Saya rasa, tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada Honda PCX. Kecuali hatimu memang terbuat dari batu plus seleramu buruk, kau pasti demen dengan motor ini.
Sudah 4 tahun saya menjelajah dunia bersama motor Honda PCX. Dalam kurun waktu tersebut, tak sekali pun saya kepikiran untuk menjual motor ini dan ganti merek lain. Kalau melirik motor lain sih, pernah. Saya sempat kepincut Aerox, dan jelas masih mengagumi keindahan Honda CBR 150 R. Tapi menyudahi kebersamaan bersama PCX, tak pernah terpikir.
Tiap melihat motor saya, saya makin kepincut. Desain bodi depannya bagi saya salah satu yang terindah. Saya juga suka desain motor ini yang panjang, plus stang yang bagi saya nyaman. Apalagi melihat Honda PCX putih, alamak, indahnya. Sayangnya punya saya berwarna hitam. Kenapa tak memilih warna putih? Well, dua motor saya yang dimaling, kebetulan saya yang milih warna, dan dua-duanya berlawanan dengan keinginan bapak. Akhirnya ya, saya lebih baik manut pemilik modal kan.
Yang lebih bagus ketimbang Honda PCX? Banyaaak
Saya tahu betul, ada banyak motor lain di luar sana yang punya kualitas lebih baik ketimbang motor Honda PCX. Wong PCX yang lebih baik aja ada kok. Tapi lebih baik bukan berarti lebih cocok. Dan bagi saya ya, yang paling cocok ya Honda PCX.
Oh, jangan kira saya nggak pernah pakai motor lain lho ya. Selama 12 tahun lebih merantau ke Jogja, sudah 7 motor saya gunakan. Saya memulai petualangan di Jogja dengan Vixion, lanjut ke Suzuki Spin, tak lama kemudian menggunakan Jupiter MX. Beberapa waktu kemudian, saya menggunakan Satria FU, motor bajingan yang nggak ada nikmatnya sama sekali itu. Beralih ke Honda CBR 150 yang dimaling, lalu ke motor sejuta umat, Honda Beat. Barulah saya menggunakan Honda PCX.
Jadi, jelas, saya lumayan otoritatif dalam membandingkan motor. Kalian yang seumur-umur cuman pake Beat nggak usah bacotin saya. Oke, lanjut.
Tiap minggu, saya berkendara minimal 200 kilometer. Awal minggu berangkat ke Jogja, akhir minggu pulang ke Wonogiri. Berdasar map, jarak kantor dengan rumah itu 100 kilometer. Dan sekalipun, saya nggak pernah merasa capek menggunakan motor ini. Kecuali kondisi jalanan sedang bajingan, saya sih tak pernah merasa letih-letih amat.
Pun kondisi jalan Klaten yang buruknya minta ampun ini masih terasa mendingan karena saya naik motor yang nyaman. Coba saya masih pake Satria FU, mending tak tinggal neng Bayat kui motor, sumpah.
Lagi-lagi, banyak motor yang lebih baik. Cuma, ada hal yang bikin saya tetap tak bisa untuk tidak cinta pada motor Honda PCX. Dan alasannya amat personal.
Baca halaman selanjutnya
Honda PCX, saksi perjalanan hidup