Sore itu, riuh di Lapangan Baskara Jaya tidak bisa dihindarkan. Akan diadakan final piala paling bergengsi di Tomia akhir dekade 90-an. Tim yang berjuang dan akhirnya menapak final juga bukan main-main. Dua klub yang sudah tidak bikin kaget jika akhirnya mencapai final bahkan menjadi juara sekalipun. Ada Bajo Club yang mencoba peruntungannya untuk mempertahankan gelar juara mereka tahun lalu. Ini tahun ketiga perhelatan Fefa Cup dan mereka telah menjuarainya setahun lalu. Lawan mereka adalah Tim Barado. Sebuah tim dari ujung timur Pulau Tomia yang tidak kalah punya catatan yang mentereng. Mereka mampu menumbangkan tim-tim besar. Tidak mustahil rasanya jika Tim Barado diberi julukan “Giant Killer” saat itu.
Saya bersama ayah saya duduk di salah satu pinggir gawang yang menurut prediksi ayah saya akan dijadikan gawang kesebelasan Bajo Club, tim kebanggaan kami semua, di paruh babak pertama. Di sebuh pohon telah ada baliho bertuliskan “Tim Barado Bangkit!” Sebuah yel-yel yang oleh saya yang masih umur sembilan tahun saat itu tidak paham maksudnya.
“Tim Barado bangkit? Paling juga kalah lagi ntar.” Kalimat itu pelan namun saya yang duduk dipangku ayah saya mendengar dengan sangat jelas. Para calon penonton yang duduk di dekat ayah saya mengiyakan. Padahal mereka tidak harus bersepakat. Toh analisis mengatakan bahwa segala sesuatu masih bisa terjadi. Itu jika bicara perihal kekuatan, strategi, fisik, bahkan taktik. Belum lagi bicara sihir, yang bisa saja diselipkan di mana.
Saya hanya bisa mengingat samar-samar kejadian bertahun-tahun yang lalu itu. Yang paling membekas adalah bahwa semua orang kampung saya yang berada di pesisir di seberang pulau Tomia itu berangkat mendukung tim kesayangan mereka. Ya, hampir seluruh penduduk kampung saya. Bukan karena Bajo Club mampu menembus final untuk kedua kalinya, namun arena tradisi tret-tet-tet ini semacam kewajiban yang fardhu ‘ain bagi seluruh warga kampung..
Fanatisme suporter di Tomia, terutama di kampung saya adalah hal yang mutlak adanya. Mereka tidak perlu belajar, menonton aksi, atau membaca artikel tentang cara suporter klub-klub besar mendukung kebanggaan mereka. Suporter Bajo Club adalah loyalis yang bisa dibilang menganggap sepak bola setara agama, kadang malah lebih. Gimana nggak saya bilang begitu? Jika Bajo Club sudah berlaga, pada hari Jumat misalnya, Jumatan hanyalah seremonial. Selebihnya, masjid bahkan akan mengumumkan laga Bajo Club. Belum lagi jika laga dilangsungkan pada hari selain Jumat, orang bahkan tidak akan menghiraukan panggilan azan. Panggilan untuk menonton dan mendukung tim kebanggaan punya derajat lebih tinggi.
Pun setelah Jumatan, segala macam persiapan para suporter melebihi persiapan seorang yang akan Jumatan atau mau kondangan. Bagi yang cowok, mandi, potong kumis/jenggot, potong kuku, pakai wewangian. Pun sama yang dilakukan cewek, berdandan dan segala tetek bengeknya. Perahu disiapkan untuk mengangkut pemain dan suporter. Persiapan kapal ini, saking riuhnya bahkan bisa melebihi persiapan dan arak-arakan penyambutan bupati atau gubernur sekalipun. Kalo presiden sih, nggak tahu saya. Kan Presiden belum pernah sampai ke tempat saya barang sekali.
Pada dasarnya, suporter Bajo Club tidak pernah bermusuhan atau menyatakan permusuhan dengan suporter Tim Barado yang akan jadi lawan berat di final tahun itu. Satu-satunya musuh bebuyutan suporter dan para pemain Bajo Club dan klub dari kampung saya yang eksis setelahnya hanyalah klub dari Kelurahan Onemay di pusat Kecamatan Tomia. Rivalitas klub dari daerah ini, menjadi yang paling besar dan paling awet dan bertahan hingga saat ini.
Namun, demi memenuhi gengsi bernama loyalitas, tidak akan kendor semangat menyemangati tim kebanggaan. Tidak akan terhenti hanya karena kita tidak punya perseteruan antar suporter atau antar pemain dengan Tim Barado. Hari itu adalah harinya dan kami wajib menang, apapun keadaannya, bagaimanapun caranya. Dari olok-olok dan “booo” kepada pemain lawan, melalui strategi sepak bola negatif bahkan sampai bantuan sihir sekalipun. Toh yang di seberang sebagai lawan juga melakukan hal yang sama demi merebut kemenangan, dan mengangkat trofi tentu saja.
Ini adalah final, dan suporter kedua tim harap-harap cemas dengan hasil laga tim kebanggaan mereka masing-masing. Apakah “Bajo Club memenangi Fefa Cup sebagai gelar kedua mereka”. Atau justru “Tim Barado menghentikan dominasi Bajo Club dan membawa trofi Fefa Cup ke Timu”.
BACA JUGA Andai Spider-Man Adalah Orang Wakatobi dan tulisan Taufik lainnya.