Menyiksa Diri dari Bali ke Jepang Bersama AirAsia, Maskapai LCC Terbaik di Dunia

Menyiksa Diri dari Bali ke Jepang Bersama AirAsia, Maskapai LCC Terbaik di Dunia

Menyiksa Diri dari Bali ke Jepang Bersama AirAsia, Maskapai LCC Terbaik di Dunia (Unsplash.com)

Sering bepergian naik AirAsia dan akrab dengan delay-nya bikin saya jemawa kalau saya bakalan baik-baik saja naik maskapai LCC terbaik di dunia ini dari Bali ke Tokyo!

AirAsia kembali dinobatkan sebagai maskapai low cost carrier (LCC) terbaik di dunia versi Skytrax. Ini bukan kali pertama AirAsia mendapatkan penghargaan tersebut, melainkan sudah ke-13 kalinya secara berturut-turut. Boleh dibilang, AirAsia adalah rajanya maskapai low budget di muka bumi ini.

Harga tiket yang murah, awak kabin yang cekatan, rute yang banyak, dan pesawat yang terlihat bersih cum terawat menjadi alasan banyak orang menilai AirAsia secara positif. Meskipun memiliki reputasi yang cukup baik, nyatanya perjalanan bersama AirAsia tak melulu menyenangkan.

AirAsia membuat saya akrab dengan jadwal penerbangan yang molor dan bertemu nasi kotak. Kalau ada maskapai delay sampai lebih dari satu jam biasanya penumpang diberi cemilan, kalau beruntung ya nasi kotak yang mengenyangkan.

Berteman dengan AirAsia, berteman dengan delay

Saya biasanya naik AirAsia bersama teman-teman ketika hendak nonton MotoGP di Sepang, Malaysia. Tiket AirAsia, terutama yang menuju Malaysia, memang terkenal paling murah dibandingkan maskapai LCC lain.

Nah, selama naik AirAsia dari Bandara Juanda menuju Bandara KLIA, kami sering mengalami delay. Meski kerap delay, kami tetap saja mengulangi naik AirAsia lagi dan lagi. Maklum, di mata orang yang isi kantongnya pas-pasan kayak saya dan teman-teman, uang bisa lebih berharga ketimbang waktu.

Badan tersiksa selama 7 jam

Merasa sudah mengenal AirAsia dengan baik, saya menjadi jemawa dan memutuskan membeli tiket AirAsia untuk rute penerbangan panjang dari Bali ke Tokyo yang berjarak sekitar 5.500 kilometer. Jarak sejauh itu akan memakan waktu sekitar tujuh jam dengan penerbangan langsung tanpa transit sama sekali.

Penerbangan panjang saya dengan AirAsia waktu itu menggunakan pesawat Airbus A330-300 dengan jumlah penumpang lebih dari 100 orang. Saya kebetulan mendapatkan posisi kursi di bagian tengah, dekat sayap pesawat, dan memilih window seat dengan tambahan biaya. Menyadari kalau penerbangan Bali ke Jepang akan membutuhkan waktu yang lama, saya juga memesan pre-book meal.

Kabin pesawat AirAsia yang kursinya berwarna gelap, nggak begitu empuk, hanya dilengkapi sabuk pengaman dan tombol recline tanpa memiliki headrest yang sebelumnya nggak pernah saya keluhkan justru menjadi momok dalam penerbangan jarak jauh. Kepala yang bersandar pada kursi tanpa headrest membuat leher mudah capek dan rasanya kemeng. Setiap kali ketiduran, saya hanya memiliki dua kemungkinan: terbentur dengan jendela kalau kepala miring ke kiri atau terbentur bahu penumpang lain ketika miring ke kanan.

Jarak antarkursi AirAsia yang nggak begitu lebar membuat saya nggak bisa leluasa mendorong kursinya ke belakang. Otomatis saya kesulitan mendapatkan posisi tidur yang enak. Ternyata kursi AirAsia yang nggak begitu tebal itu—ketika digunakan untuk penerbangan jarak jauh—bisa membuat punggung saya berdemonstrasi dan menuntut untuk segera dipijat. Menyiksa sekali.

Baca halaman selanjutnya

Makanannya kok telat ya?

Makanan yang terlambat

Ketika melakukan penerbangan domestik jarak sedang (empat jam di pesawat) dari Surabaya ke Ternate, saya sering memesan pre-book meal. Biasanya, makanan tersebut akan diberikan di tengah-tengah perjalanan.

Berbekal pengalaman tersebut, saya berasumsi kalau AirAsia juga akan membagikan makan tepat di tengah-tengah perjalanan. Ternyata saya keliru, makanan saya diberikan sekitar satu jam sebelum pesawat landing. Benar-benar lama sampai saya bertanya ke awak kabinnya, apakah saya boleh meminta makanannya terlebih dahulu karena sangat lapar.

Menu yang saya pesan adalah uncle chin (nasi pulen yang gurih disajikan dengan ayam bakar disertai saus sambal dan kecap jahe). Ini adalah menu favorit saya setiap kali menggunakan AirAsia, sebab rasanya enak. Makanan yang enak ini lumayan mengobati kejengkelan saya. Andai makanannya nggak enak, pasti saya makin darah tinggi.

Turbulensi berulang di AirAsia

Sebanarnya ini bukan salah AirAsia, sih, namun turbulensi memperburuk pengalaman terbang saya bersama AirAsia dari Bali ke Jepang. Beberapa kali terdengar bunyi dan lampu kenakan sabuk pengaman membuat saya ingin segera turun dari pesawat.

Biasanya kalau ada turbulensi ringan (saya masih melihat awak kabin berjalan di area kabin) situasi tersebut nggak begitu membuat khawatir. Namun, kala itu awak kabinnya benar-benar duduk di kursi masing-masing dan pesawatnya terasa seperti diguncang. Saya merapal doa apa saja yang terlintas di kepala dan istighfar tanpa berhenti. Dosa-dosa yang pernah saya lakukan langsung muncul diingatkan dan membuat batin ini menderita.

Semua siksaan tersebut rasanya sedikit mereda ketika pilot mengumumkan kalau sebentar lagi pesawat akan landing. Sayangnya, proses landing-nya pun terasa agak kasar. Saya tetap berusaha positive thinking, barangkali efek cuaca yang kurang baik di Tokyo.

Pada akhirnya, sebaik-baiknya maskapai AirAsia dengan segala prestasinya, melakukan penerbangan di kelas ekonomi dengan maskapai LCC terbaik di dunia tetap bukan pilihan yang menarik untuk dicoba. Kecuali, Anda memang masih muda dan tahan banting.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA AirAsia yang Ikut Memeriahkan Suasana dengan Kontes Foto di Dalam Pesawat.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version