Beberapa hari yang lalu, saya membaca tweet dari akun @adelladellaide, yang bunyinya seperti ini: dulu, kalau ditegor atas sikap atau sifat buruk, aku masih bisa bilang “aku emang gini orangnya!” Sekarang makin sadar, kalo punya sifat dan sikap buruk ya pelan-pelan kudu dibenerin, bukan dijadiin alasan untuk terus bersikap buruk.” Membaca tweet tersebut, seketika saya malah jadi ingat teman saya.
Sebut saja namanya Yuyun. Awal februari yang lalu, saya bersama Yuyun dan beberapa teman lainnya, berencana membuat sebuah kegiatan yang berhubungan dengan buku. Pembagian tugas pun dilakukan. Yuyun mengajukan diri sebagai ketua. Karena tahu bahwa di antara kami Yuyun memang lebih banyak tahu tentang buku dan punya pengalaman mengurus acara serupa, maka kami setuju-setuju saja.
Hari berganti, berbagai macam persiapan pun dilaksanakan. Pada kenyataannya, apa yang terjadi tidak sesuai ekspektasi. Yuyun yang menjabat sebagai ketua, bertingkah seenaknya. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai kemauannya atau ada yang melakukan kekeliruan atau terlambat melakukan satu hal, Yuyun akan menegur dengan mengeluarkan kalimat-kalimat pedas alih-alih teguran selayaknya teman.
Apa pun yang ingin dia katakan, dia katakan begitu saja. Tidak peduli bahwa orang lain punya perasaan dan bisa tersinggung, bahkan sedih sampai menangis. Tidak pernah mau tahu apa yang menjadi penyebab kekeliruan. Tidak mengerti bahwa orang lain pun punya kehidupan, punya kesibukan yang harus dijalani—makanya terlambat mengerjakan tugas. Intinya, melenceng sedikit saja, sudah langsung dikasih kalimat pedas atau kalimat sindirian yang memerihkan hati.
Sampai di sini, mungkin ada yang akan berpikir bahwa hal tersebut adalah sebuah kewajaran. Bagaimanapun, harus ada yang namanya profesionalitas. Saya juga sepakat akan hal tersebut. Dalam artian ditegur ketika berbuat salah adalah hal yang biasa terjadi. Namun, yang perlu diingat, ditegur dan diomeli dengan kalimat pedas tentu beda rasanya.
Ajaibnya lagi, ketika dia (Yuyun) yang LALAI, kami “dipaksa” untuk mengerti. Harus mengerti. Alasannya Yuyun kenapa bisa lalai cuma dua, kalau bukan sibuk, ya lupa. Keren, bukan? Terhadap orang lain nggak ada toleransi, giliran diri sendiri, harus dimaklumi. Saya sampai tidak bisa membayangkan bagaimana kalau kami (saya dan teman-teman panitia, selain Yuyun) yang pakai alasan lupa. Bisa diomelin tiga hari tiga malam kayaknya.
Tidak hanya itu, bahkan ketika ada kendala pada saat mempersiapkan acara tersebut, si Yuyun ini bukannya bantu cari solusi, tetapi malah ngomong, “nggak tahu dan nggak mau tahu”. Mantap banget nggak tuh?
Sadar bahwa Yuyun mulai kelewat batas, beberapa teman menegur Yuyun. Namun, bukannya introspeksi diri, si Yuyun malah ngambek.
“Iya, saya sadar kok, saya selalu salah. Memang cuma kesalahan yang bisa saya buat. Memang sebaiknya saya diam, nggak usah ngomong apa pun lagi.” demikian kalimat tanggapan Yuyun. Ngegemesin nggak sih? Jadi orang kok yah maunya negur, tetapi susah menerima ketika ditegur.
Sampai kemudian, karena tidak tahan dengan suasana yang ada, banyak teman yang memilih mundur dari kepanitiaan. Acara yang kami susun pun batal. Yuyun marah. Keluar lagi deh tuh kalimat-kalimatnya yang nggak ngenakin.
Saya yang telanjur gemas, langsung ngejapri Yuyun, menyampaikan keluhan teman-teman selama ini. Tentang sakit hati mereka dengan perkataan Yuyun. Kali itu, Yuyun memang nggak ngambek, tetapi tetap saja bikin kesal. Bagaimana tidak, alih-alih sadar bahwa tingkahnya memang menyakiti hati orang lain, dia malah bertahan di balik kalimat, “saya memang begitu orangnya. Suka ceplas-ceplos. Kalian aja yang baperan. Begitu aja tersinggung.”
Dih, hellawww. Masih bagus ada yang mau ingetin. Masih untung ada yang mau peduli. Ya kalau mau terus-terusan mau pakai alasan “saya memang begitu orangnya” tanpa mau mengerti bahwa tidak semua orang bisa menerima kamu yang memang begitu orangnya, jangan heran kalau nanti dijauhi.
Saya paham, yang namanya manusia memang tidak ada yang sempurna. Setiap manusia juga punya bagian yang “saya memang begitu orangnya”, tetapi yang juga harus disadari adalah, ketika sikap yang dirasa sudah menjadi ciri khas itu ternyata menyakiti hati banyak orang, masa iya sih mau terus-terusan memakai kalimat itu sebagai tameng? Kalau memang tidak bisa langsung dihilangkan, setidaknya dikurangi. Ketika sudah diberi tahu ada perbuatan yang menyakiti, apa tidak sebaiknya minta maaf? Kalaupun gengsi, seenggaknya jangan playing victim dengan kalimat ngeselin semacam “iya, saya memang bisanya cuma buat salah.” Baca kalimat itu, rasanya saya jadi pengen telan orang saking gemesnya.
Ada yang bilang, semakin berjalannya waktu, jumlah teman yang kita punya semakin sedikit. Menurut saya, Ini masalahnya cuma dua, kalau bukan karena meninggalkan sebuah pertemanan, ya ditinggalkan teman-teman. Penyebabnya bisa macam-macam. Bisa karena mereka yang membuat pertemanan jadi nggak nyaman atau bisa jadi malah diri sendiri yang jadi penyebab orang-orang jadi nggak nyaman. Ya semua orang juga sudah tahu itu lah yah. Sengaja saya tuliskan, biar jadi “mohon maaf sekadar mengingatkan” hahaha.
Untuk kasusnya Yuyun, saya tentu tidak bisa memaksa dia untuk berubah. Hal yang bisa saya lakukan cuma menegur. Ketika kemudian dia tetap nggak mau berubah, ya pilihan saya cuma satu, tinggalkan. Dalam artian mengurangi interaksi dengan dia sebelum akhirnya benar-benar memutuskan komunikasi kalau dia-nya masih nggak berubah. Terlalu melelahkan untuk berteman dengan orang yang sering bikin hati jadi nggak nyaman.
Akhir kisah dari Yuyun pun ditutup dengan adegan, saya bersama teman-teman yang lain membuat sebuah grup whatsapp tanpa mengajak Yuyun. Yuyun nggak dikasih tahu kami bikin grup whatsapp baru, tetapi beberapa teman sering pamer percakapan grup (dijadikan story atau status). Sampai kemudian Yuyun tahu, lalu ngejapri salah satu orang yang sering pamer itu dengan pertanyaan “bikin grup baru, yah? Saya kok nggak diajak?”
Hah? Menurut Loe?
BACA JUGA Betapa Menyebalkannya Teman yang Suka Ngomongin Tugas Kuliah dan tulisan Utamy Ningsih lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.