Jika ada sesuatu yang viral, pasti semua ikut-ikutan. Lagu “Ojo Dibandingke” adalah salah satunya. Lagu karya Abah Lala yang viral saat dibawakan Farel Prayoga ini menjadi buah bibir. Apalagi saat dibawakan dalam rangkaian acara memperingati HUT Republik Indonesia ke-75. Dan semenjak itu, lagu ini jadi tidak asik lagi.
Bukan menyalahkan pemerintah yang sering bikin kebahagiaan rakyat jadi nggak asik. Kali ini saya menunjuk beberapa warganet yang sok ndakik-ndakik mengupas lagu ini. Ada akun yang menuding lagu “Ojo Dibandingke” sebagai citra hubungan manipulatif. Alasannya, lagu ini dianggap playing victim dan mengandalkan cinta serta kejujuran sebagai senjata saat kalah saing.
Sebenarnya, saya sih tidak ambil pusing dengan opini di atas. Tapi, ada yang perlu dipahami sebelum mencoba berargumen dengan bahasa ndakik-ndakik. Termasuk playing victim, mental health, personal space, dan istilah nom-noman hari ini.
Saya akan melewati bagian bedah lirik. Karena lirik dalam lagu “Ojo Dibandingke” bisa dirangkum jadi satu kata: ngenes. Lagipula, argumen akun tadi juga tidak membedah lagu dan langsung nyinyir ke urusan playing victim. Jadi saya akan langsung membedah perkara nyinyiran pekok ini.
Pertama, saya tidak melihat bagian mana dari playing victim ini. Lha wong lagu ini itu sambat alias mengeluh. Bukan untuk disasarkan pada pasangan, tapi lebih pada mengeluh sendiri. Bisa dibilang lagu ini sambatan Abah Lala, sesepele itu. Apakah mengeluh itu salah? Atau mengeluh itu dilarang? Kalau mengeluh itu dilarang, nanti kena mental issue lho.
Perkara manipulatif ini juga dipaksakan. Mengeluh sebagai bentuk manipulasi terkesan terlalu mutakhir. Manipulasi perlu mengubah sudut pandang dari realitas. Lha wong lagu “Ojo Dibandingke” adalah bentuk mengeluh dalam nada. Sama seperti saat rakyat mengeluh bansos tidak didistribusikan secara tepat sasaran. Manipulatif ndhogmu nggepok kuwi!
Mari kita tarik ke sudut pandang lebih luas. Terlepas dari lagu ini, apakah mengeluh untuk tidak dibanding-bandingkan adalah manipulasi dalam relasi? Saya malah melihat membanding-bandingkan ini sebagai implementasi hierarki sosial yang lebih manipulatif. Menjadikan pencapaian, terutama finansial, sebagai alat pembanding individu adalah manipulasi. Untuk apa? Untuk mencapai keseragaman sosial.
Keseragaman sosial membentuk kendali terhadap karakter unik setiap individu. Lebih jauh lagi, juga mengatur bagaimana seseorang untuk hidup. Kemiskinan struktural dan kultural terbentuk karena manipulasi hierarki sosial. Tentu untuk menjaga keunggulan kelompok sosial tertentu sehingga bisa mengambil kendali atas kelompok yang lebih lemah.
Hop! Bahasa saya malah ikut-ikutan ketinggian. Tapi bagaimana lagi, lha wong urusan mengeluh saja bisa dilabel playing victim. Urusan paling basis pada manusia harus dibantah dengan opini ndakik-ndakik. “Ojo Dibandingke” itu hanya sebuah lagu lho, Cah. Kadang, pencipta lagu tak memiliki dan menyisipkan pesan tertentu. Coba cek sejarah lagu “I Am The Walrus” bikinan The Beatles, biar agak paham.
Opini tentang lagu “Ojo Dibandingke” ini cukup aneh. Di satu sisi menyebut menggunakan cinta dan kejujuran sebagai manipulasi. Tapi, juga mengamini bahwa cinta dan kejujuran adalah landasan dari sebuah relasi. Lha kok bisa manipulatif menggunakan unsur yang jadi landasan, bahkan erat dengan urusan hormonal? Cinta itu bukan Pancasila yang bisa jadi alat manipulasi Orde Baru.
Kembali ke masalah mengeluh. Mengeluh pada pasangan bukanlah bentuk manipulasi, tapi menjaga kesehatan mental. Apalagi ketika pasangan mulai bias dengan bentuk hierarki sosial tadi. Memenuhi kebutuhan hidup bersama itu wajib. Tapi memaksa hidup seperti ideal orang lain itu ra mashok. Apalagi ketika mengeluh disebut manipulatif. Kabeh oleh dan iso mengeluh joh!
Coba Anda bilang mengeluh itu manipulatif kepada tukang sayur yang sedang berteduh. Coba Anda sebut tukang becak yang sepi sedang memanipulasi istri dengan mengeluh. Opo ora disawat ndhasmu nganti nggepok.
Nggak perlulah apa-apa kita pandang dengan metode ini, teori itu, kadang suatu hal ya baiknya dipandang apa adanya. Apalagi ini sebuah lagu yang fungsinya untuk menghibur. Lha masak ya Abah Lala dianggap menormalisasi mental playing victim dan nggak mau berkompetisi, opo ra mumet ndasmu? Fungsi lagu koplo aja buat menghibur biar nggak mumet, malah dianalisis ndakik. Agak laen.
Jadi jangan sedikit-sedikit memakai kata “tinggi” pada sebuah isu. Apalagi tidak paham akar dari isu tersebut. Memaknai urusan sosial seperti lagu “Ojo Dibandingke” dengan ndakik-ndakik hanya membuat, sekali lagi, goblok. Dan, sekali lagi, Abah Lala ojo dibandingke dengan pasanganmu sing ra sepiro iku. Pasanganmu bisanya bikin meriang, Abah Lala bikin kita bergoyang, POKOKE GEDRUK!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jangan Pergi Ketika Didi Kempot Sudah Nggak Tenar Lagi