itu dalam rangka perayaan Imlek maupun lebaran.
Nah, saat ini, Prameks telah berganti menjadi Kereta Rel Listrik (KRL Jogja Solo). Rute perjalanan kereta ini nyaris sama seperti pendahulunya, yakni dari Stasiun Tugu Yogyakarta sampai Stasiun Palur.
Selain lebih nyaman karena tidak ada pedagang asongan, penumpang juga tidak perlu duduk berdesakan di lantai. KRL juga lebih praktis karena tinggal tap-tap kartu saja tanpa perlu membawa tiket fisik.
Berkat berbagai kemudahan dan peningkatan kualitas, jumlah peminat KRL sangat besar. Makanya, Stasiun Tugu Yogyakarta hampir selalu penuh oleh penumpang KRL. Mulai dari pekerja komuter yang melimpah jumlahnya, hingga muda-mudi yang hobinya piknik pada musim libur tertentu.
Daftar Isi
Fenomena “Zombie Apocalypse” di Stasiun Tugu Yogyakarta
Saking tingginya peminat KRL Jogja Solo, tidak heran kalau Stasiun Tugu Yogyakarta selalu penuh sesak. Hingga akhirnya muncul fenomena “Zombie Apocalypse” di Stasiun Tugu.
Istilah “Zombie Apocalypse” merujuk kepada ratusan penumpang yang menumpuk di sisi peron kereta. Ketika KRL datang, mereka akan berebut, lari sekuat tenaga, saling senggol, demi terangkut kereta.
Situasinya memang mengerikan, berdesakan, dan saling dorong. Bahkan, saya kira, berdesakan di Stasiun Tugu Yogyakarta dan berebut tempat duduk di KRL Jogja Solo adalah bentuk gladi resik sebelum menghadapi chaos di Stasiun Manggarai Jakarta.
Ketika mengajak salah seorang teman untuk pergi ke Solo, kami menyatu dengan ratusan penumpang yang berbaris di belakang garis batas. Situasi tersebut membuat saya harus terus menggenggam tangan teman saya. Hanya demi memastikan kami tidak terpisah. Sepatu saya bahkan hampir lepas saat berlari mengincar gerbong belakang, benar-benar nyaris bertelanjang kaki selama di Solo!
Penambahan jam perjalanan KRL Jogja Solo
Fenomena “Zombie Apocalypse” di Stasiun Tugu Yogyakarta kemudian seolah-olah jadi hal yang lumrah. Padahal, itu tanda bahwa perjalanan KRL Jogja Solo ini butuh evaluasi, lho.
Menurut saya, Stasiun Tugu Yogyakarta dan KRL Jogja Solo sudah perlu mempertimbangkan penambahan jam perjalanan. Hal ini dikarenakan waktu keberangkatan KRL selisihnya tiap satu jam. Selisih waktu tanpa penambahan jadwal ini melahirkan penumpukan penumpang.
Penambahan gerbong kereta agar tak lagi jadi “ikan pepes”
Okelah, kalau KRL Jogja Solo memang belum bisa menambah jam perjalanan. Tapi, bisa nggak kalau mencoba opsi penambahan gerbong?
Setiap hari, penumpang KRL Jogja Solo itu selalu bertambah. Bukan hanya mereka yang bekerja komuter saja, tetapi pada saat ada acara tertentu, baik di Jogja maupun Solo, dan musim liburan seperti ini, penumpukan penumpang itu semakin menjadi.
Kalau dulu saya bisa bersantai di gerbong paling belakang karena dihuni sedikit penumpang. Kini, gerbong belakang juga selalu penuh. Bahkan penumpangnya bisa berdiri sepanjang perjalanan!
Saking capeknya dengan kondisi KRL Jogja Solo yang seperti ini, saya pernah bertanya ke teman-teman, tentang pencapaian tertingginya sebagai penumpang KRL. Dan, tanpa disangka, kita sepakat pada satu pencapaian: terlatih tidur berdiri selama perjalanan.
Kira-kira itulah problematika yang terus dihadapi oleh penumpang KRL di Stasiun Tugu Yogyakarta sehari-hari. Harga tiket Rp8 ribu per orang memang terbilang murah, tapi bukan berarti kenyamanan penumpang selamanya harus dikorbankan.
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Cara Pintar Naik KRL Jogja-Solo supaya Dapat Tempat Duduk Nyaman
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.