Selama Kepemilikan Tanah Masih Dikuasai Segelintir Orang, Konflik Berdarah Akan Terus Lahir dan Dunia Makin Getir

Selama Kepemilikan Tanah Masih Dikuasai Segelintir Orang, Konflik Berdarah Akan Terus Lahir dan Dunia Makin Getir dago elos

Selama Kepemilikan Tanah Masih Dikuasai Segelintir Orang, Konflik Berdarah Akan Terus Lahir dan Dunia Makin Getir (Pixabay.com)

Semenjak tragedi Dago Elos makin viral, banyak orang bertanya tentang kepemilikan tanah. Mulai muncul suara agar tanah dan ruang hidup tidak lagi dimiliki secara personal, tapi dikelola negara dan hanya memberikan hak guna pada masyarakat. Terkesan solutif sih, tapi apa iya? Apakah masalah agraria selama ini karena tanah bukan jadi milik negara?

Saya pikir, ide hak guna bukan solusi sesungguhnya. Jangka pendek sih iya, tapi jelas bukan solusi jangka panjang. Masalah agraria akan tetap abadi, karena masalah pertanahan tidak memandang siapa pemiliknya. Karena sumber masalahnya bukan masalah kepemilikan tanah semata. Tapi juga bagaimana kita memandang tanah dan ruang hidup.

Sejarah panjang kepemilikan tanah

Sejak manusia mulai menetap dan berkebun, “rasa” memiliki tanah mulai muncul. Website ini menjelaskan bagaimana tahapan manusia mulai mengenal kepemilikan lahan. Dari berkebun, manusia mulai membangun pengetahuan dan hubungan emosional pada lahan yang ditempati. Saat itu, belum ada penguasaan lahan.

Fase berikutnya ketika muncul kekuasaan antarmanusia. Sejarah lahirnya kekuasaan ini akan lebih panjang kalau harus dijelaskan. Tapi kemampuan untuk menguasai lahan ini melahirkan sistem relasi antara lahan dan manusia. Mulai muncul upaya melindungi lahan yang telah diduduki. Pada akhirnya, kepemilikan tanah menjadi awal lahirnya negara.

Setelah cikal bakal negara ini tumbuh, mulai muncul model kepemilikan privat. Tanah mulai bisa dimiliki dengan perorangan dengan transaksi. Entah dengan memberikan jasa seperti prajurit bayaran, atau pengolahan lahan dengan bagi hasil. Metode ini terjadi hampir di seluruh dunia.

Namun perjalanan sampai tanah mulai dimiliki secara legal masih panjang. Manusia masih menerapkan model “rebutan,” terutama ketika era kolonialisme. Siapa yang duluan menduduki lahan, akan dinyatakan sebagai pemilik sah. Meskipun harus mengusir penduduk asli yang punya sistem penggunaan lahan sendiri.

Kepemilikan legal sendiri diperkirakan baru muncul pada abad ke-17, dipelopori oleh Inggris dan Amerika Serikat. Nah, Inggris termasuk merintis model lahan dan properti sebagai investasi. Salah satu pelopornya adalah Nicholas Barbon, raja properti dan asuransi. Pasca Perang Dunia I, lahir banyak negara demokrasi yang mendukung kepemilikan lahan privat.

Beberapa kerajaan yang masih eksis ikut terbawa gelombang ini. Mereka mempertahankan sebagian lahan sebagai kepemilikan privat. Contohnya ya kerajaan di daerah istimewa itu.

Masalahnya bukan dimiliki siapa, tapi karena dimiliki

Dari sejarah tadi, sebenarnya tidak sulit memahami makna lahan dalam masyarakat kita. Tanah tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup dan alat produksi. Bukan sebagai alas rumah dan tempat bertani, tapi menjadi alat kuasa. Gampangnya, “Lu punya tanah, lu punya kuasa!” Nggak lucu? Emang, sama seperti dampak relasi kuasa tanah dan kehidupan kita.

Ada banyak penelitian tentang kepemilikan tanah dengan relasi kuasa. Semuanya mengerucut pada kemampuan pemilik properti (baik tanah maupun bangunan) dalam menentukan kehidupan orang yang terdampak. Baik kepemilikan privat maupun negara, semua akan memunculkan kelompok rentan yang tidak punya akses ke lahan tersebut.

Jika masa lalu kepemilikan tanah dikendalikan kekuatan militer, kini ditentukan legalitas. Hasilnya sih sama saja, sama-sama buruk. Pemilik lahan bisa bebas merebut dan memanfaatkan lahan yang dimiliki. Tentu tanpa peduli dengan individu lain yang mungkin lebih membutuhkan lahan tersebut.

Kasusnya akan sangat beragam, dari pemblokiran akses sampai penggusuran massal. Belum lagi dampak tidak langsung seperti kelangkaan properti dan krisis sosial pada pemenuhan kebutuhan primer. Dago Elos hanyalah satu dari ribuan kejadian perampasan ruang hidup dengan dalih kepemilikan.

Saya tidak berlebihan ketika menyebut ribuan. Pada 2022 saja, BPN menyebut ada 8111 kasus sengketa lahan yang ditangani. Ini hanya yang ditangani langsung oleh BPN! Belum lagi kasus yang tidak tertangkap radar BPN. Tidak hanya sengketa, tapi muncul 212 letusan konflik agraria. Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan penyelesaian kasus ini sering berakhir stagnasi. Jangan lupa, konflik ini juga melibatkan negara baik sebagai pemilik lahan atau aparat penegak hukum.

Mungkin Anda susah menerima pendapat ini, apalagi kepemilikan lahan adalah hal yang terlanjur akrab dan normal. Tapi Anda tidak bisa tutup mata. Masalahnya, apakah kita bisa bebas dari konflik agraria dan perebutan lahan?

Solusi skala besar dan masalah yang kelewat ruwet

“Kalau kamu tidak suka kepemilikan lahan, ya biarkan lahanmu bebas dipakai!”

Ini adalah suara cangkeman yang sering saya terima. Maklum sih, karena memahami masalah kepemilikan tanah memang ruwet. Anda tidak bisa menawarkan solusi skala kecil macam membebaskan lahan pribadi demi masyarakat. Bisa-bisa, Anda malah kena bumerang dan lahan akan direbut secara legal. Lalu apa solusinya?

Sebenarnya manusia tidak berdiam diri dengan masalah tanah ini. Beberapa wilayah menawarkan solusi berupa communal land. Yaitu lahan dimiliki oleh komunal dan dimanfaatkan secara maksimal. Tanah dibebaskan dari nilai properti dan aset. Agak ndakik-ndakik sih, apalagi bicara tanah di Jogja. Tapi beberapa komunal mencoba solusi ini dan sejauh ini berhasil.

Pertama adalah Zimbabwe. Mereka menggunakan konsep Tribal Trust Lands (TTL’s). Konsepnya mirip seperti tanah kas desa, tapi dengan cakupan dan pemanfaatan lebih luas. Tanah dikelola setiap suku dengan kesepakatan tentang luasan wilayah. Fungsi utama memang pertanian, tapi TTL’s juga menyangkut pemukiman dan infrastruktur penunjang hidup. Sayang, konsep TTL’s ini mulai mengalami penurunan dengan privatisasi lahan yang menerjang.

Kedua adalah Chiapas. Daerah otonom “tanpa negara” di Mexico ini mengelola wilayahnya sebagai Communal Land. Fungsi tanah benar-benar dikembalikan, dan nilai semacam investasi dibuang. Meskipun terus berdiri dan otonom, tapi desakan Mexico dan privatisasi swasta terus terjadi secara merangkak. Bedanya, masyarakat Chiapas memang siap perang. Anda bisa mengenal Chiapas dari artikel saya beberapa tahun lalu.

Masalah kepemilikan tanah memang benar-benar bikin susah

Communal Land juga masih dilakukan dalam skala kecil di berbagai belahan dunia. Namun desakan kekuatan luar memang keras. Privatisasi tanah terus menggerus model pengelolaan lahan untuk bersama ini. Maka saya pikir, sistem ini memang butuh skala besar, di mana desakan privatisasi maupun kepemilikan negara bisa ditekan dengan kekuatan nyaris seimbang. Belum lagi isu overpopulasi yang dianggap menjadi sumber masalah agraria.

Maka saya bilang solusi ini agak ndakik-ndakik. Terlalu berat dilakukan di tengah tatanan yang melegalkan kepemilikan ini. Solutif, tapi angel. Meskipun konsep ini menjawab masalah agraria yang tidak pernah selesai.

Mungkin konsep agraria alternatif macam communal land akan muncul dan diapresiasi. Tapi selama tanah masih dinilai sebagai aset dan properti, konflik agraria akan terus terjadi. Dan banyak orang akan terus terusir serta jadi tunawisma. Meskipun ada hamparan tanah bersemak belukar yang menganggur, tapi gimana lagi, lha wong dimiliki seseorang atau sebuah entitas. Dan artinya, Dago Elos jilid dua, tiga, empat, akan terjadi nanti di kemudian hari. 

Mungkin kemarin Dago Elos, besok-besok, bisa saja rumah Anda.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Lahan Sengketa di Tanah Istimewa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version