Sering bepergian naik AirAsia dan akrab dengan delay-nya bikin saya jemawa kalau saya bakalan baik-baik saja naik maskapai LCC terbaik di dunia ini dari Bali ke Tokyo!
AirAsia kembali dinobatkan sebagai maskapai low cost carrier (LCC) terbaik di dunia versi Skytrax. Ini bukan kali pertama AirAsia mendapatkan penghargaan tersebut, melainkan sudah ke-13 kalinya secara berturut-turut. Boleh dibilang, AirAsia adalah rajanya maskapai low budget di muka bumi ini.
Harga tiket yang murah, awak kabin yang cekatan, rute yang banyak, dan pesawat yang terlihat bersih cum terawat menjadi alasan banyak orang menilai AirAsia secara positif. Meskipun memiliki reputasi yang cukup baik, nyatanya perjalanan bersama AirAsia tak melulu menyenangkan.
AirAsia membuat saya akrab dengan jadwal penerbangan yang molor dan bertemu nasi kotak. Kalau ada maskapai delay sampai lebih dari satu jam biasanya penumpang diberi cemilan, kalau beruntung ya nasi kotak yang mengenyangkan.
Berteman dengan AirAsia, berteman dengan delay
Saya biasanya naik AirAsia bersama teman-teman ketika hendak nonton MotoGP di Sepang, Malaysia. Tiket AirAsia, terutama yang menuju Malaysia, memang terkenal paling murah dibandingkan maskapai LCC lain.
Nah, selama naik AirAsia dari Bandara Juanda menuju Bandara KLIA, kami sering mengalami delay. Meski kerap delay, kami tetap saja mengulangi naik AirAsia lagi dan lagi. Maklum, di mata orang yang isi kantongnya pas-pasan kayak saya dan teman-teman, uang bisa lebih berharga ketimbang waktu.
Badan tersiksa selama 7 jam
Merasa sudah mengenal AirAsia dengan baik, saya menjadi jemawa dan memutuskan membeli tiket AirAsia untuk rute penerbangan panjang dari Bali ke Tokyo yang berjarak sekitar 5.500 kilometer. Jarak sejauh itu akan memakan waktu sekitar tujuh jam dengan penerbangan langsung tanpa transit sama sekali.
Penerbangan panjang saya dengan AirAsia waktu itu menggunakan pesawat Airbus A330-300 dengan jumlah penumpang lebih dari 100 orang. Saya kebetulan mendapatkan posisi kursi di bagian tengah, dekat sayap pesawat, dan memilih window seat dengan tambahan biaya. Menyadari kalau penerbangan Bali ke Jepang akan membutuhkan waktu yang lama, saya juga memesan pre-book meal.
Kabin pesawat AirAsia yang kursinya berwarna gelap, nggak begitu empuk, hanya dilengkapi sabuk pengaman dan tombol recline tanpa memiliki headrest yang sebelumnya nggak pernah saya keluhkan justru menjadi momok dalam penerbangan jarak jauh. Kepala yang bersandar pada kursi tanpa headrest membuat leher mudah capek dan rasanya kemeng. Setiap kali ketiduran, saya hanya memiliki dua kemungkinan: terbentur dengan jendela kalau kepala miring ke kiri atau terbentur bahu penumpang lain ketika miring ke kanan.
Jarak antarkursi AirAsia yang nggak begitu lebar membuat saya nggak bisa leluasa mendorong kursinya ke belakang. Otomatis saya kesulitan mendapatkan posisi tidur yang enak. Ternyata kursi AirAsia yang nggak begitu tebal itu—ketika digunakan untuk penerbangan jarak jauh—bisa membuat punggung saya berdemonstrasi dan menuntut untuk segera dipijat. Menyiksa sekali.
Baca halaman selanjutnya