Bisakah manusia merdeka dari hasrat duniawi dan menjadi diri sendiri tanpa rasa iri?
Sore itu, ketika beberapa bocah saling panggul dalam lomba panjat pinang yang digelar di sepetak sawah kosong, dari atas pohon mangga Misbah justru tampak tak begitu antusias. Padahal perlombaan menyambut kemerdekaan sore itu berlangsung sangat meriah. Makin riuh karena ditingkahi oleh teriakan ibu-ibu yang heboh dan histeris, juga gelak tawa bapak-bapak manakala bocah-bocah pemanjat itu berkali-kali melorot dan gagal menyentuh puncak.
Kang Salim yang kebetulan duduk di ranting sebelah Misbah kemudian iseng menjawil perut sampingnya. Misbah berjingkat lantaran geli bercampur kaget. Seketika lamunannya buyar dan kini dia malah mengalihkan pandangan ke arah gerombolan kedasih yang terbang menuju selatan.
“Mikirn apa tho, Mis? Mikirn negara, ta?” Goda Kang Salim. “Mikirin kenapa negara ini masih gini-gini aja padahal udah 75 tahun merdeka? Atau mikirn apa tho, kamu ini, Mis? Bukannya ikut gembira sama warga yang lain, kamu malah cemberut sendiri.”
Misbah tak menggubris celetukan Kang Salim. Kali ini matanya malah mengarah pada seekor ayam yang mematuki bebijian yang tercecer di jalan setapak. Lalu menatap kosong langit yang mulai memerah jingga.
“Mis, nyebut, Mis. Masa kamu kesurupan penghuni pohon mangga ini?”
“Yeee, saya ini gini-gini sregep ngaji, Kang. Jadi nggak gampang kesurupan.” Akhirnya Misbah bersuara juga, yang lentas membuat Kang Salim tersenyum lebar. Tanda lega karena kawan baiknya itu masih waras.
“Sikapmu aneh. Nggak seperti biasanya,” ujar Kang Salim. “Sore ini kamu kelihatan lesu. Lagi banyak pikiran apa? Kalau pakai bahasanya anak-anak sekarang, apa itu namanya, over…over…”
“Overthinking?”
“Nah itu dia. Masa sore-sore gini overthinking tho, Mis?”
Misbah tercenung sejenak ketika melihat seekor capung melintas perisis di depannya. Sementara Kang Salim ikut tergelak ketika menyaksikan dari petak sawah itu, lagi-lagi, bocah-bocah pemanjat itu harus jatuh saling tindih.
“Kang, pernah nggak sampeyan membayangkan, seandainya saja ada reinkarnasi, kira-kira sampeyan mau jadi apa?”
Mendengar pertanyaan Misbah, Kang Salim malah mengernyitkan dahi.
“Kalau saya sih, Kang, pengin jadi burung,” ucap Misbah tanpa menunggu jawaban dari Kang Salim. “Kayaknya merdeka banget gitu. Bisa terbang ke mana-mana. Tanpa beban. Kita kalau mau ke mana-mana kan harus punya duit dulu, harus ngurus paspor dulu, ah ribet dah.”
“Itu kan pikiranmu, Mis. Ya siapa tahu malah si burung itu ngerasa dia sangat tidak merdeka. Lah gimana, walaupun bisa terbang bebas, tapi dia tetep harus waspada kalau sewaktu-waktu ada peluru pemburu yang mengenai sayapnya. Terus si burung berpikir, betapa merdeka jadi manusia, bisa berbuat sesuka hatinya terhadap makhluk-makhluk lain.”
Misbah terlonjak. Kemudian dia kembali berkata, “Kalau begitu, saya mau jadi ayam saja. Merdeka banget dia. Kita manusia harus susah payah, pontang-panting buat nyari makan. Eh dia mah bangun tidur kalau laper ya tinggal mengais-ngais aja di pekarangan rumah, di jalan-jalan setapak. Dan nggak terbebani dengan tanggungjawab buat ngasih makan anak-istri.”
“Hahaha. Merdeka dari mana? Wong sewaktu-waktu dia harus disembelih buat jadi opor, kok,” sangkal Kang Salim. “Nggak usah jadi burung, ayam, atau yang lain-lain seperti dalam isi kepalamu, Mis. Kalau kamu pengin hidup tanpa beban, maka merdekakanlah pikiranmu dari keinginan untuk menjadi sesuatu di luar dirimu.”
“Bisa sampeyan perjelas, Kang?”
“Ya setialah dengan dirimu saat ini, Mis. Kalau kamu malah mencoba menjadi sesuatu di luar dirimu, justru itulah yang membuatmu menderita dan selalu merasa tak merdeka,” jawab Kang Salim sedikit menggebu.
“Contoh. Cicak itu kan kodratnya merayap di dinding. Nah, kalau suatu hari dia overthinking dan malah mencoba terbang karena iri sama laron, ya dia malah kendat, tho. Jatuh ke lantai.”
“Begitu juga saya sebagai manusia ya harus berpikir yang manusia-manusia saja ya, Kang. Sebab misalnya saya pengin jadi burung, sementara saya nggak punya sayap, bisa-bisa saya malah edan sendiri. Gitu ya, Kang?”
“Persis. Jangan sampai kamu terjajah sama pikiran-pikiran yang membuat kamu sumpek sendiri menjalani hidup. Merdekakanlah.”
“Caranya, Kang?”
“Ya nikmati saja peranmu sekarang ini jadi apa. Kamu dikasih peran jadi manusia, yaudah nikmati saja peranmu jadi manusia. Nggak usah angen-angen jadi burung lah, ayam lah. Kamu dikasih peran jadi petani, yaudah itu nikmati saja. Tanpa harus iri sama pejabat atau pegawai kantoran.”
“Nah itu , Kang. Kadang saya emang suka iri sama orang-orang yang lebih superior dari kita,” sambung Misbah. “Pernah berpikir, enak kali ya jadi kiai, disegani banyak orang. Atau enak kali ya jadi pejabat, duitnya banyak. Dan seterusnya.”
“Ah padahal ya, Mis, kalau dipikir-pikir, jadi orang-orang dalam pikiranmu itu sebenernya banyak nggak enaknya. Malah lebih enak kita yang biasa-biasa saja ini.”
Kang Salim berhenti sejenak ketika melihat bocah-bocah pemanjat itu akhirnya berhasil meraih satu per satu hadiah, setelah akhirnya ada yang berhasil sampai ke puncak.
“Misalnya, jadi kiai. Oke, jadi kiai itu disegani banyak orang. Tapi tanggungjawabnya juga berat banget karena segala ucapan dan perilakunya dijadikan panutan. Keliru sedikit saja, bisa runyam masalahnya. Belum lagi nanti pas di akhirat harus bertanggungjawab di hadapan Gusti Allah atas apa-apa yang pernah diajarkan ke umat.”
“Iya ya, Kang. Sementara kita jauh lebih gampang. Karena kita nggak kepikiran harus hati-hati dan jaga imej kayak pak kiai. Karena toh kita nggak dianut masyarakat luas. Bahkan ada gojekan, ntar misalnya pas di akhirat kita diinterogasi sama malaikat, kita tinggal mengkambinghitamkan pak kiai dengan bilang, ‘Lah saya begini ini diajari sama pak kiai, og.’ Dan kita pun bebas dari hisab. Sementara beban pak kiai makin berat, hahaha.”
“Nah, itu kamu paham, Mis. Atau misalnya juga jadi orang yang banyak duit. Ini juga ruwet, Mis. Karena punya tanggungjawab moral. Misalnya kita kelihatan sedekah cuma sedikit, pasti kena cibir, ah masa orang kaya sedekahnya cuma seuprit. Dan gara-gara punya duit banyak pula, kita secara nggak langsung juga jadi cageran dan paling banyak nombok. Malah repot, tho? Sering jadi tempat utangan.”
“Saya juga inget ada gojekan kayak gini, orang kaya itu hisabnya ruwet, karena ditanya macem-macem soal kekayaannya. Sementara orang miskin, lah mau diinterogasi apa? Wong duit aja nggak punya.”
Keduanya sama-sama tergelak dari atas pohon mangga. Sementara satu per satu warga mulai meninggalkan arena perlombaan.
“Dan kalau mau ngomongin yang agak jeru lagi, Mis, agar hidup kita ini tanpa beban, kita harus peparek ke Gusti Allah. Maksudnya mengorbitkan diri dalam pusaran Gusti Allah. Melakukan segala sesuatu atas dasar neriman dengan apa pun pemberian Allah. Itulah kemerdekaan sejati.”
“Dan keinginan-keinginan duniawi kita adalah penjajah yang membelenggu dan harus kita enyahkan ya, Kang? Agar kita sampai pada kemerdekaan sejati itu?”
“Betul, Mis. Seperti kata Ibnu Athaillah, ‘Bagaimana engkau bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan, kalau engkau terbelenggu oleh keinginan-keinginanmu sendiri? Oleh ego dan ambisimu sendiri?’ Ibarat kata Tuhan itu ada di atas sana. Nah saat kita berusaha untuk meraihnya, kaki-kaki kita ternyata terikat dan tertarik ke bawah oleh beban-beban seperti kekayaan, jabatan, citra sosial, yang menjejali pikiran dan hidup kita.”
“Sementara untuk mencapai Tuhan, kita harus mengosongkan diri, meniada, menjadi bukan siapa-siapa selain Dia sebagai sangkan paraning dumadhi.”
“Tapi, apakah itu artinya kita nggak boleh punya hasrat duniawi, Kang?” Sanggah Misbah. “Kalau kita harus setia jadi manusia, punya hasrat duniawi itu kan manusiawi banget tho, Kang?”
Sejenak Kang Salim hanya membatu, untuk kemudian menjawab, “Boleh-boleh saja. Yang nggak boleh kan kalau kita membiarkan hasrat-hasrat itu menjajah pikiran kita. Seolah menjadi prioritas yang harus kita raih. Karena itulah yang akhirnya membuat kita tersiksa sendiri, Mis.”
Setelah terdengar kumandang azan magrib dari corong-corong musala desa, keduanya pun memutuskan untuk turun dari pohon mangga dan melenggang pulang.
Selama dalam perjalanan pulang keduanya hampir tak saling bicara. Hingga kemudian, ketika sampai rumah, tatkala Kang Salim hendak saja masuk kamar mandi, tiba-tiba Misbah mencegat Kang Salim sembari berujar, “Sekarang saya tahu alasan lain kenapa sampeyan terkesan santuy banget dalam banyak hal. Termasuk dalam kematian.”
Mendengar itu, Kang salim agak kaget.
“Sebab, sampeyan sudah merdeka dari pikiran-pikiran yang menakutkan soal kematian.”
“Hahaha kok malah jadi ngelantur gini, Mis,” timpal Kang Salim. “Tapi gini, selain yang pernah saya paparkan tempo waktu, kematian itu bagi saya ya malah berkah tho, Mis. Karena dengan mati itu artinya potensi untuk terus berbuat dosa akhirnya terputus. Akhirnya catatan buruk kita berhenti sampai di situ. Jadi bagi saya, justru orang yang selalu berdoa agar umurnya panjang, mereka ini adalah orang-orang yang pikirannya masih terjajah dan menolak menuju kemerdekaan yang sejati.”
Tanpa menunggu Misbah merespons balik, Kang Salim langsung masuk ke kamar mandi. Dan Misbah hanya menatap keheranan pintu kamar mandi yang sudah tertutup itu.
*Rujukan: Menjadi Manusia Rohani (Ulil Abshar Abdalla), dan diolah dari penjelasan Cak Nun dan Gus Baha.
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.